Gangga, tadi sore hujan turun dengan
gagahnya. Mirip serdadu yang menembakkan senjata-senjata kekuasaan Sang
Pencipta. Orang-orang hilir mudik mencari tempat berteduh sambil mengangkat
sedikit tas yang entah apa isinya. Lantai-lantai kecoklatan bekas jejak
sepatu para penuntut ilmu. Ilmu apa? Ilmu sabar tepatnya, Gangga!
Kau tahu, Gangga? hujan tadi adalah
isyarat. Terlalu banyak bumbu-bumbu kehidupan yang mengharuskan kita untuk
bersabar dan mengulang lagi kesabaran itu. Dan Tuhan, lagi-lagi mengingatkan
kita lewat nikmatNya. Bahwa manis, asin, dan pahitnya kehidupan mesti dihadapi
dengan kekuatan sabar. Sekuat-kuatnya.
Ketika sore menggenapi separuh waktu,
kudengar sebagian pencari nafkah masih saja berteriak-teriak di ujung jalan
sana. Sebagian kehidupan mereka ingin dirampas. Entah oleh siapa.
Mungkin saja kita lupa. Bahwa ada yang
lebih bijak dari sekedar rampas-merampas kehidupan. Mau diapakan sampah-sampah
itu? Bukankah mereka yang membuat tanah kita jadi tidak hijau? Atau bangunan
tinggi menjulang dengan selokan-selokan yang tak layak itu? Ah, tiba-tiba mereka
membuatku ingin muntah.
Tapi hujan, turun melunturkan semuanya.
Kemarahan, gangguan setan, kebencian dan kegelisahan.
Menguatkan hati, membungkus doa, dan
meneguhkan telapak kaki.
Bagi mereka, yang bukan sekedar
mengagumi. Tapi mampu menghayati.
Kau tahu, Gangga, setelah hujan turun,
terlihat beberapa pasukan biru muda kembali berlalu lalang di depan mata . Mereka
bersama tuannya, para pencari nafkah yang tadi berteriak-teriak itu.
Menurutmu, apakah doa mereka terkabul?
“Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”(QS Ar-Rum [30]: 48)