Friday, November 4, 2022

Kembali Tumbuh

Awal tahun, sepulang Pak Agus dinas dari Kota Barito, kami berdua berdiskusi dan akhirnya siap memasuki kembali fase menjadi bumil dan pakmil yang sesungguhnya tidak pernah mudah. Tapi menunda lama pun, saya pikir juga bukan jalan keluar terbaik saat ini. Dua tahun lalu, alasan pandemi menjadi sangat masuk akal untuk menunda menambah momongan, juga ditambah dengan aktivitas Pak Agus sebagai mahasiswa PPDS yang masih sangat tinggi di rumah sakit kala itu. 

Alhamdulillah, kondisi semakin membaik. Pak Agus juga sudah memasuki semester-semester akhir sebagai mahasiswa PPDS. Kami banyak-banyak berdoa dan berusaha memantapkan hati. Saya kembali membayangkan pengalaman hidup di awal-awal masa kehamilan sebelumnya. Tak mudah tapi bisa kok dilalui. Insyaallah kali ini pun, dengan pertolongan Allah, hal serupa juga bisa terlalui dengan baik. Meski ternyata, tantangannya jauh lebih besar dibanding dua kehamilan sebelumnya. Ada si kakak yang sudah bersekolah, dan si anak kedua yang semakin aktif dan penasaran pada banyak hal :’) 

Kuasa Allah, tak butuh waktu lama untuk melihat kembali garis dua di alat tes kehamilan. Melihat refleksi wujudnya saat melakukan USG, mendengar detak jantungnya, mengetahui jenis kelaminnya, duh! masih saja takjub, masyaallah. 

Kini, saya tengah menjalani trimester kedua yang membahagiakan setelah trimester pertama yang sungguh amat menantang. Mahasiswa PPDS juga memperlihatkan kemajuan pesat di kampusnya. Ia semakin bureng agar lekas menjadi spesialis yang saleh dan penuh kebermanfaatan. Saat masih mual muntah kemarin, ia mengabarkan berita baik bahwa ia lolos ke sebuah konferensi internasional di negeri para oppa. Tentu sebagai istri, saya amat senang lagi bersyukur atas kabar itu. Beberapa hari setelahnya, saya kembali terkejut dibuatnya karena ia mengajak si bumil ini untuk menemaninya selama di sana. Sekalian babymoon katanya. Hahahha.

Oke, kita tancap gas mempersiapkan semua sambil berdoa agar si bumil ini tetap fit lagi lincah.

Thursday, June 23, 2022

Jangan Seperti Buih!

Setidaknya ungkapan inilah yang menjadikan saya untuk terus mencoba menebar hikmah lewat tulisan-tulisan yang terangkai dari jari-jari ringkih saya. Sudah sekian lama saya cinta menulis. Di buku diari, di blog pribadi, juga di kertas-kertas untuk saya selipkan di kantong baju suami. Kecintaan saya bertambah ketika menyadari bahwa tidak semua hal yang menari di kepala, mampu saya ungkapkan dengan berbicara. Bahkan, seringnya saya hanya terbata-bata. Keikutsertaan saya dalam beberapa proyek antologi di awal tahun 2021, adalah bentuk keharuan yang luar biasa. Sebab ternyata, tulisan-tulisan yang diterbitkan bisa membawa perubahan positif pada jiwa dan hati saya. Saya tak mengerti. Tapi bisa jadi, perubahan itu lahir karena doa-doa pembaca yang menjelma menjadi obat pereda rasa nyeri. Manifestasi yang indah, bukan?

Hingga akhirnya, penghujung tahun 2021 hadir membawa seperangkat harapan. Menulis buku “Pada Mata yang Jelaga” ini, memancing saya untuk banyak belajar, membaca ragam literatur, dan berpikir tentang ragam manusia, tempat, waktu, kejadian, serta ingatan-ingatan yang menaunginya. Ada banyak kisah tentang pertemuan, perpisahan, kehilangan, harapan, dan penyesalan. Ragam manusia yang mengukir jejak kakinya di sana, ingin berbagi rasa. Tentang hangatnya pertemuan, tentang pahitnya perpisahan, pun mungkin tentang beratnya kehilangan. Tapi hidup, sungguh harus berlanjut menjadi lebih baik setelah melewati tempaan-tempaan itu. Sebab, ada kekuatan dan harapan yang pelan-pelan mekar kembali dengan berani.


