Beberapa
hari setelah aktivitas di kampus sudah sedikit lengang, saya mencoba kembali
menelusuri sebuah toko buku yang tidak terlalu terkenal di kota Makassar ini.
Pikirku, selagi ada waktu lowong dan minat baca saya sedang naik, maka
kesempatan ini harus saya manfaatkan baik-baik. Sebab biasanya jika sudah
berhubungan dengan kuliah, saya akan menemui kesulitan untuk bisa mengkhatamkan
satu buku saja dalam sebulan. Jika demikian, saya akan membeli buku yang isinya
kumpulan cerpen saja agar tak ada istilah “penasaran” dengan akhir ceritanya.
Atau, bisa juga disiasati dengan membaca
artikel/ catatan harian orang di blog pribadi mereka.
Saya
berangkat dengan tujuan untuk membeli satu buku. Iya, satu saja. Tapi ya
begitu. Kalau niat cuma beli satu saja, pasti akhirnya tangan ini menarik dua
atau tiga buku dari rak. Tak apalah, ini buku kok. Bisa dibaca kapan saja. Aset
yang menurut saya tak akan lekang oleh waktu. Malah lebih bisa bertahan
daripada rak yang biasa menaunginya. Setelah beberapa menit mengelilingi rak
demi rak, membaca sinopsis demi sinopsis, lalu melirik daftar harga yang
tertera di bawahnya, mata saya tertuju pada sebuah jejeran buku bersampul hijau
toska yang latarnya tidak asing bagi saya.
Meski latarnya hanya berbentuk
seperti siluet warna kehijauan, tapi saya melihat dengan jelas judul yang
tertera di bawahnya. Awalnya, saya sedikit ragu untuk membelinya. Sebab,
mungkin saja buku yang bergenre novel ini adalah kisah cinta yang dibungkus
dengan nuansa religi timur tengah. Saya tidak terlalu tertarik dengan novel
seperti itu. Tapi setelah saya membaca sinopsisnya, ternyata novel ini berisi
tentang kisah perjalanan seseorang yang dulunya anak pesantren bernama Iip
Muhammad Syarip, urang Sunda asli,
yang menjalani studi pascasarjananya di Universitas Melbourne. Lalu, novel ini
mantap saya beli setelah membaca beberapa testimoni dari para pengarang buku
yang telah menelurkan karya-karya hebat lainnya.
Kurang
lebih isinya sama dengan beberapa serial novel perjalanan yang saya baca.
Kelebihannya ada pada, jika kebanyakan novel tentang perjalanan menceritakan
keindahan panorama dan orang-orang yang mereka temui dalam perjalanannya, maka
pengarang novel ini (Ang Zen) menitikberatkan pada hubungan sejarah, hukum,
serta momentum yang hampir dilupakan atau bahkan belum pernah diketahui sama
sekali dari beberapa tempat yang ia kunjungi. Iip (tokoh utama) dalam novel ini
mengunjungi tempat demi tempat dengan bermodalkan keyakinan. Ia kemudian lulus
beasiswa sehingga seluruh biaya akomodasi dan biaya hidup bukan ia yang
tanggung, sebab ia juga harus menghidupi anak istrinya yang sempat mengikutinya
selama setengah perjalanan studi di Melbourne. Setiap mimpi-mimpinya, ia
titipkan pada sebuah bintang layang-layang di langit malam. Ia yakin bahwa
suatu saat, bintang layang-layang itu akan ia pandang dari tempat-tempat indah
di belahan bumi yang lain.
Di
Melbourne, untuk bisa bertahan hidup, ia bekerja sampingan sebagai kuli di
pasar tradisional Melbourne. Tapi katanya, jangan anggap kuli di Melbourne itu
sama dengan kuli di Indonesia. Di sana, kuli bisa diperlakukan dengan sangat
baik oleh majikan pasar. Ia juga bisa memaparkan betapa sistem pelayanan
kesehatan di Melbourne sudah sangat tinggi jam terbangnya dibandingkan negara
kita.
