Thursday, February 16, 2012

Dulu, di Radio

Waktu masih di SMP dulu, saya pernah cukup aktif di salah satu radio lokal di kota tempat tinggal saya (bukan sebagai penyiar, tapi pendengar). Nama radionya Mekok (Melestarikan Kota Kalong) FM dan perkenalkan nama udara saya Cuap-Cuap (iya..iya, saya tau ini alay :D). Bersama teman-teman saya, hampir setiap hari kami berbalas ucapan. Jadi di sekolah saya dulu, ada teman yang bertindak sebagai agen penjual kupon ucapan yang akan dibawa ke radio itu setiap harinya. Waktu itu, kami akan nyengir-nyengir sendiri pas dengar kiriman salam kami dibacakan sama kakak penyiar. Rasanya gimanaaa gitu,.. serasa terbang ke langit lalu terdampar di semak-semak (???). Kalau ada deadline tugas sampai mau ulangan, biasanya kami saling menyemangati lewat radio itu. Asyik aja bisa saling menyemangati lewat udara. Maklum, waktu itu murid di sekolah saya yang sudah menggunakan handphone masih bisa dihitung jari.

Saya lupa tepatnya, mulai dan sampai kapan saya aktif monitor di radio itu. Yang saya ingat, saya jadi punya banyak kenalan di sekolah-sekolah lain dan sempat pula punya idola penyiar di radio itu, biasalah menurut saya. Sayangnya, radio itu sudah lama tidak mengudara lagi. Mungkin karena kehabisan stok penyiar.. Seingat saya, satu persatu penyiar yang notabenenya adalah siswa tingkat akhir di SMA waktu itu, satu per satu hijrah ke Makassar untuk kuliah. Sayang kan, ya?. Hal ini juga berdampak pada tidak pernahnya lagi saya monitor di radio hingga hampir selesai kuliah.

Tapi nampaknya, kegemaran itu muncul lagi beberapa bulan terakhir. Tanpa sengaja, saya nemu stasiun radio yang bagus. Stasiun radio ini memutar 100% musik Indonesia. Jaringannya pun cukup luas, mencakup lima kota (Jakarta, Bandung, Jogja, Medan, dan Makassar). Selain topik yang diangkat memang bagus, mungkin karena saya jadi ingat lagi masa-masa sekolah kalau dengar lagu-lagunya. Hingga akhirnya… saya dibuat betah aja monitor di stasiun radio itu.

Hmm, kenapa bisa suka lagi ya?

Yaa, suka aja…. XD

Dan… rasa suka, suatu ketika dia datang, Suatu ketika dia hilang, lalu datang lagi. Untuk dirasakan kembali. Begitu kan, ya?

Wednesday, February 8, 2012

Saya dan Si Ijo (yang baik hati)

We have walked together for 3 years

And, we hope we always find a reason to be together…

Sunday, February 5, 2012

Seperti Siklus

Suka, benci, hormat, simpati, kagum, dan apapun rasa itu,

Kapan waktu, dengan alasan yang kita yakin tepat, kita berusaha menghapusnya dari diri kita.

Dan…kita berhasil.

Tapi ketahuilah, mereka itu seperti siklus. Tidak akan pernah benar-benar hilang.

Hanya sejenak, berputar-putar, dan akhirnya kembali lagi. Suatu hari, setelah kita menghapusnya.

Dirasakan lagi. Dalam kadar yang lebih kecil, sama, atau lebih besar.

Maksudku, rasa yang sama pada sesuatu yang sama.

Benar tidak?

Ah, mungkin saja kalian tidak mengerti… XD

Wednesday, February 1, 2012

Menyadari Batas

Menyimak beberapa manusia dengan pola tingkahnya masing-masing memberikan kesan tersendiri bagi indera penglihatan saya. Semakin menyimak, maka indera yang lain akan ikut-ikutan ingin eksis. Sama-sama ingin memberikan responnya masing-masing.

Ketika kita bertanya mengapa Allah menganugerahi kita lima indera? Mengapa tak satu atau dua saja, bukankah berdua itu lebih baik? Itu karena Allah Maha Memahami. Ia akan selalu paham bahwa manusia adalah lemah. Seringkali sangat tidak adil menggunakan inderanya, memandang sesuatunya dari satu indera saja, tanpa memberikan kesempatan untuk indera-indera lain memberikan responnya. Kebiasaan inilah yang justru bisa membuat seorang manusia ujub atau merasa kerdil ketika membandingkan dirinya dengan orang lain.

Kita yang kecewa karena indera penglihatan misalnya, yang terkadang merasa bahwa apa yang kita lihat adalah hal yang tak bisa lagi mendapat tempat kompromi di diri kita, mungkin lupa. Bahwa sebenarnya, terkadang kesenjangan bukan pada apa yang kita lihat. Melainkan indera penglihatan lah yang tidak menerima respon seperti biasa. Indera penglihatan -seiring berjalannya waktu- telah mendapat doktrin parameter dari kita sang empunya bahwa yang baik itu seperti ini, atau yang buruk itu seperti ini. Jadi ketika ia menerima respon, maka penilaian atas baik atau buruknya sesuatu hanya berbatas pada parameter tersebut. Tidak lebih. Sehingga, jelaslah mengapa manusia butuh lima indera. Ketika respon indera penglihatan telah sampai pada batasnya, maka tidak ada salahnya ketika kita memberikan kesempatan untuk indera pendengaran misalnya atau ketiga indera yang lain untuk memberikan responnya juga. Sehingga semakin adil lah kita dalam menilai sesuatu. Bukankah sebaik-baik indera adalah yang mampu berkoordinasi? Coba ingat-ingat lagi, betapa seringnya kita terpuruk dalam kekecewaan, padahal sebenarnya ‘keterbatasan’ respon itulah yang dikecewakan. Betapa seringnya kita memandang buruk orang lain, padahal kita sendirilah yang tidak berdaya melihatnya lebih saksama.

Sekali lagi kita hanyalah manusia. Lemah dan seringkali lupa. Tak ada yang lebih baik selain bersyukur pada apa yang telah Allah titipkan sebelum semuanya dimintai kembali. Tentunya dengan laporan pertanggungjawabannya masing-masing.

Jadi, biasakan indera mu untuk berbagi. Dan biarkan masing-masing mereka berbicara.

:)