Dalam
hidupnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki seekor kucing
bernama Muezza. Beliau amat menyayangi kucing tersebut. Pernah dalam satu
potongan hidupnya, beliau memotong lengan jubahnya sebab si kucing Muezza
sedang terlelap di atas jubah tersebut. Hal itu dilakukannya agar Muezza tidak
terbangun. Rasulullah juga amat menekankan di beberapa haditsnya, bahwa
kucing itu tidaklah najis bahkan diperbolehkan untuk berwudhu dengan menggunakan
air bekas minum kucing.
Diriwayatkan dari Ali bin Al-Hasan dan
Anas Radhiyallahu ‘Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pergi ke Bathhan, suatu daerah di Madinah. Lalu berkatalah beliau
kepada Anas Radhiyallahu ‘Anhu, “Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke
dalam bejana...”. Lalu Anas menuangkan air ke dalam bejana sesuai perintah
Rasulullah. Setelah selesai menuangkan air, Rasulullah menuju bejana, namun
seekor kucing datang dan menjilati air yang berada di dalam bejana tersebut.
Melihat hal itu, Rasulullah berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum air
dari bejana, lalu Rasulullah berwudhu dengan air dalam bejana yang baru saja di
minum oleh kucing itu.
Beberapa kali Rasulullah memperlihatkan
kasih sayangnya terhadap binatang kepada para sahabatnya. Pada kucing, beliau
selalu memperlakukannya dengan baik. Setiap
menerima tamu di rumah, Rasulullah selalu menggendong dan memangku Muezza. Rasulullah
pun selalu berpesan agar menyayangi kucing peliharaan layaknya menyayangi
keluarga sendiri.
Jauh sebelum saya mengetahui sejarah
tersebut, kehidupan saya tidak bisa jauh dari pergaulan bersama kucing-kucing
(?). Sejak menginjak bangku sekolah dasar, ibu menghadiahi saya seekor kucing
sebagai teman bermain di rumah. Mungkin saja ibu melihat saya yang hanya
memiliki seorang saudara ini sebagai anak kecil yang kesepian (?). Setidaknya,
semenjak kucing pertama menginjakkan kaki di rumah lalu berakhir hidupnya,
sudah ada tiga atau empat kucing setelahnya yang telah menghiasi rumah
sederhana kami. Meninggalnya kucing pertama kala itu membuat saya batal puasa
ramadhan, haha. Betapa tidak, saya menyaksikan sendiri Amme (nama kucing saya)
dihabisi oleh anjing tetangga yang tidak berperikehewanan. Sungguh terlalu. Bahkan,
saya yang masih kecil kala itu mengubur sendiri jenazah kucing dengan berlinang
air mata.
Tidak tahan melihat saya depresi, ibu cepat-cepat menggantikan Amme
dengan Amme yang baru dengan rupa yang sama. Amme yang kedua ini yang paling
tak terlupakan. Belum cukup sebulan, ia kabur meninggalkan rumah hanya karena
tergoda dengan kucing perempuan, eh betina. Entah dia kabur kemana. Setidaknya tidak
kembalinya ia ke rumah mengindikasikan bahwa ia jauh lebih berbahagia dengan
kucing betina itu. Tidak berputus asa, ibu dan saya cepat-cepat “move on”. Mencari
Amme yang baru lagi. Dan seperti itulah yang kami lakukan jika ‘kehilangan’ kucing.
Cepat-cepat menggantinya dengan yang baru. Untungnya, ibu selalu punya kenalan
yang memiliki stok kucing yang melimpah, hehe. Jadinya, rumah kami, sejak saya
bersekolah sampai sekarang, belum pernah betul-betul kehilangan sosok seekor
kucing. Kriteria inklusi yang telah kami sepakati adalah kucing tersebut harus
berjenis kelamin jantan agar kami dapat menghindari tindakan kriminal membuang anak-anak
kucing yang tak berdaya.
Nah, sejak kuliah di Makassar, ibu
sendirian mengurus kucing di rumah. Terakhir saat saya pulang, Amme sedang
dalam masa penyembuhan. Ibu yang selalu merawatnya. Saya melihat bahwa chemistry antara mereka berdua sudah
terjalin begitu dekat. Luka-luka di tubuh Amme akibat memperjuangkan kucing
betina tak dapat dianggap enteng. Ia rela melawan kucing yang lebih kuat,
padahal dia tidak kuat-kuat amat. Beberapa kali saya mendapati kucing betina
itu menjenguknya di rumah. Ya ampun, betul-betul mirip film drama. Saya sebagai
walinya (?) hanya bisa senyum-senyum melihat keduanya. Sungguh momen yang absurd. Mungkin sama ketika Rasulullah menyaksikan
Muezzanya selalu mengeong setiap kali adzan berkumandang. Pun ketika Abu
Hurairah digelari “bapaknya kucing” sebab cintanya kepada hewan yang selalu
diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. Sampai-sampai
kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayang-bayangnya.
Kata orang -bukan kata saya-, “bukan
cinta namanya kalau tidak absurd”, mungkin
memang benar adanya.