Wednesday, September 28, 2011

Ketika Harus Berpisah

Bumi ini bulat, Sayang. Ketika kita semakin jauh, maka semakin dekat pula jarak kita untuk bertemu.

Percayalah, kita pasti bisa bersua kembali meski bukan lagi di lingkaran cahaya yang dulu. Bukan kah masih ada ‘kisah’ yang mesti kita bicarakan bersama-sama?

dan kita sengaja tak menyelesaikannya agar ada alasan untuk kita bertemu.

Di lain waktu. Di belahan bumi yang lain. Dengan kondisi yang lebih baik. Insya Allah.

*untuknya, yang bukan sekedar guru, tapi titian kami setiap kali hampir jatuh. Selamat menanti kehadiran buah hati ketiganya. Cinta kami. Selalu.

Sunday, September 25, 2011

Meraup Kebahagiaan dalam "Ayahku (bukan) Pembohong"

Hidup untuk bahagia adalah tujuan. Akan tetapi, sebagian manusia masih keliru mendefinisikan kebahagiaan itu sendiri. Tere Liye –melalui “dongeng-dongengnya” yang renyah- membawa kita menemui sang empunya kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan yang hakiki itu tidak datang dari orang lain, tapi dari sini -hati kita sendiri-. Beberapa kalimat dari novel ini saya kutip sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua, terutama bagi kita yang masih mencari-cari kebahagiaan hakiki itu. Ah, saya memang selalu suka dengan novel-novel Tere Liye. Kalau ditanya tentang siapa orang-orang yang telah menginspirasi saya? Dialah salah satunya. :)

“Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarlah waktu yang menjadi obat. Kau akan menemukan petualangan hebat berikutnya di luar sana”. (hal.242)

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan”.

“Berbeda halnya jika kau punya mata air sendiri di dalam hati. mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit, tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang”.

“Itulah hakikat sejati kebahagiaan, Dam. Ketika kau bisa membuat hati bagai danau dalam dengan sumber mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih”. (hal.291-292)

“Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan. Tidak peduli seberapa jahat dan merusak sekitar, tidak peduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali”. (hal.293)

*Happy reading. Ready for tears :D

Friday, September 23, 2011

Tendensi

Dalam hidup, kita belajar mengenali. Sehari dua hari kita lalu belajar menyukai dan mencintai. Terus dan berkali-kali. Tak terukur hingga menimbulkan suatu tendensi, dan tekad ingin melindungi.

Seperti candu. Kita menikmati.

Semesta tak butuh alasan mengapa mesti. Karena segalanya hanya persoalan rasa yang sama dan berkali-kali.

Cukup pembuktian bahwa kita mampu membersamai, sampai mati.

Itu saja.