Friday, June 21, 2013

Belajar Menjadi Pengamat (Yang Baik)



Saya percaya bahwa setiap orang bisa menjadi pengamat. Tak peduli apakah ilmu tentang apa yang dia amati diperoleh langsung dari dunia akademik atau merupakan perspektif yang dibangun sendiri secara otodidak. Seperti hukum sinkronisasi -kalau tidak salah- yang kurang lebih menyatakan bahwa jika dua benda bergerak dalam arah dan kecepatan yang relatif sama, maka mereka akan mulai mengambil karakteristik melalui pengamatan satu sama lain, terlepas apakah mereka saling mengetahui atau tidak. 
Tapi, saya juga percaya bahwa tidak semua orang bisa menjadi pengamat yang baik.

Pada beberapa kasus, apalagi di era gadget seperti sekarang ini, mengamati seseorang yang tidak pernah kita lihat sekalipun sudah bukan lagi hal yang tidak mungkin. Bisa saja pengamatan itu dilakukan melalui akun-akun jejaring sosial milik objek pengamatan. Ya, pasti kamu lebih tahu. Secara kamu lebih banyak akun jejaring sosialnya daripada saya ini Tapi sayangnya, banyak pengamat yang melakukan kesalahan dalam menilai pada kasus seperti ini. FYI, ketika penilaian itu hanya sebatas bersumber pada apa yang mereka jadikan ‘status’ pada akun jejaring sosialnya, maka akan banyak kesalahpahaman dalam hubungan bermasyarakat kita. Sekali lagi, kata-kata yang mereka jadikan status itu tidak sepenuhya mencerminkan kondisi sesungguhnya dari objek pengamatan kita. 

Dari ini kita belajar bahwa sangatlah penting, apalagi di era transformasi yang demikian cepatnya seperti sekarang ini, ditambah lagi aksi beberapa media yang terkesan membabi buta tanpa fakta-fakta yang konkret, untuk selalu mengedepankan prinsip tabayyun, tabayyun, dan TABAYYUN. Klarifikasi langsung kepada objek pengamatan kita. Kalau begini, prasangka buruk yang notabene-nya bisa menimbulkan perpecahan bisa dihilangkan. Saya begini bukan karena apa-apa. Hanya saja, saya khawatirnya orang-orang di luar sana tidak lagi memandang Indonesia sebagai negeri yang peramah, tapi pemarah. Lalu jika demikian, apalagi yang bisa kita banggakan dari negeri kita ini?!

Korupsinya? Kenaikan BBM nya? Hutangnya?. Huwak, tolong!! 

Kata guru saya, tabayyun bukan hanya sekedar prinsip. Tapi sebagai penyaring. Bahwasanya dalam hidup, ada saja orang-orang yang senang melihat perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Jika kita punya ‘penyaring’ itu, maka kita menambah daftar orang-orang yang peduli terhadap karakteristik dasar bangsa kita. Orang-orang yang selalu menempatkan keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran satu senti di depan orang yang akan diamati atau dinilainya. Lagipula, tabayyun akan menciptakan jalinan silaturrahim di antara kita. Mungkin merajut kembali silaturrahim yang dulu sempat putus, atau semakin mempererat lagi silaturrahim yang sudah ada.

Saat ini misalnya, ketika kamu membaca tulisan ini atau tulisan di blog-blog lain, mungkin diam-diam kamu juga sedang mengamati kepribadian si empunya blog. Maka, jadilah kamu pengamat yang baik dan adil :D
Bukankah adalah kebahagiaan yang besar bila tidak ada orang yang merasa terdzalimi oleh tindak tanduk kita? Percayalah, bahwa banyak musuh itu, 'mematikan' seseorang sebelum ajalnya. Naudzubillah.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
(QS. Al-Hujurat: 6)

Peace and Cheers! Bunch love for Indonesia. For you too.

Monday, June 17, 2013

A Little Piece of Ground

Bahwa jika diibaratkan anggota tubuh, maka bolehlah saya memposisikan rasa syukur sebagai tulang punggung kehidupan yang harus selalu ada dalam aliran darah kita. Saya sedang dan akan terus belajar tentang hal itu. 

Berusaha memposisikan syukur sebagai sejawat yang paling peduli dimana pun nanti kita diberi amanah untuk menebar manfaat. Ah, jadi tidak sabar melihat langit Borneo Tengah. Menyusuri sungai Kapuas, sambil mendengar kidung belantara di bawah matahari yang hangat.
Semoga Allah mudahkan dan menjadikan manfaat di akhirnya.

Aamiin.
 


