Tuesday, March 26, 2013

Perjalanan di Bawah Langit



_ Sebuah perjalanan akan “menguliti” seseorang _
(Khalifah Umar Bin Khattab)


Cerita yang paling menarik adalah cerita tentang sebuah perjalanan. Seseorang yang baru saja mengadakan sebuah perjalanan tidak akan merasa tenang sebelum menceritakan apa, bagaimana, dan bilamana perjalanan itu dilakukan. Apa yang mereka temui dan apa yang mereka rasakan akan mudah terangkai dengan indah menjadi sesuatu yang membuat orang-orang yang membaca atau mendengar cerita itu memberikan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang terbius untuk melakukan perjalanan yang sama, atau sekedar muka pengen tanpa bisa berbuat apa-apa. Pernyataan terakhir dianggap sebagai sesuatu yang mengenaskan. Wajah-wajah orang yang merasakannya akan terlihat sangat memprihatinkan. Situasi “muka pengen tanpa bisa berbuat apa-apa” ternyata pun disebabkan oleh berbagai hal. Ada yang disebabkan karena faktor biaya, faktor kesibukan, dan faktor mahram. 

Khalifah Umar Bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah berkata bahwa “janganlah engkau merasa bahwa engkau telah mengenal orang lain dengan baik jika engkau belum pernah melakukan perjalanan bersamanya”. Mungkin ini sebabnya mengapa khalifah Umar sampai menyebut bahwa perjalanan bisa menguliti seseorang. Lebih tepatnya menguliti kepribadian seseorang. Dalam sebuah perjalanan, kepekaan dan kepedulian adalah hal yang paling dituntut. Bukan hanya kepada rekan seperjalanan kita, tetapi kepekaan dan kepedulian juga patut diberikan kepada apapun dan siapapun yang kita temui dalam perjalanan tersebut. Kita dituntut untuk tidak merusak esensi perjalanan. Dari situlah, tanpa kita sadari sebuah perjalanan akan menjadi momentum evaluasi diri bagi para musafirnya. 

Sebuah perjalanan, sengaja atau tidak, akan memberikan dampak yang luar biasa bagi para musafirnya. Bukan pada selama apa perjalanan itu dilakukan. Tapi seberapa banyak ibrah (hikmah) yang bisa kita petik manakala melakukan sebuah perjalanan. Ibrah adalah manifestasi sebuah perenungan. Perenungan tentang ciptaan dan kekuasaan Allah, baik yang terekam oleh pancaindera maupun yang abstrak. Hingga bagaimana mungkin sebuah perjalanan bisa terlalui begitu saja tanpa ada secuil pun hikmah yang tertinggal?

Banyak orang yang melakukan perjalanan demi sebuah kebahagiaan. Percaya bahwa kebahagiaan berada di suatu tempat yang entah. Tampil sebagai hal-hal yang seringkali tidak bisa diterima dengan akal sehat. Karena jenuh, orang bisa berperang dan melarikan diri dari rutinitasnya untuk mencari kebahagiaan itu. Tak sedikit orang yang hanya kehabisan bekal di setengah perjalanan sebelum kebahagiaan mereka temukan. Namun, tak sedikit pula orang yang menemukan kebahagiaan justru dari hal-hal kecil selama perjalanan tersebut. Semua menghadirkan cerita dengan plotnya masing-masing. Seberapa banyak yang menyukai cerita perjalananmu bergantung pada bagaimana caramu bercerita. Menghadirkan ketertarikan dalam setiap rangkai katanya sehingga orang-orang yang mendengar atau membaca memiliki kecenderungan untuk membuka dan mengetahui isi dari setiap rangkaian tersebut. 

Tapi keinginan kita, tak akan bisa terpenuhi hanya dengan menjadi pendengar ataupun pembaca. Tidak ada pilihan selain melakukan perjalanan sendiri. Menciptakan cerita, berbagi hikmah, lalu menebarkannya seperti benih-benih yang tumbuh sebagai tabungan kebaikan. Sesungguhnya Allah menghadirkan banyak sekali peringatan dari apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan”. Termasuk di dalamnya perjalanan menuntut ilmu dan perjalanan dalam rangka menjadi manusia yang lebih baik. Lalu adik saya menambahkan perjalanan menemukan penggenap separuh agama yang saya sendiri kurang mengerti apa maksudnya. Anggap saja saya pura-pura tidak tahu.

Intinya bahwa, apapun jenis perjalanannya dan bagaimanapun hambatannya, tugas kita adalah mencari karunia dan ridha Allah. Fantasiruu fil ardh… Selamat melakukan perjalanan di bawah langit. Semoga bekal kita cukup sampai tercapainya tujuan. Aamiin.

