Sunday, January 20, 2013

Pengemis Cahaya



Banyak orang yang memilih hidup dalam gelap. Katanya, “dalam gelap, kita bisa melihat cahaya jauh lebih terang”. “Lalu menikmatinya”.
Itu benar.
Tapi mungkin kita lupa bahwa di dalam gelap, kita nyaris tak bisa melihat diri kita sendiri.
Meski lewat cermin yang menampung beban egosentris kehidupan.

Kita  manusia. Bukanlah kunang-kunang dengan sayap-sayap cahayanya.
Bukan pula bintang yang paten memancarkan cahayanya sendiri.

Kita adalah para pengemis cahaya. Yang tak bisa sekedar melihat lalu menjadi penikmat.
Dan cahaya itu bernama  iman yang senantiasa terpancar dari dalam dada.
Bergerak, menuju plot yang menanjak. Meski tak selalu linear dalam perjalanan.

Semoga kamu memahaminya.
Dan aku senantiasa mengingatnya.

Agar kita, bisa menebari hikmah. Bukan sekedar sumpah serapah.
Lalu hilang tanpa bekas arah.

Sunday, January 13, 2013

Randomisalki



Semenjak memiliki akun di dunia perkicauan, refleks saja saya merasa kehilangan sesuatu ketika tidak menjenguk akun dalam sehari. Entah itu kehilangan berita, informasi, ataupun sekedar twit basa basi. Tetiba, rutinitas di kala sedang senggang menjadi sedikit bertambah dengan menjejali timeline dan segala hiruk pikuknya. Dari twit yang super serius, setengah serius, sampai yang pura-pura serius, semuanya seperti menu makanan yang menggelarkan daya tariknya masing-masing.

Saban hari, saya membuka daftar follower. Kemudian menemukan follower baru dengan nama akun Mohamed Salki. Oke, saya sengaja tidak menyamarkan nama aslinya. Takutnya ketika saya menyamarkan nama, maka essensi cerita saya kali ini akan hilang disapu badai (?).

Melihat namanya saja, saya mulai menahan ketawa. Pikir saya, mungkin orang ini takjub menemukan akun dengan nama yang sama dengannya. Tapi sekali lagi, kadang-kadang pikiran saya meleset. Dengan jari-jari yang mulai gemetaran, saya memberanikan diri membuka akunnya. Avatarnya memang masih gambar telur yang belum menetaskan gambar wajahnya. Mungkin saja ini akun baru. 

Setelah puas melihat avatarnya, saya membuka daftar follower nya. Nihil, tak ada orang yang saya kenali. Wajah mereka bukan wajah pribumi. Lebih mirip wajah orang khas timur tengah peranakan Eropa, atau sebaliknya (?). Setelah bosan melihat daftar follower nya, saya membuka daftar following nya yang mencapai ratusan. Refleks, saya beristighfar beberapa kali. Ternyata hampir semua akun yang ia ikuti memiliki nama yang sama. Tersusunlah dengan rapi akun-akun bernama “salki” di daftar itu. Mulai dari Salki Samir, Essalki Wijdan, Rachid Salki, Oussama Essalki, Khalid Salki, Yahya Salki, Salki Abdelhaq, Amirul Salki, Salki Sasmita dan masih banyak lagi salki-salki yang lain. Membacanya membuat saya hampir membanting mouse. Tapi hal itu urung saya lakukan setelah mendapati dua atau tiga akun perempuan di sana. Lagipula apa gunanya juga saya membanting mouse?

Intinya, saya kok merasa orang ini sangat lucu dan sedikit aneh dengan mengikuti akun-akun yang namanya sama dengan dirinya. Well, this is twitterland. Dunia kecil yang menetaskan sensasi yang besar.

Beberapa hari kedepan, mungkin saya akan mempertimbangkan untuk mengikuti balik akun Mohamed Salki ini. Kemudian memberikannya sebuah pertanyaan klasik:

"Brother, I’m Indonesian. Do you know what the meaning of Salki ?" :D

Saturday, January 12, 2013

Rumah.


Kata itu menggantung cantik di udara
serupa buah yang sedang ranum-ranumnya
dan saya masih mencari bilah bambu untuk menggapainya
sebelum angin menghempas semuanya.

