Dulu ketika anak-anak ingusan itu ditanya
soal sahabat sejati, maka akan kau temukan mereka menunjuk pada sehelai kertas minyak
yang telah dirangka bambu pada sisi-sisinya. Di setiap sore yang acak, di atas
tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu selalu bersua
dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Maaf saja,
tidak ada lelah dalam kamus kehidupan mereka, yang ada hanya kekuatan untuk
terus bermain di bawah sinar matahari yang hangat. Ah, betapa sederhananya
kebahagiaan mereka. Sesederhana ketika mereka diberi uang jajan untuk membeli
sekeping balon aa atau es kue warna-warni.
Suatu ketika, angin datang dengan
gagahnya. Debu-debu beterbangan, memadati daki-daki di serat-serat kaos oblong
yang semakin kusam. Lalu anak-anak kecil itu menemui akhir kebahagiaannya
bersama sahabat sejati. Terbang, jauh, jauh dari uluran dan tarikan
tangan-tangan kecil yang terkalahkan angin.
Lalu sahabat sejati mendapati dirinya
pada ranting pohon kering yang tak terjangkau tangan-tangan kecil. Di sisi
lain, ada pula yang beruntung ditemukan tangan-tangan kecil yang baru saja
berlelah-lelah mengejar dirinya. Lalu ditambalnya luka-luka dengan sejumput
kebahagiaan yang baru saja diciptakan. Hingga terbang kembali dan menikmati
parade alam semesta adalah harapan yang nyata.
Pada akhirnya, masalah bukan pada
kerelaan melepas kebahagiaan yang telah ada digenggaman tangan, namun lebih
dari itu. Anak-anak kecil ingusan belajar membagi kebahagiaannya dengan alam
semesta. Pada ranting pohon kering yang mungkin saja kesepian, pada angin yang
tidak ingin disebut tidak gagah, atau pada tangan-tangan kecil yang lain. Tangan-tangan
yang mengandalkan kekuatan untuk berlari mengejar, bukan pada rengekan palsu agar
ada yang mengasihani.
Lalu, di tempat yang sama, di sore yang
acak, di atas tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu kembali
bersua dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Siapa
bilang kebahagiaan mereka hilang, melepas dan membagi kebahagiaan kepada alam
semesta akan memunculkan kebahagiaan baru. Semacam imbalan yang telah
dipersiapkan dari hasil kolaborasi alam yang tak kalah aneh. Hingga tiba pada
suatu kesimpulan, bahwa segala sesuatu di bawah langit, termasuk kebahagiaan
hanya berpindah posisi mengikuti suatu siklus yang niscaya. Tidak hilang, tidak
pula lenyap. Mereka tetap ada walau mata tak lagi melihatnya. Mereka bersuara,
walau telinga tak lagi mendengarnya. Di suatu waktu dan tempat yang entah,
mereka akan muncul dalam hati yang senantiasa dibaluti dengan prasangka baik
kepada Sang Pencipta.
Masalahnya sekarang adalah saya hampir
tak mengetahui lagi siapa sahabat sejati anak-anak kecil yang hidup di zaman
tua yang tak dewasa ini hingga kebahagiaan masih betah bersembunyi pada siklus
keniscayaan itu.