Sunday, April 18, 2010

Beginilah Mereka Merajut Hidup

Kisah kesulitan dan keterlilitan ekonomi yang dialami penduduk Gaza, bukanlah cerita baru. Tapi bagaimana cara para wanita Gaza, mencari jalan keluar dari kondisi mencekik itu? Ini barangkali merupakan kisah yang jarang terdengar. Bagaimana dengan berbalut kesabaran dan keyakinan, mereka berpikir kreatif untuk bertahan hidup? Keadaan sulit kerap melecut ide dan kemampuan seseorang, melebihi orang lain yang hidup dalam kondisi normal. Ketiadaan banyak penopang hidup di Gaza, di tambah hancurnya infastruktur kota akibat serangan penjajah Israel, mendorong penduduk Gaza untuk berpikir menciptakan ide mencari nafkah untuk menyambung hidup. Di Gaza, karunia Allah swt kembali terbaca. Meski dengan kerja keras dan di tengah kondisi sulit, kaum wanita Gaza membuktikan ketangguhan mereka membiayai sebagian kebutuhan makan hingga pendidikan anak-anak mereka. Apalagi dengan kondisi sebagian besar suami tak lagi mendapat lahan pekerjaan, kaum wanita Gaza pun memunculkan beragam inisiatif untuk meringankan kesulitan yang mereka alami. Dari Roti Kacang Sampai Boneka Perempuan Gaza, dan umumnya penduduk Gaza, tidak mengandalkan belas kasih berbagai lembaga sosial kemanusiaan yang memberi bantuan sementara untuk mereka. Mereka bahkan melarang anak-anaknya untuk meminta-minta di jalanan. Siapapun yang hadir di Gaza, akan merasakan bagaimana mereka memelihara harga diri, dari meminta dan bahkan menerima bantuan. Di Khan Yunis, misalnya, ada seorang ibu menjual roti kacang sejak pagi sampai malam. Di antara tenda-tenda tepi pantai, ada seorang ibu lainnya yang mencoba menjual kemampuannya menjahit pakaian yang sobek. Bahkan ada juga yang memproduk boneka-boneka lucu dengan peralatan sangat sederhana. Mereka semua berkreasi dalam mencari rizki dan berusaha mencari ide untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik guna mendapatkan pembeli dengan harga yang lebih baik tentunya. Mari kita lihat sedikit episode para wanita Gaza yang tangguh itu. Berawal dari Menjahit Pakaian Bekas Raneya, seorang ibu usia 30 an tahunan, tampak sedang duduk di bawah sebuah tenda di pinggir pantai. Sekilas, apa yang dilakukan Raneya seperti menantang hawa panas yang terus menghembus dari laut Gaza. Tapi tampaknya hal itu nyaris tak berpengaruh baginya. Ia tekun menjahit sebuah baju indah untuk anak-anak, dengan jahitan tangan. Kemahiran menjahit, menurut Raneya, tidak dia miliki kecuali beberapa tahun terakhir, khususnya justru setelah pemboikotan penjajah Israel. Raneya terdesak untuk mengandalkan kemampuan menjahitnya yang sama sekali tak ia duga. Dalam pikirannya, ia hanya ingin mendapatkan uang dengan cara mulia, karena suaminya tak bisa bekerja seperti ribuan orang suami di Gaza. Sambil menjahit pakaian anak siang itu, Raneya mengatakan, ”Setelah suami saya tidak bisa bekerja, dan dalam situasi kami harus memenuhi kebutuhan mendasar untuk anak-anak, tak ada lagi yang bisa saya lakukan kecuali mengembangkan kemampuan menjahit ini.” Ia melanjutkan, ”Pekerjaan menjahit seperti ini berdasarkan order atau pesanan orang sesuai keinginan mereka. Hasil menjual baju bisa digunakan untuk mengatasi kebutuhan keluarga kami yang banyak.” Kemahiran menjahit Renaya memang muncul dari kondisi ekonominya yang sudah sulit di Gaza, sehingga