Sunday, January 6, 2013

Krisan



Di bumi tempat kita berpijak, ada saja yang membuat seorang perempuan merasa senang walaupun sebenarnya kesenangan itu nampak ketika ia telah bersusah payah memendam kesedihan. Bagi orang yang wataknya memang suka memendam, maka kesenangan dan lekuk senyum di garis wajahnya adalah hal yang terkadang mesti mendapat selebrasi. Dari perempuan lain, yang lebih mengerti dirinya. Semacam ucapan selamat bahwa ia telah melalui skala panjang perjalanan rasa dengan keberhasilan akhir mencapai cumlaude. Dengan itu, ia akan merasakan eksistensi dirinya.

Seorang perempuan. Memang bisa cenderung lebih aneh. Terkadang ia seperti bongkah kejujuran yang overdosis. Di lain waktu, ia adalah dentuman kepura-puraan yang menjebak. Sehingga sangat potensial apabila seorang perempuan disebut sebagai akumulasi perasan-perasaan yang tersusun apik di sebuah lemari kaca yang berdebu. Terkadang kita bisa menebak apa isinya. Terkadang juga tidak, ketika debu-debu yang menempel terlalu tebal dan menghalangi pandangan.

Mengenai intuisi, tak usah lagi diragukan. Seorang perempuan adalah pakarnya. Dalam hatinya, ia selalu memelihara keping kebenaran yang lazim disebut firasat. Kudengar lagi, bahwa firasat itu adalah intuisi purba yang sewaktu-waktu bisa menjadi indera ke enam yang paling peka dan tidak dapat dimanipulasi. Sekali lagi, aneh bin ajaib kan? Ketika seorang perempuan memiliki kepekaan yang tidak dapat dimanipulasi, tapi di lain waktu ia justru bisa memanipulasi perasaannya di hadapan orang lain. Hebat!

Maka sangat wajar ketika realita menyuguhkan kita tontonan yang sangat primitif namun langgeng sampai detik ini. Bahwa ketika ditanya siapa yang paling mengerti dirinya, maka seorang perempuan akan  menunjuk satu perempuan lain dimana ia makan dan minum atas fungsi plasenta perempuan itu. Dan seorang lagi dari belantara lain yang telah atau belum ia temui, padahal mereka telah lama saling mendoa.

Karena terkadang, mereka –yang berasal dari tulang rusuk yang bengkok—tak butuh apa-apa. Cukup dimengerti dan sesekali   dimaklumi atas segala keanehan yang melekat pada dirinya.

Alkisah mereka yang paling mengerti, adalah yang selalu didoakan kebaikan dan kehadirannya.

Friday, January 4, 2013

Professor, Professor !



Beberapa tahun yang lalu, ketika hujan turun nyaris seperti sore ini. 

Saya masih ingat dengan jelas bagaimana professor muda itu masuk ke kelas selusuh kelas kami. Ia hanya menenteng sebuah buku tanpa note-nya. Ia tersenyum lalu menyapa mahasiswa dengan ucapan salam laiknya seorang muslim seperti biasa. Lalu salam itu dilanjutkan dengan ucapan “selamat pagi”.

Mahasiswa heran. Bukankah sekarang adalah kuliah terakhir di hari itu? Waktu sudah hampir menemui senja. “Professor pasti salah ucap”. Kata mahasiswa dalam hati.

Lalu professor hanya melanjutkan senyumnya, kali ini lebih lebar.
“Kenapa? Kenapa kalian heran seperti itu?” Kata professor.
“Saya tahu ini sudah sore. Kalian capek kan? Mengantuk kan? Maka dari itulah saya mengucapkan selamat pagi?”
“Supaya kalian tetap merasakan pagi, kita tetap semangat, kita tetap kuat menjalani sisa pencarian ilmu hari ini”. Lanjut professor, sambil mengepalkan tangan kanannya.

Mahasiswa sumringah, wajah professor semakin bersinar. 

Lalu professor melanjutkan kewajibannya berbagi ilmu, sementara kuliah berlangsung lebih cepat dari yang biasa dirasakan salah seorang mahasiswa.

***
Professor, sejak hari itu ada yang diam-diam mengagumimu.