Monday, December 31, 2012

Semacam Ocehan


Untuk kalian yang sedang menikmati riuh suara-suara penghujung tahun.

Bagaimana jika pada akhirnya bunyi terompet itu sendiri yang merusak mimpi-mimpimu?
Atau letusan petasan itu sendiri yang menghancurkan harapan-harapanmu yang terbang ke langit?
Sementara warna warni kembang api tak lain hanya fatamorgana keindahan sesaat.
Besok, semoga tak kau dengar korban berjatuhan akibat warna-warninya yang palsu.

Sudah kubilang kan? tapi kau seperti menambal kedua lubang telingamu. Pura-pura tuli untuk sesuatu yang justru bisa menyelamatkanmu.

Ah... dasar "anak-anak" !!!

Monday, December 17, 2012

Hawqala

Menikmati,

Seperti menghafal satu persatu angka romawi dan huruf hijaiyah pada saat usiamu tujuh tahun.
Seperti meraih predikat murid berprestasi tingkat kelurahan dan membawa pulang seperangkat alat tulis sebagai ‘mahar’ keberhasilan
Seperti mematenkan satu nama dalam ruang imaji yang teduh, menurut tuannya

Berusaha terarah dalam niat
Mengakrabi keteraturan
Mengokohkan keterpeliharaan
Mengutamakan keterhiburan diri dan kebermanfaatan bagi orang lain

Dan tentu saja,
(Kembali) setia menangkap jejak dalam kepulan asap kopi yang menari

Teriring,
La hawla wala quwwata illa billah…

Thursday, December 6, 2012

Jeda Gingga pada Malam

Dia gemintang, yang hampir tak pernah menjangkau tendensi berlebihan pada diri Gingga. Dia purnama, yang hampir tak pernah mengalahkan rasa kagum seorang Gingga pada bentangan seluas bumantara. Yang semakin Gingga mengaguminya, semakin tinggi pula rasa ketidaklayakannya pada secuil pun angkuh. 

Lalu pada malam ini, Gingga menyeringai ketika bulan menyapanya dalam setengah purnama yang berangsur hilang. Sedang gemintang, mengedipkan isyarat agar mata tidak dulu terpejam.

Bulan, gemintang, dan malam. Semakin larut, semakin mereka mengantarmu pada random ingatan yang membuatmu kembali rindu. Bahkan pada sesuatu yang sama sekali belum engkau mulai, walaupun telah engkau temui.
Kembali hadir, seperti bulan dan gemintang pada malam. Pada orang-orang yang menyaksikannya di bawah langit. Pada mata yang sama, meski tempat yang berbeda.

Lalu Gingga mulai tak mengerti mengapa ada rindu yang berkali-kali pada sesuatu yang hampir setiap hari ia temui. Adakah bulan dan gemintang demikian adanya pada malam? 

Gingga meraih bentangan yang lain. Sejenak memilih lupa, lalu berusaha berdamai dengan malam,
berharap pagi datang lebih cepat. Membawa simpul senyum jingga yang hangat.
Menangkapnya satu persatu, lalu membagikannya pada orang-orang yang kembali merindu.

Agar jeda tak lagi sekedar ada.

Saturday, December 1, 2012

Tembang untuk Langit

Dulu ketika anak-anak ingusan itu ditanya soal sahabat sejati, maka akan kau temukan mereka menunjuk pada sehelai kertas minyak yang telah dirangka bambu pada sisi-sisinya. Di setiap sore yang acak, di atas tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu selalu bersua dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Maaf saja, tidak ada lelah dalam kamus kehidupan mereka, yang ada hanya kekuatan untuk terus bermain di bawah sinar matahari yang hangat. Ah, betapa sederhananya kebahagiaan mereka. Sesederhana ketika mereka diberi uang jajan untuk membeli sekeping balon aa atau es kue warna-warni.

Suatu ketika, angin datang dengan gagahnya. Debu-debu beterbangan, memadati daki-daki di serat-serat kaos oblong yang semakin kusam. Lalu anak-anak kecil itu menemui akhir kebahagiaannya bersama sahabat sejati. Terbang, jauh, jauh dari uluran dan tarikan tangan-tangan kecil yang terkalahkan angin.

Lalu sahabat sejati mendapati dirinya pada ranting pohon kering yang tak terjangkau tangan-tangan kecil. Di sisi lain, ada pula yang beruntung ditemukan tangan-tangan kecil yang baru saja berlelah-lelah mengejar dirinya. Lalu ditambalnya luka-luka dengan sejumput kebahagiaan yang baru saja diciptakan. Hingga terbang kembali dan menikmati parade alam semesta adalah harapan yang nyata. 

Pada akhirnya, masalah bukan pada kerelaan melepas kebahagiaan yang telah ada digenggaman tangan, namun lebih dari itu. Anak-anak kecil ingusan belajar membagi kebahagiaannya dengan alam semesta. Pada ranting pohon kering yang mungkin saja kesepian, pada angin yang tidak ingin disebut tidak gagah, atau pada tangan-tangan kecil yang lain. Tangan-tangan yang mengandalkan kekuatan untuk berlari mengejar, bukan pada rengekan palsu agar ada yang mengasihani. 

Lalu, di tempat yang sama, di sore yang acak, di atas tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu kembali bersua dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Siapa bilang kebahagiaan mereka hilang, melepas dan membagi kebahagiaan kepada alam semesta akan memunculkan kebahagiaan baru. Semacam imbalan yang telah dipersiapkan dari hasil kolaborasi alam yang tak kalah aneh. Hingga tiba pada suatu kesimpulan, bahwa segala sesuatu di bawah langit, termasuk kebahagiaan hanya berpindah posisi mengikuti suatu siklus yang niscaya. Tidak hilang, tidak pula lenyap. Mereka tetap ada walau mata tak lagi melihatnya. Mereka bersuara, walau telinga tak lagi mendengarnya. Di suatu waktu dan tempat yang entah, mereka akan muncul dalam hati yang senantiasa dibaluti dengan prasangka baik kepada Sang Pencipta.

Masalahnya sekarang adalah saya hampir tak mengetahui lagi siapa sahabat sejati anak-anak kecil yang hidup di zaman tua yang tak dewasa ini hingga kebahagiaan masih betah bersembunyi pada siklus keniscayaan itu.

Saturday, November 24, 2012

Pecahan

lalu perempuan mulai memikirkan apa yang akan terjadi besok, lusa, semenit, dua menit
pada hembus nafas selanjutnya
pelan-pelan  semacam pecahan kaca yang berserakan dan mengumpulkan dirinya sendiri
menjadi utuh kembali, namun retak di sana sini

kemudian air yang telah lama tertahan
seperti membuncah. memaksa keluar dari dua cadas kelopaknya
terberai pada masa yang disimpul senyum, mati

lalu, mestikah menyalahi waktu?
perempuan masih saja bertanya pada wajah pecah-pecah
dalam pecahan semacam kaca