Wednesday, July 5, 2017

Ghaida 18 Bulan




Tepat tanggal 30 Juni kemarin, balita fantastik ini genap berumur 18 bulan. Satu semester lagi akan memperoleh gelar S3, meski abi ummi tidak begitu “mewajibkan” Ghaida sampai S3. Hehe. Nah, sekarang saya ingin membahas kemampuan verbal Ghaida sampai umurnya 18 bulan ini. Saya pribadi takjub dengan bagaimana bayi merekam dan menyimpan kosakata dalam memorinya. Kata pertama Ghaida ucapkan hampir bersamaan dengan jadwal pemberian MP-ASInya dan sampai umurnya 18 bulan ini, pertambahan kosa kata yang bisa dia ucapkan lumayan pesat menurut saya. Alhamdulillah.

Kata-kata yang sudah bisa diucapkannya sampai berkali-kali adalah:
Jatuh, sakit, air, Allah, Allahuakbar, aamiin, haus, pohon, popok, sapu, makan, minum, abi, hp, pedis, baca, bobo, pipis, balon, bola, yoyo, habis, duduk, nenen, kucing, gigi, pipi, mata, sepatu, pintu, tutup, mana, baju, sudah.

Selebihnya, dia bercakap dengan cara mengoceh. Beberapa instruksi juga sudah bisa diterimanya. Misalnya: mencium & memeluk abi umminya, melakukan gerakan shalat dengan baik seperti takbiratul ihram, sujud, menggoyang-goyangkan telunjuk ketika duduk tasyahud, berdoa, memasang dan membuka sepatu, menutup dan membuka pintu, mengambilkan hp abi/ummi, menunjuk benda-benda yang disebutkan seperti air, popok, minyak telon, pohon, jam dinding, rambut, hidung, mulut, gigi, telinga, pipi, perut, jenggot abi, wajahnya, wajah abi/ummi di bingkai foto, membuang kertas di tempat sampah, mengoceh (membaca,red) ketika memegang mushaf dan buku, dll.

Begitulah cara kami merekam dan mengevaluasi perkembangannya. Harapan saya 1 semester ke depan adalah menambah koleksi buku anak dan rutin memperdengarkan murattal anak. Semenjak sudah bisa jalan di umur 11 bulan, dia tipikal anak yang diam jika sudah tidur. Membacakannya buku dan melihat video tahfizh Qur’an di youtube adalah salah satu kegiatan yang bisa membuatnya duduk diam dan memperhatikan. Semoga dimudahkan. Abi, ummi, Ghaida dikuatkan :)
Bismillah.

Menjadi Ayah



Panggilan “ayah” dari anak-anak, ketika si buruh pulang dari pekerjaannya, adalah obat duka dari dampratan atasan di kantor.
Suara “ayah” dari anak-anak yang berdiri di pintu, itulah yang menyebabkan telinga menjadi tebal, walaupun gaji kecil.
Suara “ayah” dari anak-anak, itulah akar tunggang dan pucuk bulat bagi perikehidupan manusia.
(Buya Hamka)

Maasyaa Allah. Seperti itulah salah seorang ulama kita memandang pentingnya keluarga. Meski seorang ayah disibukkan dengan berbagai aktivitas di luar rumah, ingat lagi bahwa di rumah, di dalam bingkai keluarga kita, ada dua, tiga, atau lebih jiwa yang menuntut kehadiran kita. Meminta pelukan dan belaian kita sebagai orang tua. Rumah kita adalah madrasah anak-anak kita. Mereka akan merekam, mencatat, dan menyimpan baik-baik kenangan seorang ayah bersama mereka.  

Peran sebagai seorang ayah memang perkara yang gampang-gampang susah. Saya menyaksikan sendiri bagaimana suami harus “bertingkah” seperti orang yang jauh dari rasa capek dan lelah begitu tiba di rumah. Setelah seharian menjalankan kewajiban sebagai seorang praktisi kesehatan, menghadapi pasien dengan segala karakternya, hingga perjalanan pergi-pulang fasilitas kesehatan yang kadang tidak mau saya bayangkan, seorang suami harus nampak segar dan fit begitu menginjakkan kaki di rumah. Belum lagi ketika kepala baru saja direbahkan, dering handphone sejawat yang ingin konsultasi pasien masih wajib diladeni. Hingga tak jarang saya melihat beliau menerima telepon sambil menimang sang buah hati yang meminta haknya. 

Peran sebagai seorang ayah, memang perkara yang gampang-gampang susah. Di hari libur kerja, ketika ada waktu untuk beristirahat, istri dan anak justru meminta haknya untuk quality time di luar rumah. Ingin mengabadikan kenangan katanya. Tidak penting dimana tempatnya, asal sang ayah turut hadir bersamanya.

Namun di balik capek dan lelahnya seorang ayah, ada anak yang diam-diam menyimpan kagum pada sosok pahlawan pertamanya. Ada anak yang kelak bersemangat menceritakan budi baik panutannya. Ada istri yang bertambah cinta dan kasihnya. Dan, tentu saja ada Allah yang bertambah rahmatNya pada hambaNya.