Wednesday, February 25, 2015

Menuai Berkah, Menghimpun Asa



Terinspirasi dari sebuah shirah tentang pernikahan Uqail bin Abu Thalib dengan seorang wanita dari kalangan Bani Jasym. 

“Seperti lazimnya upacara pernikahan, para tamu ketika itu memberi ucapan selamat sekaligus sebagai do'a. "Semoga bahagia dan banyak anak," kata para tamu kepada pengantin laki-laki. Menerima ucapan selamat seperti itu, Uqail segera teringat Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam. Kemudian ia berkata, "Jangan kalian mengatakan demikian, karena sesungguhnya Rasulullah telah melarang hal tersebut." "Kalau demikian," kata mereka, "apakah yang harus kami katakan, wahai Abu Zaid?" Abu Zaid berkata "Katakanlah oleh kalian, semoga Allah melimpahkan berkah kepada kalian. Demikian yang diperintahkan kepada kita." 

Hadits ini mengajarkan kita bahwa yang paling penting untuk dicari dalam pernikahan bukan kebahagiaan melainkan keberkahan. Mendo’akan pengantin baru agar dapat mencapai pernikahan yang bahagia dan sekaligus banyak anak adalah makruh. Sebaliknya, sunnah bagi kita mendo’akan saudara kita yang menikah dengan do’a yang barokah. Mudah-mudahan pernikahan itu berkah bagi pengantinnya dan bagi orang-orang di sekelilingnya.”

Dan kami meyakini, bahwa ketika sebuah pernikahan telah diberkahi maka akan banyak kejutan-kejutan baik yang Allah siapkan untuk kami. Suami istri yang saling mengasihi & mampu menjalankan perannya dengan baik, anak-anak yang sholeh dan sholehah lagi cerdas, rizqi yang halal yang membuat pemiliknya berlomba-lomba dalam bersedekah, keluarga yang sama-sama merindukan hidup di bawah bimbingan dan aturan Allah, yang menjadikan dakwah sebagai porosnya, menjadikan ilmu sebagai bahan bakarnya, dan menjadikan rasa pengertian sebagai bentuknya. 

Semoga Allah memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya yang hina ini, dan semoga Allah memberikan yang terbaik untuk hamba-hambaNya yang senantiasa mencari ridhoNya.
Aamiin yaa rabbal’aalamin. 

Mohon do’a restu. Semoga berkah Allah senantiasa membersamai dalam perjalanan panjang yang akan kami mulai ini.
Agus & Salki 
(Insya Allah akad dan resepsi pernikahan: 08 Maret 2015)

Sunday, February 8, 2015

Kenangan Aisyah



Rasulullah berjalan ke bak air, berwudhu dengan sedikir menuangkan air, kemudian mendirikan shalat, lalu menangis. Air matanya mengalir ke dadanya. Tidak henti-hentinya beliau menangis hingga Bilal mengumandangkan adzan Subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang menjadikan engkau menangis sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosamu?”. Tanya Aisyah. Maka Rasulullah dengan lembut berkata,”Apakah tidak selayaknya jika aku menjadi hamba Allah yang banyak bersyukur?”.

Sebuah potongan kisah tatkala Aisyah ditanya oleh seorang sahabat perihal apa yang paling berkesan baginya selama hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kisah yang bukan sekedar haru biru atas kerinduannya kepada Rasulullah. Siang dan malam adalah rentetan hari perjuangan bersama Rasulullah. Indah, meski terkadang melelahkan. Kisah yang dituturkan Aisyah, adalah serangkaian makna tentang bagaimana Rasulullah menyikapi masa lalu dan masa depan. Adalah pelajaran yang sangat mahal bagi siapapun yang hendak meniti jalan kemuliaannya.

Tangis Rasulullah adalah cermin bagi kita. Bila Rasulullah yang dosanya telah diampuni, masa lalunya bersih dan masa depannya cemerlang masih menghadap Allah dalam tangis-tangis panjang, bagaimana dengan diri kita?. Betapa kita sangat perlu menambal dan mereparasi kesalahan-kesalahan kita di masa lalu. Ada sisi yang harus kita benahi. Tetapi tetap saja ada sisi lain yang harus kita syukuri. Kita lahir, tumbuh dan menjadi dewasa, bisa merasakan berbagai hal dengan hati, pikiran, perasaan, juga dengan panca indera kita. Jikapun bergunung syukur yang kita panjatkan, sejujurnya tidak akan pernah sebanding dengan gugusan nikmat itu.

Tangis Rasulullah, adalah dimensi perbaikan bagi kita, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Apa yang telah dan akan terjadi adalah rantai panjang yang setiap mata rantainya hanya hadir sekali, kecuali sebuah kemiripan yang baru yang berulang, namun tidak akan sama persis. Dalam sisa umur yang entah berapa, tidak ada yang lebih indah dari merasakan manisnya iman bersama dengan orang-orang yang saling mendukung, saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling menyayangi dalam bingkai syukur dan ampunan, dalam rangka ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Seperti tangis Rasulullah itu. seperti kenangan Aisyah itu. :)