Salah
satu hal yang menarik dari pemaparannya tentang Melbourne atau Australia pada
umumnya adalah suku asli bangsa Australia (suku Aborigin) justru adalah suku
yang paling jarang ditemui di negara tersebut. Hampir tidak ada mahasiswa
bersuku asli setempat yang menjadi temannya. Tentu hal ini sangat kontras
dengan pembangunan yang sudah sedemikian canggihnya ketika melihat kenyataan
bahwa suku asli negara tersebut hanya bisa ditemui di daerah-daerah pedalaman.
Jumlahnya pun sudah tidak banyak. Di sana sini, yang paling banyak ditemui
adalah mereka, penduduk yang berkulit putih. Sebuah pencapaian besar bagi
Inggris dalam ekspansinya ke benua Australia pada masanya. Sebuah pencapaian
dari sebuah “rasa kepemilikan” yang besar. Orang-orang Inggris yang menerapkan
semboyan “terra nullius” bagi setiap tempat yang mereka datangi dengan mudahnya
menerapkan hukum dan sistem yang mereka anut di tempat tersebut, lalu mereka
orang-orang pribumi yang kekuatannya tidak mampu menandingi mesti menerima
kenyataan bahwa saatnya bukan mereka yang berkuasa di tanah lahirnya sendiri.
Cukup ironi.
Dalam
kisahnya, Iip kemudian mengizinkan istri dan anak yang baru dilahirkannya untuk
pulang lebih dulu ke Indonesia. Saat itu, Iip sudah akan menyelesaikan tugas
akhirnya. Namun, kepulangan istri dan anak yang sempat membuatnya sedih dibalas
dengan kelulusan beasiswa studi selama enam bulan di Leiden. Di sanalah Iip menyelesaikan
tugas akhirnya dan menyempatkan diri untuk mengunjungi dataran Eropa sambil
menyaksikan puing-puing peninggalan peradaban Islam.
Dalam
perjalanannya ke beberapa tempat di Eropa inilah yang mengisahkan betapa
ironinya penaklukan Granada (Reconquista) oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella,
betapa kelamnya perasaan Sultan Muhammad (Boabdil) pada saat itu, sampai pada masa
inkuisisi dimana penduduk Muslim mesti memilih apakah harus berpindah agama
atau meninggalkan tanah tersebut. Banyak sekali informasi yang bisa diperoleh
dari kisah perjalanan seorang Iip. Siapa sangka, seorang Colombus yang tercatat
dalam sejarah sebagai penemu Benua Amerika awalnya ingin berlayar menuju surga
rempah-rempah bernama Kepulauan Maluku hingga ia “tersesat” dan menemukan apa
yang justru tidak dicarinya, Benua Amerika. Lalu, penarikan benang merah bahwa
mengapa negara-negara Amerika Latin memiliki induk bahasa Spanyol?. Sampai pada
tragedi Perang Dunia II yang menyebabkan Jerman kehilangan “wajah aslinya”. Tidak
seperti dengan tetangga-tetangganya yang masih mampu mempertahankan penampakan
wajah aslinya sampai sekarang, meski tidak sedikit yang hanya tinggal puing.
Akhir
kisah, Iip menyelesaikan tugas akhirnya dengan baik, kembali ke Indonesia,
hidup bersama istri dan anak-anaknya, juga dengan tanah kelahirannya tempat
mimpi-mimpi itu dibisikkan ke langit. Tempat ia belajar kitab kuning bersama
teman-temannya, tempat ia makan ikan asin dan kangkung rebus, juga tempat
dimana kiai dan senior-seniornya kerap kali menceritakan keindahan sebuah
“surga dunia” bernama Alhambra. Alhambra di belahan bumi yang jauh.
Kisah
ini semakin membuat saya percaya bahwa kepercayaan dan keyakinan adalah pondasi
yang harus tetap kuat dalam bangunan mimpi-mimpi setiap orang. Sebab, pondasi
itulah yang menyangga dan membuat bangunan di atasnya bertahan. Apapun mimpi
kalian, serumit apapun pencapaiannya, jadikanlah mereka (mimpi-mimpi) itu bertebaran
dalam benih-benih syukur yang siap dilantunkan di saat pagi dan petang tiba. Siapa
yang tahu, besok atau lusa kalian telah melihat mimpi-mimpi itu sebagai
kenyataan yang terpampang jelas di depan mata. Hampir lupa, novel yang ciamik
ini berjudul “Bintang di Atas Alhambra”.
Sekian :)
Sekian :)