Thursday, November 21, 2013

Rantingan.


Jika pun mesti diperhadapkan pada sebuah tembok pilihan,
Saya akan memilih dan merawat rumah ini dengan sebaik-baiknya.
Terlalu banyak kenangan. Sayang sekali bila harus ditinggalkan.

Sebab karenanya, saya bisa tertawa saat sedih. Sebab karenanya jua, saya bisa menangis jika terlampau senang.
Ia adalah mesin pengingat, adalah penampar, adalah pengobar, adalah penghibur.
Adalah tempat pulang.

Lalu, bagaimana mungkin saya akan mengorbankannya demi membuka pintu yang lain?

Thursday, November 14, 2013

Selasar Sadar Kita



Suatu kali, pernah beberapa manusia memiliki masalah yang amat sulit. Sebab sulitnya, sampai-sampai mereka tidak tahu kemana dan pada apa mereka harus mengadu. Lalu dengan wajah yang setengah lusuh, mereka memutuskan melakukan perjalanan beberapa hari di tempat yang jauh. Beberapa hari kemudian, mereka kembali dengan wajah yang tak lusuh lagi. Mereka bahagia, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sebulan kemudian, ada yang tertawa. Beberapa manusia itu mengulang hal yang sama. Berkali-kali.

Di tempat lain, beberapa manusia terlihat sangat cengeng. Sedikit-sedikit menangis, sedikit-sedikit mengeluhkan hidupnya. Memandang bahwa kehidupan telah berlaku tidak adil. Sementara orang-orang di sekitarnya, begitu khusyuk dengan keapatisan yang mereka miliki. Seolah-olah tempat itu, hanya ada kelompok mereka sendiri. Tanpa kompromi.

Yang di atas itu, hanyalah sehelai benang dari sebuah baju. Sebab, masalah sebenarnya bukan pada sebesar apa masalah yang telah membuat kita menghindar, sesering apa keluhan yang telah kita lontarkan, dan seapatis apa tindakan yang telah kita lakukan. Masalah sesungguhnya adalah kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita tidak benar-benar diuji dari masalah-masalah itu. Tapi kita diam-diam telah diuji tentang sejauh mana keyakinan kita atas apa yang sebenarnya telah Tuhan mampukan atas diri kita.

Wednesday, November 13, 2013

Hujan Nikah di Pelupuk Mata



“Hidup itu banyak cerita. Akan terlalu mainstream jika hanya diisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka”

Teman saya mengirimkan emoticon “tertawa terbahak-bahak” ketika membalas sebuah kiriman pesan singkat yang saya kirimkan. Ia bahkan mengatakan mengapa bisa saya berkata seperti itu. Padahal, saya pikir perkataan saya itu lumrah-lumrah saja. Kurang lebih saya hanya mengatakan “Selamat datang. Selamat memasuki usia galau nikah”. Hanya itu. Tapi teman saya sepertinya sangat mendalami perkataan saya sehingga dia nyaris mencubit pipi tirus saya lewat udara.

Tentang topik yang satu itu, bisa dibilang adalah topik yang sudah sangat sering mendapat porsi dengar dari kedua telinga saya. Sengaja ataupun tidak. Di rumah sementara tempat saya tidur, makan, dan belajar, hampir semua orang membicarakannya. Di majelis ilmu, jangan dibilang, topik-topik yang dibahas kebanyakan bermuara pada topik yang satu itu. Telepon rutin yang saya terima hampir di setiap pagi tidak kalah retorikanya. Dan saya, cuma bisa senyum-senyum saja. 

Orang-orang yang sudah sering mendapatkan pertanyaan tentang topik itu, maka sadarlah bahwa pertanyaan demikian adalah semacam pertanyaan jebakan umur. Artinya, mereka melihatmu sebagai seseorang yang sudah pantas mengeksekusi topik itu. Dan kamu, suka atau tidak, harus memberikan jawaban yang baik untuk mereka. Sebab, jawaban kita akan mendapat balasan do’a dari mereka. Biasanya begitu. Jawaban yang baik akan mendapatkan do’a yang baik pula. Sehingga jangan sampai kita melakukan sebaliknya. Jika pun tak terpikir jawaban yang baik, maka diam adalah solusi terjitu.

Beberapa bulan ini, selain beasiswa yang hadir setiap bulannya, undangan pernikahan pun tak mau kalah. Selalu saja ada. Sekarang saja, teman saya yang lain baru saja meminta agar saya membuat daftar orang-orang yang akan diundang di pernikahannya. Dilematis meringis rasanya. Bukan karena iri, tapi saya hanya khawatir apakah mereka “masih ada” ketika nanti (entah kapan) saya juga membutuhkan pertolongan mereka. Saya hanya takut merasa kehilangan. Itu saja. Teman, apalagi yang pernah menyumbang cerita skala besar dalam hidup, tentu saja sewaktu-waktu akan “keluar” dari garis cerita itu. Mereka pergi, lalu membuat kembali cerita baru dengan pemeran yang baru pula. Dan itu, jika tidak disiasati jauh-jauh hari, akan membuat kita yang ditinggalkan merasa sedih. Merasa kehilangan. Wajar. Dan sadar, saya mengalaminya.

Perlahan, pernikahan-pernikahan itu menjadi sebuah hujan di pelupuk mata. Maka hujan, biarkan saja ia turun di kedua pelupuk matamu. Biarkan. Tapi jangan luapkan harapanmu pada sesiapa yang akan menikmatinya denganmu. Sebab, bisa saja engkau ditakdirkan sebagai seorang jua yang bisa menikmatinya, dalam jangka waktu yang lama atau sebentar.

Lalu, jika mereka kembali mengulang pertanyaannya, maka ambil napas dalam-dalam. Lalu berdiri dengan badan tegap kemudian katakan dengan lantang atau dengan cara deklamasi,” tunggu tanggal eksekusinya” sambil tersenyum kepada para penanya yang budiman. Setelah itu, kembalilah, berjalanlah, berbahagialah, dan bergegaslah untuk membuat cerita yang banyak.

Itu!