Mungkin
saja namanya Budi, Anton, atau Iwan. Saya tak tahu pasti. Yang saya ingat
hanyalah bahwa dia adalah supir pete-pete terbaik yang pernah saya kenal (?).
Dari gayanya bertutur, jelas sekali kalau dia adalah orang dari utara pulau
Sulawesi. Mm, mungkin Manado atau Gorontalo. Khusus untuk hari ini, dia adalah
orang yang paling saya susahkan di sepanjang perjalanan menuju sebuah masjid.
Sebenarnya, saya telah dua kali mengunjungi masjid ini dan dua kali pula
melewati jalan yang berbeda. Sehingga untuk perjalanan yang kedua ini,
kemungkinan saya tersesat sangatlah besar. Abang supir telah mewanti-wanti saya
untuk mengingat lagi apa saja yang telah saya lewati pada saat kunjungan
pertama ke masjid ini. Tapi ya begitu, saya hanya mengingat tempat-tempat yang
justru membuat abang supir semakin kebingungan. Karena saya takut membuatnya
semakin kecewa(?), maka saya merahasiakan bahwa saya adalah orang yang susah
menghafal jalanan. Akibatnya, selama satu jam di dalam pete-pete, saya selalu
berusaha memperlihatkan wajah yang optimis menggebu-gebu. Padahal sebenarnya,
hati saya meringis melihat wajah abang supir yang telah kelelahan mencari
masjid ini.
Di dalam
pete-pete, saya adalah satu-satunya penumpang yang tersisa. Dan saya bersyukur.
Coba bayangkan ketika adegan tersesat ini mesti disaksikan oleh
penumpang-penumpang yang lain, hanya ada dua kemungkinan. Penumpang yang lain
turut prihatin atas apa yang menimpa saya, atau mereka melihat saya sebagai
momok yang harus dibasmi (?). Intinya kesendirian saya dalam pete-pete membuat
ketersesatan saya kali ini adalah hal yang patut dikenang (?).
Kecenderungan
lupa jalan, ini memang salah satu disability yang belum bisa saya taklukkan. Orang-orang
sekitar saya (beberapa sahabat) bahkan sudah memakluminya. Sampai-sampai bila
suatu ketika saya dengan tidak sengaja bisa menghafal detail jalanan, mereka
akan memberi tepuk tangan. Anggap saja begitu. Karena kecenderungan ini pula,
saya pernah sangat mengidolakan Dora The Explorer yang kemana-mana takkan
tersesat. Ada peta, ada peta, ada peta. Hentikan!
Tapi saya
menyadari bahwa saya bukanlah Dora yang selalu dibantu dengan peta hidup
kemanapun dia pergi. Saya hanyalah manusia biasa yang sekarang sedang berjuang
mengingat jalanan menuju sebuah masjid. Manusia yang dengan teganya menyita
waktu abang supir yang baik hati.
“Bagaimana,
dek? Ini bukan masjidnya?”
“Sepertinya
bukan, Pak. Masjid yang saya datangi sebelumnya lebih besar. Namanya pun bukan
masjid Taqwa”.
“Mm,
kalau begitu mungkin di blok lain. Kita coba ke lorong sebelah”
“Iya,
Pak”.
Tak berapa
lama, “kiri,Pak!”.
Akhirnya,
di blok sebelah itulah saya menemukan masjid yang dimaksud. Hujan sudah mulai
turun. Perlahan-lahan semakin deras. Abang supir sumringah. Kelihatan sangat
lega. Saya turun dari pete-pete dalam kondisi tidak tega dengan hanya
memberikan uang tiga ribuan kepada abang supir. Akhirnya, saya memberikan
selembar uang kertas yang sedikit lusuh tapi nominalnya lebih dari berapa yang
seharusnya saya bayar. Abang supir dengan sigap mencari uang kembalian.
“Sudah,Pak.
Tidak Usah”
“Wah,
terima kasih, Dek”. Abang supir dan wanita di sampingnya tersenyum. Yap, dia
bukan penumpang. Entahlah. Mungkin semacam orang yang abang supir kasihi atau
sayangi atau sejenisnya. Abang supir hanya menitipkan satu pesan sebelum saya
berlari masuk masjid.
“Dek,
hati-hati pulangnya. Jangan sampai tersesat lagi”.
“Iya,
pak. Terima kasih”.
Mumpung
masih hujan, buru-buru saya mendoakan abang supir agar bahagia dalam hidupnya
dan dilancarkan rejekinya. Satu lagi, saya pun berdoa untuk diri saya sendiri
agar tak sampai seperti Rumor yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Karena
kemungkinannya akan lebih gawat. Sepertinya.
Di dalam
masjid, ada beberapa senyum tak kalah teduhnya yang menyambut keterlambatan
saya.
Ini based in true story ya? Jadi teringat dengan si Zorro salah satu karakter film One Piece :)
ReplyDeleteGak tau mau bilang apa :D
DeletePura-pura ngantuk sj deh.. Hoamm..