sejak lama ia biasa menjahit kembali pakaian bekas untuk anak-anaknya lantaran tidak mampu membelikan pakaian baru. Modal menjahit yang sangat sederhana itu, kemudian berkembang dengan naluri wanitanya, untuk membuat hiasan di pakaian anak-anaknya, agar pakaian itu terlihat seperti baru. Setelah ia menambahkan beberapa hiasan berupa jahitan dan asesoris pada pakaian bekas itu, beberapa tetangga rumah justru sangat tertarik dan mengatakan pakaian itu sangat bagus. Bahkan lebih dari sekedar pakaian baru. ”Mereka bertanya, dari mana membeli pakaian seperti itu.. ? Mereka terkejut ketika aku jawab bahwa pakaian itu adalah hasil jahitan sendiri,” kisah Renaya. Ketertarikan tetangga itu, membuat Raneya lebih percaya diri untuk memulai pekerjaan menjahit secara lebih serius. Apalagi ketika situasi kritis secara ekonomi makin sulit diajak kompromi, dan sang suami nyaris tak bisa mendapatkan lahan bekerja, mulailah Renaya menekuni lebih baik kemampuan menjahitnya. ”Saya tak ingin menunggu belas kasih sumbangan lembaga sosial yang mungkin saja datang membantu,” ujar Renaya. Renaya menjahit beragam pakaian anak-anak sementara sang suami menjadi pemasaran produknya. Menurutnya, tahun lalu pendapatannya dari menjahit tak sebaik belakangan ini, khususnya ketika trend harga pakaian jahit memang tinggi di pasar. ”Tetangga kami lebih memilih menjahit pakaian ke sini, karena di sini lebih murah harganya dan kualitasnya juga tidak buruk,” ujar Renaya. Kini, kreasi pakaian buatan Renaya, menjadi semakin indah dengan gambar-gambar dan sulaman benang warna-warni. Renaya mempersilahkan orang yang ingin membeli bajunya, memilih motif hiasan yang diinginkannya. Jahitan berkualitas, harga murah, motif hiasan sesuai selera, itulah tiga hal kelebihan produk jahitan Renaya hingga kini keluarganya bisa mendapatkan biaya hidup. Berbisnis Tanpa Meninggalkan Rumah Apa yang dialami Renaya, tak jauh berbeda dengan kondisi Ummu Hilmi. Ibu yang berasal dari Selatan Khan Yunis ini juga kian tercekik ekonomi keluarganya, setelah sang suami tak bisa lagi mendapatkan pekerjaan. Sang suami, adalah pegawai di sebuah pabrik perabotan rumah tangga dan kini pabrik tersebut telah tutup. Untuk membiayai kehidupan keluarganya, berikut 10 putra putrinya, Ummu Hilmi harus kreatif mencari ide. Ia tetap melarang semua keluarganya dari meminta-minta apalagi menunggu bantuan orang lain. Ia juga tidak mau tunduk di hadapan tembok pembatas Israel yang kerap disebut tembok putus asa. ”Kondisi hidup yang sulit, memerlukan jiwa yang pantang menyerah. Khususnya bila kita memiliki anak-anak yang harus dipenuhi kebutuhannya. Kita tidak bole menyerah, tunduk, bersedih dan lari dari tanggung jawab,” ujar Ummu Hilmi. Ia lalu menceritakan bagaimana keteguhan hatinya itu bisa membawanya bekerja sejak pagi buta hingga malam hari, sekitar pukul sembilan malam. Di waktu subuh, ia bangun mempersiapkan adonan roti kacang dengan tangannya, tanpa alat mesin. Adonan kue kacang itu kemudian ditambah dengan sedikit kismis, hingga akhirnya pada jam tujuh pagi bisa disajikan untuk dijual. Penjualan pukul tujuh pagi dianggap baik, karena bertepatan dengan jam masuk anak sekolah dan waktu orang memerlukan makanan. Anaknya, Mahmud, menata kue ke depan rumah lalu menambahkan beberapa sayuran pada roti kacang itu hingga seperti