Sporangium



Teruntuk kapas-kapas putih yang bergelantungan di langit, Maha besar Allah yang menciptakanmu, menciptakan perubahan yang setiap detik menyelimuti milyaran penduduk bumi, meski mereka tak selalu menyadari.
Dirancangnya perubahan itu dengan sebaik-baik rancanganNya, sehingga siapapun akan merasa tertarik mendengar dan membicarakannya. Keduanya sama dengan menuai sedikit demi sedikit mimpi yang telah menjadi nyata lalu kamu merayakannya dengan minum kopi bersama bapak di pagi hari sambil membicarakan hal-hal absurd di masa depan. 

Ketika mendengar nama Makkah Al Mukarramah, maka bergidiklah jasad mengingat sebuah masjid agung nan kokoh yang tidak pernah “tidur”. Di saat yang sama, mata dicengangkan dengan membludaknya jamaah shalat Jum’at di London sampai-sampai jalanan pun mereka gunakan untuk shalat. Di Palestina, kiblat pertama umat Islam masih berdiri kokoh di tengah gempuran-gempuran senjata para pencuri kekuasaan, orang-orang menyebutnya bangsa kera. Di belahan bumi yang lain, keberadaan masjid-masjid sibuk melayani sekitar 3,5 juta penduduk Muslim Jerman yang menempatkannya sebagai negara kedua di Eropa setelah Prancis dengan jumlah warga Muslim yang paling banyak. Semoga Ozil adalah salah satu yang tak dilupakan. Dan Suriah, sebuah negeri tempat revolusi berkobar, semangat kembali kepada Islam pun turut berkibar.


Lalu jauh di seberang samudera, terkenanglah sebuah negeri paru-paru dunia. Penduduknya ramah, bertahtakan kearifan lokal budaya. Manusia-manusianya sibuk bekerja, belajar, dan beramal. 
Di negeri itu, semakin banyak manusia yang menyeru dan memperjuangkan kebenaran. Di parlemen, di kantor, di kampus-kampus, di sekolah-sekolah, di masjid-masjid, sampai di tempat-tempat dagang kaki lima. 

Semuanya berubah. Sedikit demi sedikit. Namun niscaya. Seniscaya ketika perubahan itu mesti menyisakan rasa sakit di ulu hati. Juga seperti ketika merangkak di atas batu-batu kerikil demi sebuah tujuan yang mulia. Maka fitnah, hujatan, cacian, makian adalah bumbu-bumbu penyedap yang membuat mereka pantang hengkang sebelum waktunya.

Menghadirkan pemandangan indah. Seindah dengan menyaksikan sendiri seorang perempuan di dekatmu yang baru saja mengambil keputusan besar dalam hidupnya dengan berani menghentikan hubungan bernama pacaran sebelum menikah, lalu disusulnya dengan komitmen merapikan hijab.
Ah, betapa nikmat hidayah itu tak bisa dibayar dengan apapun di dunia ini. 

Lalu kita, masih saja disuguhkan dengan pilihan di depan mata. Betah dengan tetap menjadi penonton? Atau bergegas di garda depan dengan identitas baru sebagai pelaku. Pelaku perubahan. Sederhana, bukan ?!

Wednesday, March 13, 2013

Sebentar Saja

Sepertinya kita perlu mengambil jeda. Sebentar saja
Menyandarkan punggung-punggung kelelahan
Menginsyafkan perut-perut kekenyangan
Meluruskan niat-niat kesesatan
Membasuh wajah-wajah keangkuhan

Sebentar saja.
Lupakan hingar bingar itu
Kita rengkuh doa dalam sepi
Merasakannya terbang mengelilingi sang bumantara
Lalu berakhir di pelupuk mata malam
Sebagai deklarasi lemahnya Al Insan

Sebentar saja
Menangis lah sejadi-jadinya
Menyesal lah sedalam-dalamnya
Untuk dunia yang terlalu diagung-agungkan, digaung-gaungkan

Setelah itu
Biarkan tawakkalmu mengalun dalam tidur
Melebur ragu, membentuk kepasrahan yang utuh
Bukan. Bukan pada sesiapa
Bukan manusia, pun bukan malaikat
Tapi pada Ia, Yang Maha Kuat
Tidak mengantuk, tidak pula tidur
Yang Malu, manakala tidak mengijabah doa-doa hambaNya

Maka masihkah ragu meliputi raga mu?

Saturday, March 9, 2013

Kiri, Pak!