Tak ada yang mudah jika tidak dimulai dan ditekuni. Menulis buku Pada Mata yang Jelaga, sesungguhnya bukanlah tanpa hambatan. Sebab ternyata, menghimpun lintasan-lintasan pikiran menjadi sedulang hikmah, cukuplah berat lagi menguras tenaga. Hingga, tidaklah berlebihan bila bentuk kesyukuran saya yang paling awal adalah ketika melihatnya rampung. Selanjutnya, sungguh besar harapan saya agar kesyukuran-kesyukuran itu terus beranak pinak, mengakar hingga di hati para pembacanya kelak. Buku yang terbilang masih sederhana ini, semoga mampu memberi hikmah dan manfaat sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merajut antara hikmah dan amal perbuatan.

    Sekali lagi, menulislah dan jangan seperti buih. Sebab buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tiada harganya. Sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, akan tetap tinggal di bumi. Ucapan menguap, tulisan akan abadi, meski raga tak ada lagi.

Saturday, November 13, 2021

Saya yang Tidak Romantis

Sebenarnya, saya pun masih bingung perihal suka atau tidaknya saya dengan keromantisan. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya tidak begitu suka dengan pelukan, buket bunga, coklat, sanjungan, kejutan, dan ingatan akan hari-hari spesial. Tapi di sisi lain, mereka memang cenderung lebih bisa membuat saya geli. Mungkin yang berani saya katakan adalah penilaian seseorang terhadap keromantisan itu yang berbeda-beda. Cukup mendapati seseorang menggantung handuk dengan benar atau menanggapi permintaan anak-anak, lalu membiarkan saya mengajar dan menghabiskan kopi dengan damai, maka segalanya bisa membuat saya kelepek-kelepek kembali.

Hingga saya mengerti bahwa klimaks haru yang berkorelasi dengan anggapan keromantisan seseorang memang bersandar pada hal-hal yang paling krusial saat itu. Apa yang paling kamu butuhkan, lalu terpenuhi, maka itulah keromantisan.

Saya tidak begitu suka dengan pelukan. Akhirnya, kenyataan itu membawa saya pada aktivitas memeluk yang jarang. Saya pun pernah mengambil kesimpulan bahwa saya adalah orang yang tidak romantis yang dibesarkan di lingkungan yang tidak romantis dan lalu hidup dengan orang yang tidak romantis. Lalu apakah hal itu menjadi masalah? Sejauh ini belum. Tapi seiring bertambahnya usia sebagai penghuni mahligai rumah tangga, nyatanya ada saja hal yang tiba-tiba berubah. 

Pelukan, menjadi bahasa sayang yang paling dalam.

Anak-anak saling rebut. Terkadang saling pukul. Saya mulai bingung.

Setiap malam sebelum tidur, beberapa waktu ini, meski memang terlambat menyadari, tapi tak mengapa, saya merasa bahasa sayang itu menjelma menjadi kebutuhan primer. Dampaknya, saya rasa jauh lebih baik dalam meningkatkan daya tahan tubuh dan jiwa. Bukan cuma saya yang merasa lebih tenang. Tapi kondisi anak-anak yang sudah berjuang sejauh ini melawan rasa bosan di rumah terus, menjadi lebih lunak. Kakak sayang dan mengayomi. Adik hampir bisa dipastikan tidak lagi suka mengganggu. Mereka mencipta hubungan yang lebih hangat.

Saya jadi sering berdoa agar saya tidak jadi ibu yang kaku-kaku amat. Sebab setiap malam, entah mengapa, mereka selalu ingat menagih pelukan itu sebelum tidur, walau terkadang mesti pakai bahasa kode-kodean yang bikin geli. Ah! mengapa pelukan selalu seperti itu? :D

Saturday, February 13, 2021

"Allah tinggalnya di blok berapa, ya?"

Kelahiran Azuma, lima tahun yang lalu menjadi momentum rekonstruksi pikiran dan jiwa saya. Saya yang pada saat itu melahirkan seorang anak, juga sekaligus terlahir sebagai seorang Ibu. Lebih tepatnya, Ibu yang belajar. Setiap hari adalah proses bersabar. Bukan!, saya tidak sedang berbicara tentang bersabar dalam menghadapi dan menemaninya. Namun, saya sedang berbicara perihal bersabar menghadapi diri saya sendiri atas cacat dan khilaf yang terus menghiasi perjalanan saya menjalankan amanah Sang Pencipta. Amanah mulia yang surat tugasnya diberikan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Menjadi seorang Ibu, berarti kita harus siap dengan aktivitas yang sama dan berulang-ulang. Termasuk dalam proses mendidik sang buah hati mengenal Tuhannya. Bagi kami, ini hal utama dalam visi dan misi keluarga yang telah kami susun. Perjalanan mengenal Tuhan akan memberikan kebaikan-kebaikan di pengalaman hidup selanjutnya. Tak mudah memang. Bahkan acap kali hasilnya belum lagi sama dengan harapan. Namun, bukankah manusia memang hanya bisa mengusahakan sebab-sebab? Sementara hati dan gejolaknya, adalah hak prerogatif Allah semata. 

