Monday, October 27, 2014

Dream Catcher



Sering sekali dalam hidup, kita dihadapkan dengan cerita-cerita yang belum atau tak sempat selesai. Untungnya jika film, maka saya akan memikirkan sendiri akhir cerita tersebut dengan asumsi yang saya bangun sendiri - sebuah akhir cerita yang bahagia-. Dimana sebuah keluarga yang terpisah akan bersatu kembali, hantu yang telah dimusnahkan tidak lagi ada di muka bumi untuk mengganggu sekelompok mahasiswa baik hati, atau sekedar memikirkan bahwa Miko akan menemukan wanita yang betul-betul mencintainya apa adanya. Seperti itu. Maka cerita-cerita yang belum atau tak sempat selesai setidaknya memberikan sedikit banyak harapan kepada kita, saya sih, tentang adanya akhir cerita yang bahagia.
Bulan ini menghadirkan banyak letupan kembang api di depan mata saya. Sebagian telah menemukan akhir yang baik, sebagiannya lagi belum selesai. Sebagian memilih saya jadi saksi, sebagiannya lagi menakdirkan saya sebagai pelaku. Jika dalam sebuah pertandingan sepak bola, seorang pemain membutuhkan dukungan atau pembelaan dari banyak orang, maka agak miriplah saya dengan mereka. Maka jauh-jauh hari, saya mencoba menelisik orang-orang yang kiranya bisa mendukung saya dalam hal ini. Saya memulainya dengan orang-orang yang paling dekat, dekat, lumayan dekat, sampai orang-orang yang belum pernah saya temui sekalipun. Dukungan yang paling berharga, do’a tulus.

Jika orang-orang pribumi Amerika sana menggantungkan sebuah dream catcher sebagai jaring-jaring simbolis di atas tubuh seseorang yang tidur untuk melindunginya dari hambatan pencapaian visi, gagasan, dan cita-citanya, maka saya merasa memiliki dream catcher yang jauh lebih berharga dari sebuah benda mati yang dimiliki orang-orang pribumi Amerika itu. Ada orang tua, teman, sahabat, guru-guru, serta orang-orang yang dengan tulus mencintai serta mendukung saya lewat do’a-do’anya. Dan inilah mereka yang seharusnya paling membuat kita bahagia, apapun dan bagaimanapun akhir cerita yang sedang kita lakoni.
 

Monday, September 22, 2014

Genting.



Perlahan namun pasti, Genting memasuki koridor pribadinya. Menemui saya yang sudah beberapa jam menunggunya. Kini, kami berjalan berdampingan. Saling melihat tanpa kata-kata.  Berjalan pelan-pelan menuju ruang dan masanya. 

Bagi saya, Genting ini terlalu cepat datangnya. Mungkin dia tidak ingat bahwa saya adalah penunggu yang ulung. Tapi baiklah, terlalu cepat ia datang berarti akan cepat pula ia pergi. Genting, dalam harapan saya adalah sosok yang baik. Meski ia terlalu cepat datang, sebenarnya ia hendak mengevaluasi saya. Jadi bertemu dengannya adalah waktu yang pas menakar sejauh mana usaha, kerja keras, dan kebermanfaatan saya selama ini. 

Detik ini, saya masih bersama Genting. Ia masih berjalan-jalan di dalam ruang dan masanya, di selubung otak saya. 

Saya berjanji pada diri sendiri, bahwa Genting akan memberi saya gulungan cerita yang manis di tengah kemarau yang langgeng ini. Hidup memanglah penuh rahasia. Tugas saya adalah menyingkapnya satu-satu, dengan mata dan hati yang selalu terbuka. 

Dan Genting, mudah-mudahan dia cepat pergi.

Rumit



Tidak ada manusia yang tidak rumit. Maka, Maha Besar Allah yang Maha Memahami setiap makhluknya.
Dulu, waktu mahasiswa, inginnya cepat-cepat selesai. Pas selesai, eh, rasa-rasanya ingin kuliah lagi.
Pas kuliah lagi, maunya selesai tepat waktu. Pas selesai, rasa-rasanya kok ingin kuliah lagi?

Terus, apa sebenarnya mau saya?
“Apapun! Yang penting sama kamu!!!”. Hueks.

Tunggu! Siapa yang barusan bicara ?

