Bahwa
dalam satu periode kehidupan, entah sedang dimana engkau berada, seseorang atau
dua orang tiba-tiba muncul dan mencuri ruang pikirmu sejenak, lalu membuatmu
diserang perasaan khawatir yang berlebihan.
Ia,
seorang anak perempuan berumur duapuluh tahunan mengadukan perasaannya pada Sang
Pemilik malam yang dingin. Selimut dengan aroma kenangan mengebiri seperti sedang
mendendangkan kidung kesunyian. Desiran lembut angin dan lolongan anjing
pelan-pelan memainkan perannya dalam parade tiga puluh menit itu.
Ia,
seorang anak perempuan berumur duapuluh
tahunan dengan dua peran penting dalam hidupnya. Sebagai anak dan sebagai
kakak. Kadang berpikir bahwa, kedua peran itu sudah jauh lebih dari cukup.
Mengapa pula mesti ditambah? Kewajiban sebagai anak perempuan, bagaimanapun
usahamu untuk memperindahnya, takkan pernah bisa membalas pengorbanan kedua
orang tuamu barang setitik tinta yang kau
tekan di atas kertas. Takkan pernah menemui kesudahannya.
Mengapa
hidup seorang anak perempuan tidak diperuntukkan hanya untuk kedua orang tuanya
saja? Berbakti seumur hidup. Agenda bakti fisik. Melihat kedua orang tuanya
melewati usia senja sampai pada akhirnya mesti menghadap Sang Pencipta. Mengapa
tak demikian saja? Biarlah para anak lelaki saja yang menjalani kehidupan di
luar sana. Toh mereka, bagaimanapun kondisinya, akan mampu menjamin dirinya
dari fitnah dunia selama bukan mereka yang memulainya. Tapi perempuan? Sungguh
tidak demikian adanya. Suka atau tidak suka, sengaja atau tidak sengaja, tahu
atau tidak tahu, seorang perempuan adalah objek paling rentan.
Lalu
mengapa kewajiban itu mesti dibatasi lagi dengan munculnya peran baru seorang
perempuan? Misal sebagai istri? Bukankah peran baru itu akan mengurangi sedikit
demi sedikit kuantitas bakti fisik kepada kedua orang tua? Ditambah lagi ketika
nantinya seorang anak perempuan mesti tinggal jauh dari kedua orang tuanya.
Entah untuk alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll. Semuanya menari-nari
menyuguhkan kekhawatiran berlebihan. Dan tentunya beralasan.
Ia,
anak perempuan tadi, masih memandangi langit dari balik celah ventilasi
kamarnya. Sedang lolongan anjing di ujung jalan yang sedari tadi masih belum
berhasil memecah kesunyian, perlahan hilang seiring dengan berlalunya angin
malam yang dingin.
***
Anak
perempuan, pada kenyataannya memikul amanah lebih besar. Ia, bisa menjadi aroma
syurgawi atau menjadi corong neraka bagi orang tuanya. Ketika ia mampu
menjalankan peran-perannya dan menjaga amanah orang tuanya dengan baik, maka
tak ada persembahan lebih baik daripada persembahan syurgawi untuk kedua orang
tuanya. Bagaimanapun kondisi kedua orang tuanya.
Kekhawatiran
berlebihan adalah hal yang lumrah-lumrah saja. Bukankah perempuan memang
menaruh intuisi yang justru bisa membuatnya berhati-hati? sehingga kekhawatiran
yang menari-nari itu akan menemui satu-persatu jawabannya. Peran sebagai
seorang anak dan seorang kakak adalah contoh kecil yang bisa memberikan kita
pelajaran, sekali lagi. Ketika peran itu mesti “dibatasi” dengan adanya
anjuran menikah bagi seorang perempuan, maka sadarlah bahwa bukan peran itu
yang dibatasi. Justru dengan itulah, jalan berbakti itu akan semakin luas. Ada
anggota keluarga baru yang menuntut baktimu (ngomong apa saya??). Tentu saja dengan menempatkan
aspek kualitas sebagai tolak ukurnya.
Kemudian
ketika kekhawatiran itu berlanjut pada skala “mesti tinggal jauh dari orang
tua” karena alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll, maka minimalkanlah
berkeluh kesah (nunjuk diri sendiri). Orang tua khawatir, itu pasti. Kangen,
apalagi. Maka dengan segala nasehat dan pengalaman yang saya dapatkan dari
berbagai disiplin llmu, mulai dari ilmu agama, filsafat, geografi, antropologi,
psikologi, sampai saya tertarik dengan ilmu semiotika, maka kunci terbesar dari
kekhawatiran itu adalah DOA. Tak ada yang meragukan kekuatan doa. Apalagi doa
anak-anak yang saleh. Suatu ketika di dalam sebuah kajian, dan saya akan selalu
mengingat perkataan itu. Bahwa, selama kita (anak perempuan) mampu menjaga
“rambu-rambu” agama yang juga merupakan amanah orang tua, selalu mendoakan
mereka, maka dengan tidak sengaja kita telah menanamkan investasi kebaikan
untuk diri kita sendiri dan untuk kedua orang tua kita.
Investasi
ini bisa kita tuai di dunia dan atau di akhirat. Di dunia, bentuk penuaian investasi
ini bisa berbentuk kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah, kesehatan,
kelancaran rezeki, keistiqamahan, perlindungan,dll. Maka sangat penting ketika
kita melakukan suatu kebaikan, maka sudah seharusnya kita memohonkan keberkahan
meliputi seluruh keluarga, terutama orang tua kita. Bukankah doa adalah senjata
kaum mukmin? Dan dengan doa pula lah jarak yang membentang bisa runtuh berganti
dengan hati yang saling berpaut. Sungguh tak ada ciptaan Allah yang sia-sia.
Semua yang terjadi pada diri kita (masalah, nikmat, ujian) telah dirancang dengan
sebaik-baik rancanganNya.
Masa
depan tak akan pernah berhenti sebagai misteri, manakala kita tak berusaha
melakukan perbaikan di masa kini. Orang tua, harta, pangkat, jabatan, tahta,
adalah “kekayaan” yang mesti kita jaga. Menjaganya agar kesemuanya itu tidak
mengantarkan kita pada murkaNya. Senantiasa menjadikan Allah sebagai poros dari
semua yang kita kerjakan. Bukankah Allah adalah sebaik-baik penolong dan
pelindung? Sehingga sudah selayaknya
bila kekhawatiran yang tiba-tiba muncul tidak menghalangi kita dari beribadah
kepadaNya.
“Dan
benarlah, bahwa menulis adalah bagian dari menasehati diri sendiri”.
“alangkah indahnya sebuah
gagasan. Dan alangkah bermaknanya jika ada sekelompok manusia yang berjanji
setia mewujudkannya”. (Hasan Al Banna)