Proses mengenalkan keesaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah proses yang paling menantang dalam seri membersamai anak-anak di rumah. Prosesnya berbeda dengan tema aktivitas yang lain. Namun anehnya, tema ini mampu menyelami seluruh aktivitas yang mengiringi anak-anak. Masyaallah. Sumbernya harus jelas. Tidak boleh asal petik apalagi mengonsumsinya mentah-mentah. Orang tua juga harus berhati-hati dalam proses penyampaiannya. Sebab, manfaat dan risikonya berbanding lurus. Jika proses penyampaiannya benar, maka orang tua akan takjub pada hasilnya, Insyaallah, dengan izin Allah. Namun, ketika proses pengenalan tersebut hanya asal saja, maka kemungkinan hasilnya pun tidak akan efektif. Maka, tugas kami sebagai orang tua adalah belajar dan terus menuntut ilmu untuk perbekalan keluarga. Keluarga mengusahakannya di dunia, lalu menjadi investasi hidup di akhirat nanti. Semoga Allah damping kami selalu dalam proses panjang ini.

Dalam beberapa episode dialog iman dengan buah hati kami, tak jarang suasananya mencipta haru biru atas respon yang kami dapatkan. Kami percaya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan anak-anak kita bersama dengan fitrah keimanan yang ada dalam diri mereka. Untuk mencapai kegemilangannya, maka orang tua sebagai madrasah pertama memiliki kewajiban untuk membuat arah jalannya dan metode pencapaiannya. Maka kami jadikan setiap waktu kebersamaan kami adalah wujud pengenalan keesaan dan keagungan Allah Subhanu wa Ta’ala kepada sang buah hati. Saat lapang maupun saat sempit. Saat sehat maupun sedang sakit. Saat menikmati es krim kesukaan, saat minum susu, saat minum obat yang pahit, saat terjatuh, saat belajar, dan saat bermain. Seluruh proses pengenalan tentang keesaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala kami jadikan muara pada betapa Allah Maha Penyayang. Ia sangat menyayangi kami sekeluarga. Hal ini menjadi pertimbangan kami sebab usia anak-anak kami masih tergolong pada fase pra latih. Di mana cara terbaik mengenalkan hal baru kepada mereka adalah membangkitkan gairah mereka terhadap hal tersebut agar kemudian menjadi kebiasaan dan sifat alami yang melekat pada diri mereka.

Anak pertama kami, Azuma, baru saja menginjak usia lima tahun. Ia adalah anak perempuan yang sangat aktif dan lincah. Di usianya yang bukan lagi seorang balita, ia sangat menyenangi bermain bersama teman-teman di kompleks perumahan kami. Jika telah bermain dengan teman-temannya, sering kali rasa khawatir hinggap menghampiri. Meski kompleks perumahan kami terbilang kecil, namun melihat keaktifan anak kami ini termasuk tinggi, maka kami sering menyampaikan dan mengulang-ulang alamat blok rumah kami agar ia tidak tersesat ketika pulang. Karena sering diulang, maka anak kamipun sudah sangat hafal. Lalu sampai ketika anak kami mempertanyakan perihal “apakah kita bisa melihat Allah?” di suatu malam sebelum ia terlelap. 
“Ummi, apakah kita bisa melihat Allah?” tanyanya penasaran.
“Bisa dong, Kak!. Tapi bukan di dunia ini.” jawabku sedikit gemetar atas pertanyaannya.
“Terus di mana, Ummi?”
“Insyaallah di surga, Nak,” imbuhku
“Wah! jadi semua orang yang masuk surga, bisa melihat Allah ya, Ummi?” tanyanya semakin penasaran
“Yang bisa melihat wajah Allah secara langsung, adalah orang yang bisa masuk di surga yang paaaaling tinggi.”
“Memangnya surga ada berapa tingkat, Ummi?”
“Ada tujuh tingkat, Kak. Orang-orang yang bisa melihat wajah Allah adanya di surga tertinggi, yaitu Surga Firdaus. Insyaallah Kakak, Adik, Ummi, Abi, Nenek, dan Kakek bisa masuk ke surga tersebut. Hmm … bagaimana caranya ya? 
“Ya, Ummi! Bagaimana caranya? Saya juga mau masuk Surga Firdaus!” ucapnya semangat.
“Kalau kita mau masuk Surga Firdaus, kita harus semangat salat, berkata yang baik, rajin menolong, dan selalu belajar memakai jilbab,” lirihku. Anak kami semakin semangat mendengar apa yang saya katakan. Hingga keluarlah pertanyaan yang membuat saya menahan tawa di suasana yang sudah hening itu.
“Ummi, Ummi! Kita kan tinggal di Blok C8. Kalau Allah tinggalnya di blok berapa, ya?”
Masyaallah, anak-anak dengan imajinasinya memang luar biasa. Bahkan kita terlampau sering terpukau atas apa yang mereka utarakan. Jika bukanlah karena Allah yang menggerakkan bibir ini untuk menyampaikan kebenaran, niscaya kita akan gelagapan sendiri dan akhirnya akan menggerus fitrah keimanan yang ada dalam diri mereka. Naudzubillahi min dzalik.

