Friday, July 5, 2013

Pelampung dan Perkara Hati



Kali pertama mengenakan pelampung, hal ini membuat saya berpikir, kenapa juga saya mesti memakai benda ini? Bukankah jauh-jauh hari sebelum berangkat saya sudah sepakat bahwa mengenakan pelampung sama halnya dengan saya tidak yakin dengan sugesti keselamatan saya?

Tapi ternyata saya salah. Mengenakan pelampung bukanlah bukti bahwa saya tidak yakin dengan sugesti keselamatan itu. Mengenakan pelampung adalah bukti pengakuan bahwa saya tidaklah bisa berenang. Mengenakan pelampung adalah bukti kewaspadaan dini saya terhadap apa-apa yang bisa terjadi di tengah perjalanan. 

Boleh saja arus air di awal keberangkatan kita tenang-tenang saja. Tapi tidak ada yang menjamin di tengah atau di akhir perjalanan. Maka mengenakan pelampung, adalah salah satu bentuk ikhtiar perlindungan diri saya oleh saya.

Sama halnya dengan perkara hati. Kalau arusnya besar, sedang kita ngotot tidak mengenakan 'pelampung', ditambah lagi karena kita tidak bisa 'berenang',
maka 'tenggelamlah' kita.

Thursday, July 4, 2013

Teh Rasa Air Hujan



“Rasanya sama saja. Cuma agak licin”.
Ibu saya terbahak-bahak mendengar cerita saya di telepon. Semoga saja dia bangga, anaknya yang satu ini sudah berhasil meminum dan menghabiskan teh dari penampungan air hujan dengan kondisi sehat walafiat. 

Di dua desa yang kami validasi, lebih 90% penduduk memiliki sumber air minum dari air hujan yang ditampung. Selebihnya, untuk aktivitas mencuci, mandi, buang air, mereka menggunakan air sungai yang selalu tersedia di sekeliling rumah mereka. Awalnya, mungkin terlihat ganjil. Tapi lama kelamaan, pemandangan ini sudah lumrah kami dapatkan di sepanjang pemukiman Sungai Kapuas. 



Hari itu, hari kedua proses validasi di Desa Batuah. Seorang responden yang baik hati (semua penduduk yang kami temui baik hatinya. Sopan dan santun bicaranya) mungkin mampu membaca wajah kami yang sedang kehausan. Namanya Bu Masita, suaminya sudah lama meninggal. Beliau sudah tua, tapi masih lincah ke mana-mana. Ia menyuguhkan kami minum. Sembari diwawancarai oleh teman saya, saya sempat merekam aksinya yang lincah. Sebelumnya, kami telah memperkenalkan diri dan memberitahu perihal kurang mengertinya kami dengan bahasa Banjar. Namun, karena lincahnya, Bu Masita tetap menjawab pertanyaan dalam bahasa Banjar, bahkan curhat sama teman saya. Teman saya yang mewawancarai ngangguk-ngangguk saja, padahal dia nya tidak mengerti. Hehehe

Sebelum wawancaranya selesai, anak Bu Masita keluar membawa nampan. “asyik, kita minum”, teriak saya dalam hati. Wajah kedua teman saya sumringah. Mungkin mereka sudah sangat haus. Bu Masita mempersilakan kami minum sembari wawancaranya terus berlangsung. “maaf ya nak, air teh yang ada cuma dari air hujan”, katanya dalam bahasa Indonesia. 

Mata teman saya tertohok. Menahan nafas. Hmm, saya juga. Dilema. Takut membuat ibu yang baik ini tersinggung. Akhirnya, saya memikirkan dengan cepat bagaimana cara agar teh ini bisa habis dengan cepat pula. Sepertinya teman saya berpikir demikian juga. Kalau teman saya memilih meminumnya sedikit-sedikit, maka saya memilih untuk meminumnya satu kali teguk tanpa nafas. Mata teman saya memerah, dan saya? Alhamdulillah tidak merasakan apa-apa selain dahaga yang hilang. Tehnya habis. Haha. Lalayeye. Percaya deh, rasanya sama saja dengan air teh yang biasa kita minum. Cuma memang sih, tekstur airnya agak licin :D
Alhamdulillah kedua teman saya juga bisa menghabiskan teh itu dengan sempurna. Ah, ternyata kami memang kehausan. Terima kasih Bu Masita, semoga sehat selalu. Terima kasih juga telah meminjamkan sepedanya untuk saya :’)

Tapak Kaki Pertama



“Kita semua akan meninggalkan jejak kaki di atas tanah. Pertanyaannya adalah, apakah jejak kaki kita bermakna atau hampa?”.

