Monday, January 20, 2014

Dari Rak Buku menuju Benteng Alcazaba


Beberapa hari setelah aktivitas di kampus sudah sedikit lengang, saya mencoba kembali menelusuri sebuah toko buku yang tidak terlalu terkenal di kota Makassar ini. Pikirku, selagi ada waktu lowong dan minat baca saya sedang naik, maka kesempatan ini harus saya manfaatkan baik-baik. Sebab biasanya jika sudah berhubungan dengan kuliah, saya akan menemui kesulitan untuk bisa mengkhatamkan satu buku saja dalam sebulan. Jika demikian, saya akan membeli buku yang isinya kumpulan cerpen saja agar tak ada istilah “penasaran” dengan akhir ceritanya. Atau,  bisa juga disiasati dengan membaca artikel/ catatan harian orang di blog pribadi mereka. 

Saya berangkat dengan tujuan untuk membeli satu buku. Iya, satu saja. Tapi ya begitu. Kalau niat cuma beli satu saja, pasti akhirnya tangan ini menarik dua atau tiga buku dari rak. Tak apalah, ini buku kok. Bisa dibaca kapan saja. Aset yang menurut saya tak akan lekang oleh waktu. Malah lebih bisa bertahan daripada rak yang biasa menaunginya. Setelah beberapa menit mengelilingi rak demi rak, membaca sinopsis demi sinopsis, lalu melirik daftar harga yang tertera di bawahnya, mata saya tertuju pada sebuah jejeran buku bersampul hijau toska yang latarnya tidak asing bagi saya. 

Meski latarnya hanya berbentuk seperti siluet warna kehijauan, tapi saya melihat dengan jelas judul yang tertera di bawahnya. Awalnya, saya sedikit ragu untuk membelinya. Sebab, mungkin saja buku yang bergenre novel ini adalah kisah cinta yang dibungkus dengan nuansa religi timur tengah. Saya tidak terlalu tertarik dengan novel seperti itu. Tapi setelah saya membaca sinopsisnya, ternyata novel ini berisi tentang kisah perjalanan seseorang yang dulunya anak pesantren bernama Iip Muhammad Syarip, urang Sunda asli, yang menjalani studi pascasarjananya di Universitas Melbourne. Lalu, novel ini mantap saya beli setelah membaca beberapa testimoni dari para pengarang buku yang telah menelurkan karya-karya hebat lainnya.

Kurang lebih isinya sama dengan beberapa serial novel perjalanan yang saya baca. Kelebihannya ada pada, jika kebanyakan novel tentang perjalanan menceritakan keindahan panorama dan orang-orang yang mereka temui dalam perjalanannya, maka pengarang novel ini (Ang Zen) menitikberatkan pada hubungan sejarah, hukum, serta momentum yang hampir dilupakan atau bahkan belum pernah diketahui sama sekali dari beberapa tempat yang ia kunjungi. Iip (tokoh utama) dalam novel ini mengunjungi tempat demi tempat dengan bermodalkan keyakinan. Ia kemudian lulus beasiswa sehingga seluruh biaya akomodasi dan biaya hidup bukan ia yang tanggung, sebab ia juga harus menghidupi anak istrinya yang sempat mengikutinya selama setengah perjalanan studi di Melbourne. Setiap mimpi-mimpinya, ia titipkan pada sebuah bintang layang-layang di langit malam. Ia yakin bahwa suatu saat, bintang layang-layang itu akan ia pandang dari tempat-tempat indah di belahan bumi yang lain. 

Di Melbourne, untuk bisa bertahan hidup, ia bekerja sampingan sebagai kuli di pasar tradisional Melbourne. Tapi katanya, jangan anggap kuli di Melbourne itu sama dengan kuli di Indonesia. Di sana, kuli bisa diperlakukan dengan sangat baik oleh majikan pasar. Ia juga bisa memaparkan betapa sistem pelayanan kesehatan di Melbourne sudah sangat tinggi jam terbangnya dibandingkan negara kita. 

Salah satu hal yang menarik dari pemaparannya tentang Melbourne atau Australia pada umumnya adalah suku asli bangsa Australia (suku Aborigin) justru adalah suku yang paling jarang ditemui di negara tersebut. Hampir tidak ada mahasiswa bersuku asli setempat yang menjadi temannya. Tentu hal ini sangat kontras dengan pembangunan yang sudah sedemikian canggihnya ketika melihat kenyataan bahwa suku asli negara tersebut hanya bisa ditemui di daerah-daerah pedalaman. Jumlahnya pun sudah tidak banyak. Di sana sini, yang paling banyak ditemui adalah mereka, penduduk yang berkulit putih. Sebuah pencapaian besar bagi Inggris dalam ekspansinya ke benua Australia pada masanya. Sebuah pencapaian dari sebuah “rasa kepemilikan” yang besar. Orang-orang Inggris yang menerapkan semboyan “terra nullius” bagi setiap tempat yang mereka datangi dengan mudahnya menerapkan hukum dan sistem yang mereka anut di tempat tersebut, lalu mereka orang-orang pribumi yang kekuatannya tidak mampu menandingi mesti menerima kenyataan bahwa saatnya bukan mereka yang berkuasa di tanah lahirnya sendiri. Cukup ironi.