Tuesday, August 19, 2014

Bukan Kata Pengantar



Saya, mungkin juga anda, masing-masing memiliki panutan dalam dunia kepenulisan dan perfilman. Saya selalu berharap agar kelak saya mampu menulis sebuah buku seberhikmah Ustadz Salim A.Fillah. Yang kata-katanya mampu menyadarkan raga yang jumawa, yang nasehatnya mampu menghadirkan oase di tengah keringnya iman.

Di tahun 2010, saya langsung jatuh cinta pada karya-karya bang Tere Liye setelah membaca novel “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Spontan saya kegirangan begitu tahu bahwa aktor idola saya, Reza Rahadian berperan sebagai abi Delisa dalam film yang diadaptasi dari novel Tere Liye yang berjudul Hafalan Shalat Delisa di akhir tahun 2011. Hal ini membuat saya sungguh kecewa tatkala mengetahui bahwa di tahun berikutnya, Reza Rahadian “batal” memerangi sosok Dalimunte di film Bidadari-Bidadari Syurga, adaptasi dari novel Tere Liye dengan judul yang sama. Tapi, rasa kecewa itu langsung terobati begitu mengetahui bahwa Reza Rahadian akan memerangi sosok BJ.Habibie di film biografi Habibie Ainun dan uda Aziz di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di tahun berikutnya lagi. Anehnya, saya tidak ngebet menonton film Reza Rahadian semisal Test Pack. Mungkin sahabat saya benar, bahwa artinya saya tidak fanatik amat dengan Reza Rahadian. Alhamdulillah, artinya saya masih berada dalam “koridor” yang benar :D

Satu hal yang agak ganjil, bahwa di dunia kepenulisan misalnya, saya tidak begitu menyukai karya-karya penulis yang sudah memiliki banyak penggemar. Tere Liye misalnya, begitu karya-karyanya melejit seperti sekarang, saya jadi malas membaca lagi novelnya. Novel terakhir yang saya baca (sebagian) adalah sekuel Negeri Para Bedebah, tahun lalu. Karya-karya selanjutnya, belum pernah lagi saya baca. Bukan karena kualitas novelnya menurun, ya. Hanya saja saya –sepertinya- berganti minat pada tema-tema buku bacaan yang beredar. Mungkin saja saya sudah berubah (?)

Tahun ini, saya sedang gemar-gemarnya membaca dan mengoleksi buku-buku tentang perjalanan. Setidaknya dari buku bertema perjalanan, saya juga bisa mendapat informasi tentang sejarah dan pergerakan di masa lampau. Meski sebenarnya saya akui, mengapa bukan dari dulu saya mempelajarinya. Hal ini mungkin juga menjadi alasan mengapa saya memilih tugas akhir yang berdesain “penelusuran di masa lampau”, atau bahasa kerennya Cohort Retrospective. Menelusuri jejak atau riwayat orang di masa lampau –paling tidak- membuat saya semakin sadar bahwa gaya hidup di masa lampau sangat mempengaruhi masa sekarang. Ini menjadi pengingat bagi saya yang belum bisa mengurangi intake caffeine ke dalam tubuh. Hehe

Tugas akhir ini juga memberikan saya harapan baru, bahwa kelak semoga saya mampu menulis sebuah buku bertajuk epidemiologi seperti kesederhanaan bapak Sopiyudin Dahlan meramu kata-kata perumpamaan dalam beberapa buku statistiknya sehingga saya yang kadang telat mikir ini mampu menyelesaikan analisis tugas akhir dengan baik (terharu…!). Semoga ke depannya saya bisa bertatapan langsung dengan beliau, setelah beberapa bulan yang lalu saya tidak sempat menghadiri pelatihannya. 

Akhirnya, bulan kemerdekaan ini turut pula memberikan kado kemerdekaan kepada saya dan teman-teman. Kado ini saya terima sembari memanjatkan do’a penuh harap agar tugas akhir saya bermanfaat sebaik-baiknya. Do’a yang sama sebagaimana Ustadz Salim A.Fillah mengakhiri karya emasnya “Lapis-Lapis Keberkahan”.

“Ya Allah, jadikan tiap huruf yang mengalir dari jemari ini butir dzarrah kemuliaan, yang berantai-rantai mengalirkan pahala kebajikan. Ya Allah, jadikan tiap kata yang berbaris mesra di kalimatku ini tali temali keberkahan, yang menghubungkanku dengan ridha-Mu di tiap helaan”.
Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin...


Bagian yang paling mengharukan dalam sebuah tugas akhir adalah penulisan kata pengantar. Sebab berkat adanya kata pengantar, kata-kata yang tak mampu terucap langsung bisa tertuang, berjejer rapi di sana.