Anak-anak kami, kian hari memberi pelajaran berharga bagi kami. Namun, belumlah cukup apalagi sempurna bekal untuk membimbing dan membesarkan mereka. Kami yang penuh cacat lagi khilaf, sudah pasti tak akan bisa mengandalkan amal saleh sebagai pemantik terkabulnya doa-doa. Sungguh! Kami berusaha mempersembahkan pengorbanan terbaik untuk anak-anak kami. Di saat yang bersamaan, mereka mempersembahkan cintanya menerima segala cacat pilu dari orang tuanya. Jika bukan karena rahmat dan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tak ada lagi harapan yang pantas tersemat dalam bait-bait doa. 

Semoga … semoga yang terkenang oleh mereka, hanyalah kebaikan-kebaikan kita saja. 

Saturday, December 12, 2020

Menyingkap Sosok Ibu Sempurna dalam Drama Korea “Birthcare Center”

Nyaris sepuluh tahun saya tidak melirik apalagi sampai menonton drama Korea. Sekitar tahun 2011, saya mengkhatamkan drama Korea “Boys Before Flower” dan itu membuat saya “trauma”. Saya yang terlalu terbawa perasaan saat menonton setiap episodenya memutuskan hubungan dengan drama Korea manapun untuk membuat mental saya lebih sehat. Haha

Lalu di sebuah grup Whatsapp, sahabat saya merekomendasikan drama Korea berjudul “Birthcare Center” yang rilis tahun 2020 ini. Katanya bagus karena mengangkat tema kehidupan perempuan post partum. Baik, saya tertarik. Mumpung anak-anak juga sedang di rumah neneknya, maka saya menelusuri drama Korea tersebut lalu menonton habis sebanyak 8 episode di sebuah aplikasi layanan video over-the-top. Secara garis besar, drama Korea ini mengangkat kisah seorang perempuan (Hyun Jin) yang berprofesi sebagai direktur pelaksana termuda di perusahaannya. Akan tetapi, sosok mudanya berkebalikan ketika ia dinyatakan hamil pada usia berisiko (42 tahun). Menjelang persalinan, ia masih rutin ke kantor dan mengerjakan beberapa proyek perusahaan. Karena kesibukannya, ia bahkan diwakili senam hamil oleh suaminya. Bisa dikatakan ia tidak cukup memberdayakan dirinya dalam persiapan kelahiran buah hatinya. Hingga beberapa jam sebelum melahirkan, ia masih sempat bertemu dengan kolega dari perusahaan lain dan saat di depan koleganya itulah air ketubannya pecah. Belum juga ia sempat menandatangani kontrak hubungan kerja, ia segera menuju rumah sakit untuk persiapan melahirkan. Panjang cerita, ia mengalami beberapa kesulitan terutama saat proses mengedan hingga buah hatinya lahir dengan selamat.

Babak baru dimulai. Setelah keluar dari rumah sakit, ia mengusahakan pemulihan di salah satu Birthcare Center (Pusat Perawatan Pasca Melahirkan) dan bertemu beberapa perempuan yang juga baru saja menjalani proses melahirkan sang buah hati. Tempat tersebut lebih mirip seperti tempat belajar menjadi ibu baru. Bedanya terletak pada, di tempat itu masih banyak “bala bantuan” yang diberikan. Ibu post partum memiliki banyak waktu untuk beristirahat karena para bayi dipegang oleh beberapa perawat senior. Ibu dan bayi bertemu ketika waktu menyusui tiba. Rasa insecure muncul pertama kali ketika Hyun Jin merasa tidak mampu memberikan ASI kepada bayinya. Cukup lama ia berusaha dan merasakan kesakitan hingga mampu menyetok ASI itu kepada bayinya. Konflik terjadi ketika di dalam Birthcare Center tersebut ada kubu ASI dan kubu Susu Formula. Kenyataan yang membuat Hyun Jin sebagai ibu baru sekaligus wanita karir menjadi semakin bingung menentukan pilihan dengan semua pertimbangan yang telah ia pikirkan.