Dalam kisahnya, Iip kemudian mengizinkan istri dan anak yang baru dilahirkannya untuk pulang lebih dulu ke Indonesia. Saat itu, Iip sudah akan menyelesaikan tugas akhirnya. Namun, kepulangan istri dan anak yang sempat membuatnya sedih dibalas dengan kelulusan beasiswa studi selama enam bulan di Leiden. Di sanalah Iip menyelesaikan tugas akhirnya dan menyempatkan diri untuk mengunjungi dataran Eropa sambil menyaksikan puing-puing peninggalan peradaban Islam. 

Dalam perjalanannya ke beberapa tempat di Eropa inilah yang mengisahkan betapa ironinya penaklukan Granada (Reconquista) oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella, betapa kelamnya perasaan Sultan Muhammad (Boabdil) pada saat itu, sampai pada masa inkuisisi dimana penduduk Muslim mesti memilih apakah harus berpindah agama atau meninggalkan tanah tersebut. Banyak sekali informasi yang bisa diperoleh dari kisah perjalanan seorang Iip. Siapa sangka, seorang Colombus yang tercatat dalam sejarah sebagai penemu Benua Amerika awalnya ingin berlayar menuju surga rempah-rempah bernama Kepulauan Maluku hingga ia “tersesat” dan menemukan apa yang justru tidak dicarinya, Benua Amerika. Lalu, penarikan benang merah bahwa mengapa negara-negara Amerika Latin memiliki induk bahasa Spanyol?. Sampai pada tragedi Perang Dunia II yang menyebabkan Jerman kehilangan “wajah aslinya”. Tidak seperti dengan tetangga-tetangganya yang masih mampu mempertahankan penampakan wajah aslinya sampai sekarang, meski tidak sedikit yang hanya tinggal puing. 

Akhir kisah, Iip menyelesaikan tugas akhirnya dengan baik, kembali ke Indonesia, hidup bersama istri dan anak-anaknya, juga dengan tanah kelahirannya tempat mimpi-mimpi itu dibisikkan ke langit. Tempat ia belajar kitab kuning bersama teman-temannya, tempat ia makan ikan asin dan kangkung rebus, juga tempat dimana kiai dan senior-seniornya kerap kali menceritakan keindahan sebuah “surga dunia” bernama Alhambra. Alhambra di belahan bumi yang jauh.

Kisah ini semakin membuat saya percaya bahwa kepercayaan dan keyakinan adalah pondasi yang harus tetap kuat dalam bangunan mimpi-mimpi setiap orang. Sebab, pondasi itulah yang menyangga dan membuat bangunan di atasnya bertahan. Apapun mimpi kalian, serumit apapun pencapaiannya, jadikanlah mereka (mimpi-mimpi) itu bertebaran dalam benih-benih syukur yang siap dilantunkan di saat pagi dan petang tiba. Siapa yang tahu, besok atau lusa kalian telah melihat mimpi-mimpi itu sebagai kenyataan yang terpampang jelas di depan mata. Hampir lupa, novel yang ciamik ini berjudul “Bintang di Atas Alhambra”.
Sekian :)

Sunday, January 19, 2014

Pekan-Pekan Hermeneutika



Pekan-pekan di Bulan Januari memang memiliki sensasi tersendiri bagi diri saya pribadi. Januari, di mata saya yang masih polos ini (?) bagaikan barbel kehidupan yang mesti saya angkat pelan-pelan. Bayangkan jika saya yang “belalang” ini mesti mengangkat barbel (?), jika tanpa persiapan yang maksimal, maka barbel yang saya angkat itu akan jatuh dan mengenai kaki saya. Jadi untuk menghindari barbel tersebut jatuh, maka jauh-jauh hari saya telah mempersiapkan sedikit bekal jika nanti pekan-pekan barbel itu tiba (?).