Sekerat Epidemiologi & Kisah Sahabat Rasulullah



Memang ya, mengerjakan tugas itu sangat amat membutuhkan seni. Seni menjaga pola makan, seni mencari bahan laporan, seni mencuri-curi waktu, sampai seni beladiri. Membagi waktu antara mengerjakan tugas kuliah, melaksanakan amanah lingkaran, dan mengurus tugas rumah tangga (halah sok) membuat saya harus memiliki tenaga ekstra. Banyak hal yang sudah berubah. Dulu, kepuasan saya hanya terbentur pada selesainya tugas. Hanya sampai di situ. Sekarang, semakin ingin mencapai akhir, saya semakin bertingkah sebagai komentator untuk tugas saya sendiri. Jadilah saya sebagai orang yang harus perfeksionis dalam hal ini. Mana lagi kerja tim yang sangat dituntut. 

Suatu hari, saya pernah menanyakan suatu hal kepada tim/kelompok di kelas saya yang sedang mempresentasikan laporannya. Lalu tak disangka, pertanyaan ini dijawab langsung oleh professor epidemiologi yang mengajar pada saat itu. Bahwa keterampilan di masa depan yang paling dituntut dari seorang epidemiolog adalah penguasaan seluruh perangkat lunak analisis statistik, keterampilan komunikasi visual, dan kerja tim. Tiga pilar ini merangkum seluruh kebutuhan masa depan terhadap dunia epidemiologi. Saya? Hadeuh, masih jauh dari standar yang diinginkan. Masih harus banyak belajar dari orang-orang yang sudah ahli. Dan menurut saya nih ya, bukan semata-mata mampunya kita untuk memiliki keterampilan tersebut, tapi semangat belajar itu yang penting. Jangan mudah puas terhadap apa yang telah kita mampuni saat ini. Jangan congkak, apalagi suka memanfaatkan kesempatan untuk “membodohi” satu sama lain. 

Teringat sosok sahabat Rasulullah, Abdullah Bin Ummi Maktum. Sepupu dari Siti Khadijah Radiyallahu ‘anha. Seorang buta yang sama sekali tidak surut semangatnya dalam mempelajari Islam. Beliau adalah musabab turunnya surah ‘Abasa, yang merupakan teguran untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pada saat itu bermuka masam ketika Abdullah Bin Ummi Maktub hendak belajar Islam padanya. 

Mungkin saja kita tidak tahu, bahwa Abdullah Bin Ummi Maktum adalah muadzin di zaman Rasulullah selain Bilal Bin Rabah. Mungkin juga kita tidak tahu, bahwa Abdullah Bin Ummi Maktum pernah beberapa kali menggantikan posisi Rasulullah sebagai walikota Madinah. Atau, ketika turun ayat tentang pengecualian untuk tidak ikut berperang bagi mereka yang memiliki udzur (tidak mampu), Abdullah Bin Ummi Maktum tetap ikut dan menjadi salah satu pemegang bendera Islam yang syahid pada perang Qadisiah melawan tentara Persia penyembah berhala. Pada saat itu, kemenangan gemilang atas Islam. Maka, hikmah apalagi yang kiranya tidak membuat kita tercengang dari kisah Abdullah Bin Ummi Maktum?

Pada Abdullah Bin Ummi Maktum yang buta mata fisiknya, Allah memberinya mata hati yang cemerlang untuk mempelajari Islam. Semoga saya dan kita semua yang sempurna fisiknya, yang masih bisa melihat, mendengar, berfikir, dan berucap mampu mengambil hikmah yang terserak dari kisah beliau. Menjadi cermin ketika kita sedang fakir semangat dan menjadi pengingat ketika kita sedang terlampau lapang. Agar tak ada lalai dalam mempelajari ilmu.

Selamat belajar! Semoga kita senantiasa bersemangat dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu kebaikan, apapun itu. Lillah,fillah :)

Tiramisu Bliss



Kelak, beberapa tahun ke depan. Saat saya sedang bosan-bosannya dengan rutinitas duniawi yang melelahkan. Mungkin akan saya temukan banyak kegembiraan dalam sepotong pagi yang tak biasa.

Misalnya,

Melihat senyum khas dari gigi-gigi susu yang belum tanggal. Atau mendengar yang lainnya menanyakan handuk dan sikat giginya. Sedang seseorang di luar sedang memanaskan mesin kendaraan. 

Lalu, sama-sama kita tersadar bahwa hari itu adalah hari Minggu. Dan semua bersiap-siap menuju suatu tempat bernama,
rumah nenek.