Saya
percaya bahwa setiap orang bisa menjadi pengamat. Tak peduli apakah ilmu
tentang apa yang dia amati diperoleh langsung dari dunia akademik atau merupakan
perspektif yang dibangun sendiri secara otodidak. Seperti hukum sinkronisasi -kalau
tidak salah- yang kurang lebih menyatakan bahwa jika dua benda bergerak dalam
arah dan kecepatan yang relatif sama, maka mereka akan mulai mengambil
karakteristik melalui pengamatan satu sama lain, terlepas apakah mereka saling
mengetahui atau tidak.
Tapi, saya juga percaya bahwa tidak semua orang bisa menjadi pengamat yang baik.
Tapi, saya juga percaya bahwa tidak semua orang bisa menjadi pengamat yang baik.
Pada
beberapa kasus, apalagi di era gadget
seperti sekarang ini, mengamati seseorang yang tidak pernah kita lihat
sekalipun sudah bukan lagi hal yang tidak mungkin. Bisa saja pengamatan itu
dilakukan melalui akun-akun jejaring sosial milik objek pengamatan. Ya, pasti
kamu lebih tahu. Secara kamu lebih banyak akun jejaring sosialnya daripada saya
ini Tapi sayangnya, banyak pengamat yang melakukan kesalahan dalam menilai pada
kasus seperti ini. FYI, ketika penilaian itu hanya sebatas bersumber pada apa
yang mereka jadikan ‘status’ pada akun jejaring sosialnya, maka akan banyak
kesalahpahaman dalam hubungan bermasyarakat kita. Sekali lagi, kata-kata yang
mereka jadikan status itu tidak sepenuhya mencerminkan kondisi sesungguhnya dari
objek pengamatan kita.
Dari
ini kita belajar bahwa sangatlah penting, apalagi di era transformasi yang
demikian cepatnya seperti sekarang ini, ditambah lagi aksi beberapa media yang
terkesan membabi buta tanpa fakta-fakta yang konkret, untuk selalu mengedepankan
prinsip tabayyun, tabayyun, dan TABAYYUN. Klarifikasi langsung kepada
objek pengamatan kita. Kalau begini, prasangka buruk yang notabene-nya bisa
menimbulkan perpecahan bisa dihilangkan. Saya begini bukan karena apa-apa.
Hanya saja, saya khawatirnya orang-orang di luar sana tidak lagi memandang
Indonesia sebagai negeri yang peramah, tapi pemarah. Lalu jika demikian,
apalagi yang bisa kita banggakan dari negeri kita ini?!
Korupsinya?
Kenaikan BBM nya? Hutangnya?. Huwak, tolong!!
Kata
guru saya, tabayyun bukan hanya
sekedar prinsip. Tapi sebagai penyaring. Bahwasanya dalam hidup, ada saja
orang-orang yang senang melihat perpecahan di antara masyarakat Indonesia. Jika
kita punya ‘penyaring’ itu, maka kita menambah daftar orang-orang yang peduli terhadap
karakteristik dasar bangsa kita. Orang-orang yang selalu menempatkan keadilan,
kemanusiaan, dan kejujuran satu senti di depan orang yang akan diamati atau dinilainya.
Lagipula, tabayyun akan menciptakan
jalinan silaturrahim di antara kita. Mungkin merajut kembali silaturrahim yang
dulu sempat putus, atau semakin mempererat lagi silaturrahim yang sudah ada.
Saat ini
misalnya, ketika kamu membaca tulisan ini atau tulisan di blog-blog lain, mungkin
diam-diam kamu juga sedang mengamati kepribadian si empunya blog. Maka, jadilah
kamu pengamat yang baik dan adil :D
Bukankah adalah kebahagiaan yang besar bila tidak ada orang yang merasa terdzalimi oleh tindak tanduk kita? Percayalah, bahwa banyak musuh itu, 'mematikan' seseorang sebelum ajalnya. Naudzubillah.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(QS. Al-Hujurat: 6)
Peace and
Cheers! Bunch love for Indonesia. For you too.