Pertama, begitu tahun masehi berganti, maka saya fokus nonton saja (?). Menghabiskan stok tenaga untuk tertawa sepanjang malam bersama beberapa orang yang serumpun dan bernasib sama. Kami telah menunggu pemutaran film ini selama beberapa pekan lamanya. Begitu muncul, kami telah bersepakat untuk begadang dan menonton film ini beserta iklan-iklannya sampai habis. Film India yang dimainkan oleh abah Shahrukh Khan ini judulnya Chennai Express, dibuat akhir tahun 2013. Setelah menonton, kami mengadakan survei kecil-kecilan. Dari semua responden yang telah menonton film tersebut, cuma satu responden yang mengatakan film ini romantis. Selebihnya mengatakan bahwa film ini sangat lucu. Ngomong-ngomong, teman saya yang satu tadi memang memiliki romantic senses yang tinggi. Jadi wajar bila menonton film yang lucu pun, ia masih bisa menangkap sisi keromantisan film tersebut. Tidak sama dengan kami yang daya tangkap keromantisannya perlahan telah digilas oleh zaman yang semakin kejam (?). 

Satu pekan berjalan, saya mulai memasuki tahap angkat barbel pelan-pelan. Perlahan sudah memasuki intensitas tinggi mengurung diri di kamar. Perlahan mulai cuek dengan mas sari roti yang tiap malam lewat di depan kostan (?), juga mulai membiasakan diri untuk rajin minta do’a ke ibu, bapak, tante, om, dan saudara. Do’a apapun yang baik-baik. Mengingat bahwa tahun ini adalah tahun yang cukup riskan nan bersejarah bagi saya (?).

Pernah dengar ilmu hermeneutika? Saya juga baru dengar sih. Ilmu itu semacam ilmu menafsirkan. Biasanya menafsirkan kitab suci dan seringkali dihubungkan dengan Hermes (bukan merek tas), seorang tokoh dalam mitologi Yunani yang merupakan perantara dewa dengan manusia. Namun, seiring perkembangan zaman, ilmu hermeneutika lebih diarahkan kepada ilmu memahami sesuatu. Tapi sekarang kita tidak akan membahas lebih dalam tentang Hermes yang kini menjadi merek terkenal tas-tas sosialita (?). Kita akan membahas apa yang terjadi dengan diri saya (?).

Jadi begini, beberapa kali ketika saya akan menghadapi sesuatu, tiba-tiba saja saya akan membuat semacam asumsi tentang jadi atau tidaknya sesuatu itu saya lakukan. Ada untungnya juga menurut saya. Sebab, jika saya merasa akan mendapat giliran terhadap sesuatu itu, maka saya bisa habis-habisan melakukan persiapan untuk itu. Kemarin, walaupun kondisi sedang tidak begitu baik, saya bisa menyelesaikan sebuah draf proposal sebab saya merasa akan mendapat giliran untuk mempresentasikannya. Padahal dari 30 orang, Cuma 10 orang yang akan mendapat giliran. Walhasil, 3 hari kemudian, jadilah saya orang ketiga yang “beruntung” mempresentasikan draf proposal yang dikerja selama 3 hari itu. Saya sih tidak percaya ya yang namanya kebetulan, sebab segala sesuatunya telah dirancang kemudian ditetapkan kejadiannya. Tapi bisa merasakan sebelum kejadiannya, mungkin ini yang disebut temporalitas dalam teori kausasi AB. Hill atau time order oleh Susser. #ngaco

Sebelumnya, ketika mencari dukungan referensi untuk draf proposal ini, beberapa orang telah saya ganggu hanya untuk sekedar bertanya ini itu. Saya menghubungi mereka sebab saya yakin mereka bisa membantu saya. Alhamdulillah, mereka adalah tangan-tangan dingin anugrah Tuhan. Semua bisa diselesaikan dengan baik. Mungkin saja beginilah takdir Allah bekerja. Engkau sudah kelimpungan mencari sesuatu, kemudian Allah melihat perjuanganmu, lalu menghadiahimu jawaban lewat orang-orang di sekitarmu. Saya memahaminya sebagai konsep Maha Kasih Sayangnya Allah kepada hambaNya. Cukup kurangi rutinitas mengeluhmu. Sebab kata Ustadz Nouman Ali Khan, mengeluh adalah tanda bahwa kita belum cukup memahami apa makna sebenarnya dari Ar-Rahman. Sesederhana itu. Saya sering mencobanya, dan berhasil saja tanpa tahu apa sebabnya. Ini adalah semacam pembuktian bahwa Allah memang tidak pernah menyalahi janjiNya. Pun tidak pernah mendzolimi hambaNya. HambaNya lah yang mendzolimi dirinya sendiri.

Mengenai ilmu hermeneutika ini, saya kira menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Sayang untuk ilmu filsafat, saya tidak begitu bisa memahaminya dengan cepat. Butuh memutar otak berkali-kali sampai bisa memahami kulitnya. Lalu memutar otak lagi untuk memahami isinya. Seperti itu. Mungkin karena saya memang lebih bisa menerima sesuatu yang sederhana-sederhana saja. Bagi saya, ilmu hermeneutika ini agak kompleks. Buktinya, ilmu hermeneutika ini belum bisa saya terapkan untuk menebak isi hatimu. (wastafel, mana wastafel ?!)