“…maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Sudah tiga hari saya di sini. Di tempat ini. Berhadap-hadapan dengan tembok putih yang bisu. Mendengar suara-suara yang tak jelas gaungnya. Melihat wajah-wajah manusia yang menuntut jawaban atas suatu ketidakpastian. Berusaha melaksanakan sebagian kecil kewajiban sebagai seorang adik. Ah, akhirnya saya merasakannya juga. Tapi kali ini, saya tak ingin berlama-lama. Sungguh.
Tiga hari yang lagi mengajarkan saya tentang makna sebuah kesyukuran. Bersyukur pada apa yang kita punyai hari ini. Bukan malah keluhan yang kita persembahkan sebagai wujud protes pada apa yang senjang dari harapan.
Dan, tiba-tiba saya berpikir tentang kebahagiaan. Faktanya, kita (manusia) ingin dan butuh kebahagiaan. Tapi seringkali yang kita rasakan adalah kebahagiaan semu. Setelahnya, menangis. Mungkin penyebabnya adalah karena kita masih mengharapkan kebahagiaan itu datang dari seorang manusia bukan dari Allah. Atau memang kita tak pernah tahu letak kebahagiaan itu?
Sesungguhnya kebahagiaan itu terletak di sini. Di hati kita. Ia datang bersama hati yang tenang… dan sesungguhnya hati yang tenang adalah pengejawantahan dari rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh. Sekecil apapun nikmat itu.
Terima kasih yaa Rabb atas teguranMu.
Maafkan atas kelalaianku.
Ampuni atas ketidaksyukuranku akan nikmatMu.
@Intensive Care Unit of Ibnu Sina Hospital