Satu jam tiga puluh menit sebelum pesawat take off, saya bergegas menuju bandar udara dini hari itu. Karena barang bawaan tidak terlalu besar, maka saya memilih dibonceng saja oleh adik. Pikir saya, sejuknya udara di subuh hari jauh lebih menawan daripada AC taksi. Lebih hemat pula, tentunya. Perjalanan kali ini, meskipun waktunya singkat, rutenya akan lebih panjang dari biasanya. Hingga tak aneh jika jauh-jauh hari kedua orang tua telah mewanti-wanti untuk meningkatkan SKD (sistem kewaspadaan dini), ditambah lagi kedua teman seperjalanan saya adalah laki-laki (cukup gagah) *terpaksabilang :D

Untuk sampai ke Bandar Udara Syamsudin Noor Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan, pesawat yang saya tumpangi akan transit terlebih dahulu di Bandar Udara Gusti Syamsir Alam Kotabaru. Butuh waktu sekitar 90 menit untuk landing di sana. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Bandar Udara Syamsudin Noor Kota Banjarmasin selama 30 menit. Begitu mendarat di sana, kami bergegas menyewa mobil untuk perjalanan darat ke Kota Kapuas Kalimantas Tengah. Lebih dari 2 jam melewati jalan pintas untuk sampai di Kota Kapuas. Waktu itu, kami berangkat dari Bandar udara Syamsudin Noor sekitar pukul 09.00 pagi waktu setempat, kemudian sampai di Kota Kapuas pukul 10.30 waktu setempat. Kapuas-Banjarmasin, walaupun tidak terlalu jauh dalam rute perjalanan darat, memiliki selisih waktu satu jam. 

Dalam perjalanan dari Banjarmasin ke Kota Kapuas, kami melewati Jembatan Barito yang menurut informasi adalah jembatan terpanjang di Indonesia setelah Jembatan Suramadu. Jembatan ini merupakan simbol penghubung antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Beberapa saat setelah melewati Jembatan Barito, kondisi jalan akan sangat berdebu. Hal in disebabkan oleh perbaikan jalan yang telah menghabiskan waktu kurang lebih 2 tahun. Kalau di Sulawesi Selatan, mungkin kondisinya mirip dengan area industri Semen Tonasa. Akan sangat kelihatan oleh orang-orang yang lewat betapa daun-daun pohon yang mengiringi jalan ditutupi oleh debu putih. Hijaunya hampir tak kelihatan lagi. Sayang sekali.
Jembatan Barito. Masih termasuk wilayah Banjarmasin.


Tujuan utama kami sebenarnya bukanlah daerah kota Kapuas. Oleh pihak Fakultas, kami diamanahkan untuk menvalidasi sebuah Proyek Penelitian di dua Desa yang masih harus ditempuh selama beberapa jam dari Kota Kapuas. Desa Batuah dan Desa Pematang. Untuk Desa Batuah, perjalanan dari Kota Kapuas menghabiskan waktu lebih dari sejam bila ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Desa ini hanya bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan beroda dua. Pasalnya, untuk memasuki desa ini, kita akan melewati jembatan kayu yang sempit dan menanjak. 
Jembatan Desa Batuah, Kapuas, Kalimantan Tengah.


Sedangkan untuk mencapai Desa Pematang, perjalanan dimulai dari Kota Kapuas menuju Pelabuhan Danau Mare. Dari pelabuhan, kami menuju ke Lupak terlebih dahulu. Waktu itu, kami naik perahu penumpang selama lebih dari dua jam. Begitu sampai di Lupak, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Pematang dengan menggunakan klotok selama satu jam. Bagi yang tidak bisa berenang, alangkah pentingnya anda untuk memakai pelampung. Penting sekali, demi keselamatan! :D
 
Para Penumpang. 
Butuh waktu satu jam berjemur di atas klotok hingga akhirnya sampai di Desa Pematang. Di desa ini, kami menginap di rumah Kepala Desa selama tiga malam hingga seluruh proses validasi selesai. Untuk kembali ke Kota Kapuas, kami menyewa langsung klotok berhubung barang bawaan bertambah (baca: dapat semangka dari penduduk desa). Tiga jam berjemur lagi di atas klotok untuk sampai di Pelabuhan Danau Mare Kota Kapuas. Lebih lama dibandingkan ketika kami baru berangkat ke desa ini, karena kami tidak naik perahu penumpang lagi. Cuma naik klotok saja.
Di atas klotok. Mesti pakai pelampung. 

Masih ada cerita selanjutnya. Silakan ambil cemilan dulu, ini baru prolog :)