sandwich. ”Semua keluarga kami bekerja sejak pagi,” sela Ummu Hilmi. Anak-anaknya sejak sebelum subuh sudah bangun dan membantu membuat roti sampai waktu sekolah. Sebelum berangkat, hasil adonan dilanjutkan oleh orang tua mereka hingga siap dijual di depan rumah. Di sela waktu berjualan, ia membereskan rumah termasuk mencuci pakaian. Guratan kedukaan Ummu Hilmi kian terlihat saat matanya berkaca-kaca sambil mengatakan,”Sebenarnya, dengan hanya berjualan roti kacang saja sangat jauh dari mencukupi kebutuhan harian keluarga. Itu sebabnya, seluruh anggota keluarga diminta terlibat mencari uang melalui pintu rizki yang lain.” Selain berjualan roti kacang, Ummu Hilmi dan anak-anaknya yang berjumlah lebih dari lima orang, juga membuat kerajinan tangan dari anyaman bambu atau plastik untuk dijual. Tak hanya itu, Ummu Hilmi juga membeli beberapa ekor ayam kampung yang dipelihara dan sebagian dimasak dengan campuran bumbu yang enak. “Semua ini saya lakukan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Terutama untuk memenuhi kebutuhan transportasi setiap hari putri saya yang masih kuliah,” jelas Ummu Hilmi. Boneka Pengantin Di rumah lain, satu keluarga tengah asyik menjahit baju-baju kecil, sebesar telapak tangan. Sebagian anggota keluarga sibuk memberi warna pada baju yang sudah jadi. Sebagian lainnya, ada yang menempel pernak-pernik beragam bentuk di baju kecil itu. Ya, mereka sedang membuat bermacam-macam boneka. Dan proses pembuatannya, dikepalai seorang ibu berusia empat puluhan tahun. Ummu Mahrus namanya. Jika sudah selesai, boneka-boneka itu kemudian akan dikirim ke lembaga pemerhati anak-anak dengan harga tertentu. Ke mana suami Ummu Mahrus? Usai serangan membabi buta Israel di awal tahun 2009, ia jatuh sakit hingga cacat dan hampir tak mungkin lagi bekerja. Ummu Mahrus menceritakan kondisi hidupnya. ”Kesedihan yang kami alami terus menerus bertambah. Kami khawatir bila anak-anak kami sama kehilangan rasa menikmati hidup. Karenanya, saya putuskan untuk masuk di medan pertarungan agar terus hidup. Ini lebih baik daripada kai terkurung di balik jeruji kesedihan dan putus asa...” katanya. Ia mengakui ide serta kemahiran membuat boneka muncul dari pelatihan kerajinan tangan yang diselenggarakan sebuah lembaga kewanitaan milik Hamas di Gaza. Pelatihan itu didukung oleh perusahaan boneka yang siap memasarkan produk boneka yang bisa dihasilkan para peserta ke berbagai lembaga sosial pemerhati anak-anak. Usaha membuat bonekapun menjadi pilihan Ummu Mahrus untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan menghindari sikap meminta-minta. Di dalam rumah, Ummu Mahrus dan keluarga memproduksi beragam bentuk boneka, baik berbentuk manusia maupun binatang yang ada di Palestina seperti unta, keledai, kambing dan sebagainya. Boneka manusia buatan Ummu Mahrus juga unik, karena menampilkan unsur budaya Palestina dan Islam dari sisi pakaian dan pernak perniknya. Belakangan ini, Ummu Mahrus mendapat ide baru untuk membuat boneka sepasang pengantin laki-laki dan perempuan a la Palestina. Dengan sedikit tersenyum Ummu Mahrus mengatakan, ”Alhamdulillah boneka pengantin ini banyak dipesan. Selain karena anak-anak menyukainya, juga banyak dijadikan sebagai hadiah untuk pengantin baru...” Berdo’alah untuk kesabaran dan kekuatan penduduk Gaza.. (mln/tarbawi/alqdsonline)