Mungkin saja namanya Budi, Anton, atau Iwan. Saya tak tahu pasti. Yang saya ingat hanyalah bahwa dia adalah supir pete-pete terbaik yang pernah saya kenal (?). Dari gayanya bertutur, jelas sekali kalau dia adalah orang dari utara pulau Sulawesi. Mm, mungkin Manado atau Gorontalo. Khusus untuk hari ini, dia adalah orang yang paling saya susahkan di sepanjang perjalanan menuju sebuah masjid. Sebenarnya, saya telah dua kali mengunjungi masjid ini dan dua kali pula melewati jalan yang berbeda. Sehingga untuk perjalanan yang kedua ini, kemungkinan saya tersesat sangatlah besar. Abang supir telah mewanti-wanti saya untuk mengingat lagi apa saja yang telah saya lewati pada saat kunjungan pertama ke masjid ini. Tapi ya begitu, saya hanya mengingat tempat-tempat yang justru membuat abang supir semakin kebingungan. Karena saya takut membuatnya semakin kecewa(?), maka saya merahasiakan bahwa saya adalah orang yang susah menghafal jalanan. Akibatnya, selama satu jam di dalam pete-pete, saya selalu berusaha memperlihatkan wajah yang optimis menggebu-gebu. Padahal sebenarnya, hati saya meringis melihat wajah abang supir yang telah kelelahan mencari masjid ini. 

Di dalam pete-pete, saya adalah satu-satunya penumpang yang tersisa. Dan saya bersyukur. Coba bayangkan ketika adegan tersesat ini mesti disaksikan oleh penumpang-penumpang yang lain, hanya ada dua kemungkinan. Penumpang yang lain turut prihatin atas apa yang menimpa saya, atau mereka melihat saya sebagai momok yang harus dibasmi (?). Intinya kesendirian saya dalam pete-pete membuat ketersesatan saya kali ini adalah hal yang patut dikenang (?). 

Kecenderungan lupa jalan, ini memang salah satu disability yang belum bisa saya taklukkan. Orang-orang sekitar saya (beberapa sahabat) bahkan sudah memakluminya. Sampai-sampai bila suatu ketika saya dengan tidak sengaja bisa menghafal detail jalanan, mereka akan memberi tepuk tangan. Anggap saja begitu. Karena kecenderungan ini pula, saya pernah sangat mengidolakan Dora The Explorer yang kemana-mana takkan tersesat. Ada peta, ada peta, ada peta. Hentikan!
Tapi saya menyadari bahwa saya bukanlah Dora yang selalu dibantu dengan peta hidup kemanapun dia pergi. Saya hanyalah manusia biasa yang sekarang sedang berjuang mengingat jalanan menuju sebuah masjid. Manusia yang dengan teganya menyita waktu abang supir yang baik hati. 

“Bagaimana, dek? Ini bukan masjidnya?”
“Sepertinya bukan, Pak. Masjid yang saya datangi sebelumnya lebih besar. Namanya pun bukan masjid Taqwa”.
“Mm, kalau begitu mungkin di blok lain. Kita coba ke lorong sebelah”
“Iya, Pak”.

Tak berapa lama, “kiri,Pak!”. 

Akhirnya, di blok sebelah itulah saya menemukan masjid yang dimaksud. Hujan sudah mulai turun. Perlahan-lahan semakin deras. Abang supir sumringah. Kelihatan sangat lega. Saya turun dari pete-pete dalam kondisi tidak tega dengan hanya memberikan uang tiga ribuan kepada abang supir. Akhirnya, saya memberikan selembar uang kertas yang sedikit lusuh tapi nominalnya lebih dari berapa yang seharusnya saya bayar. Abang supir dengan sigap mencari uang kembalian.

“Sudah,Pak. Tidak Usah”
“Wah, terima kasih, Dek”. Abang supir dan wanita di sampingnya tersenyum. Yap, dia bukan penumpang. Entahlah. Mungkin semacam orang yang abang supir kasihi atau sayangi atau sejenisnya. Abang supir hanya menitipkan satu pesan sebelum saya berlari masuk masjid.
“Dek, hati-hati pulangnya. Jangan sampai tersesat lagi”.
“Iya, pak. Terima kasih”.

Mumpung masih hujan, buru-buru saya mendoakan abang supir agar bahagia dalam hidupnya dan dilancarkan rejekinya. Satu lagi, saya pun berdoa untuk diri saya sendiri agar tak sampai seperti Rumor yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Karena kemungkinannya akan lebih gawat. Sepertinya.

Di dalam masjid, ada beberapa senyum tak kalah teduhnya yang menyambut keterlambatan saya.

Alhamdulillah.