Jo Eun Jung, seorang ibu senior meski usianya jauh lebih mudah dibandingkan Hyun Jin, menjadi pusat perhatian para ibu di Birthcare Center tersebut. Ia tampil sebagai sosok ibu yang sempurna dengan berbagai penilaian istimewa dari para ibu. Mampu melahirkan normal dua anak kembar sebelumnya, memberikan ASI selama 2 tahun, bentuk tubuh yang tetap ideal, dan penampilan yang tetap terawat mampu menjadikan ibu-ibu yang lain insecure terhadap dirinya sendiri, tak terkecuali Hyun Jin. Selain itu, Jo Eun Jung menguasai teori pengasuhan dengan sangat baik serta selalu memperlihatkan kondisi keluarga harmonis di hadapan ibu-ibu yang lain. Sungguh sempurna!

Episode demi episode berlanjut, hingga sampai pada konflik-konflik yang dihadapi para ibu di balik karakternya masing-masing. Konflik internal sesama ibu karena perbedaan persepsi dalam mengasuh anak serta  konflik keluarga yang selama ini disembunyikan akhirnya muncul satu per satu. Hyun Jin yang tetap merasa tidak becus menjadi seorang ibu, menjalani hari-harinya di Birthcare Center dengan cukup baik. Di beberapa episode, ia tampil sebagai problem solver bagi ibu-ibu lain di tempat tersebut. Di episode yang lain, ia harus berhadapan dengan isu perselingkuhan suami di saat-saat di mana dukungan suami amat ia butuhkan. Hiks

Sedangkan Jo Eun Jung, mulai merasa tidak mampu memakai “topeng kesempurnaannya”. Ia merasa jauh dari bahagia. Kesempurnaan pengasuhan yang membuatnya dikagumi, menyimpan garis hitam di sebaliknya, ia nyatanya tak mampu mengontrol penuh “kenakalan” kedua anak kembarnya. Keharmonisan keluarga yang selama ini ia tampilkan, hanyalah fatamorgana yang membuatnya sadar bahwa ia tidak boleh terus-menerus seperti itu. Ia harus memeluk dirinya sendiri dan bahagia dengan apa adanya dirinya.

Di akhir episode, setelah beberapa konflik yang menghiasi, para ibu lulusan Birthcare Center bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Babak baru pengasuhan tahap kedua dimulai. Di mana tidak ada lagi “bala bantuan” seperti saat masih di Birthcare Center. Meski sering terlibat konflik satu sama lain, para ibu akhirnya menjadi teman berbagi dalam hal pengasuhan anak. Hal ini nampak “real life” sekali. Bahwa di balik segala perbedaan pengasuhan yang kita yakini, bagaimanapun kita akan sangat butuh sosok teman berbagi. Teman yang juga merasakan kegetiran yang sama dalam perjalanan mengasuh sang buah hati.

Saya rasa, banyak pesan yang ingin disampaikan drama ini kepada para orang tua dan calon orang tua di luar sana. Meski banyak adegan yang dibuat lucu, tapi tidak mengurangi ironi dan kegetiran yang ingin disampaikan dalam drama ini. Pelan-pelan, dunia akan memahami, bahwa menjadi ibu bukanlah pekerjaan mudah. Menjadi ibu, mengharuskan kita untuk banyak belajar. Setiap ibu pasti tahu yang terbaik untuk buah hatinya, sehingga sudah sepantasnya agar ia tidak mendapat penghakiman dari siapapun. Sesama perempuan, sudah selayaknya untuk saling mendukung bukannya saling menjatuhkan. Yang tidak kalah penting adalah seorang ibu harus bahagia agar anak-anaknya juga bahagia. Para suami tolong dicatat baik-baik!

Jika ditanya siapakah sosok ibu sempurna di drama ini? Jawabannya TIDAK ADA. Begitupun di dunia ini. Tak akan mampu seorang ibu menjadi yang sempurna. Yang ada adalah, seorang ibu yang terus berusaha memberikan hal terbaik untuk anak-anaknya. Begitu banyak impian yang ditunda demi sang buah hati. Begitu banyak rasa sakit dan pengorbanan yang diberikan agar keluarga menjadi yang prioritas. Maka, hargailah mereka. Berlaku lemah lembutlah. Jangan pernah engkau menuang perih di kedalaman hati mereka.

Selamat mendulang hikmah! 😊