Thursday, April 8, 2010

Yang Mana Saya..?

Sebentar…tulisan ini tidak berdasarkan penelitian yang komprehensif, tidak pake uji korelasi apalagi uji signifikansi. Sebagiannya adalah isi artikel, sebagiannya lagi adalah hasil pengamatan perjalanan saja. Jadi tidak perlu diperdebatkan, silakan dibaca sambil melakukan perenungan setelah itu terserah reader mau ketawa, nangis, atau tidak berekspresi sama sekali.. :D

Karakteristik Aktivis Dakwah Kampus:

KuPu-KuPu (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang)

Aktivis tipe ini adalah aktivis yang kurang responsif terhadap agenda-agenda dakwah di kampusnya, ritme aktivitasnya adalah rumah – kampus – rumah. Makanya ketika ada aktivitas di kampus, biasanya aktivis ini senantiasa mengeluarkan seribu jurus untuk menghindar dari amanah, “Afwan akh / ukh lagi banyak kerjaan di rumah,” atau “Saya tidak bisa ikut ya, karena di rumah lagi tidak ada orang”, dan yang sejenisnya. Tetapi ketika ditanya, “Memang di rumah kerja apa?,” ternyata sang aktivis juga kebingungan untuk menjawabnya.

KuRa-KuRa (Kuliah Rapat – Kuliah Rapat)

Tahu kura-kura kan, yang ke mana – mana selalu bawa rumahnya, tapi kalo ada aktivis seperti ini justru kondisinya kebalikannya, kesibukannya di kampus terkadang membuatnya lupa akan tugas dan kewajibannya sebagai orang rumahan. Yaa…kewajiban sebagai anak, kakak, adik, tetangga, dan anggota masyarakat yang seringkali terabaikan.

Ritme aktivitasnya adalah kuliah dan rapat (syuro), dari organisasi ke organisasi yang lain, aktivis ini sangat nyaman dengan ’dunianya’, dan memiliki lagu kebangsaan yang judulnya "syuro – syuro bergembira….”(LOL) …(kaya’ lagu perjuangan). ”Mumpung masih muda kita harus berkontribusi,” itulah jawaban andalannya ketika ada pertanyaan mengenai kesibukannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh orang-orang disekitarnya adalah, ”Anda ini sebenarnya mengerjakan apa saja sih di kampus? kok kelihatannya sibuk sekali ?”, ”Pagi berangkat, pulang petang, sekarang mau berangkat lagi..”, ”Ngurusin apa saja sih kok tidak pulang-pulang…”, atau yang lebih menyedihkan, ”Nak…, kamu sudah lupa kalau punya orang tua ya..kok tidak pernah pulang?” :D

KuDa-KuDa (Kuliah Dakwah-Kuliah Dakwah)

Ketika berada dalam keadaan kuliah dan dakwah mendesak,, apa dan yang mana yang harus diprioritaskan? sungguh pilihan yang sangat sulit,,butuh pertimbangan yang matang untuk memutuskannya dan masalah ini yang sering melanda teman-teman kita, termasuk saya. :) tapi jangan pernah menjadikan kuliah sebagai alasan tidak berdakwah, juga sebaliknya jangan jadikan dakwah sebagai alasan penurunan prestasi kuliah. :). Semangat!

KuMan (Kuliah Makan-Kuliah Makan)

Kerjaannya cuma kuliah dan makan… ada tidak ya?

KuNang-KuNang (Kuliah nangkring – Kuliah nangkring)

Selesai kuliah, hobbinya nangkring. Selama nangkringnya di masjid, yaaa… tidak apa-apa lah. Tapi kalau sampai nangkringnya di tempat-tempat yang tak wajar, no comment saja lah..

KuTiLang (Kuliah Tidur Hilang)

Kalau yang ini.. sudah parah pokoknya, dari karakternya saja sudah ketahuan apa kerjaannya di kampus. Ya, betul ritme aktivitasnya adalah kuliah, kalau di kelas bawaannya tidur atau ngantukan, serta sering menghilang tanpa sebab ketika ada agenda dakwah.

Memang cukup berat. Butuh data primer dan valid, serta jam terbang yang tinggi dalam intervensinya. Sedihnya, yang sering terjadi adalah kita sering menghakimi tanpa data yang valid, atau memvonis karena kesan, sehingga aktivis mengalami ’iritasi’ hati. Rentan terhadap penyakit, tidak percaya diri, tidak bergairah terhadap agenda dakwah, atau malah kalau salah intervensi bisa-bisa sang aktivis melakukan insilakh (keluar dari orbit dakwah) Naudzubillah.

Tapi saya yakin masih banyak pejuang-pejuang dakwah yang tetap memiliki semangat, komitmen, kesungguhan dan pengorbanan agar dakwah ini tetap eksis hingga mencapai kemenangan karena harapan itu akan terus ada…

Yang mana saya (thinking).... ?