Saturday, February 9, 2013

Yang Baik Hatinya


Foto, menyimpan cerita yang unik sepanjang masa. Di dalamnya ada akumulasi perasaan yang tidak bisa dibuat-buat. Pun diubah-ubah.
Kalimat itu refleks terangkai dari tuts keyboard setelah saya dengan tidak sengaja melihat kembali seraut wajah yang terekam dalam resolusi dua belas megapixel sebuah kamera merah marun. Di dalam sebuah ruang tamu yang tidak begitu besar, wujud nyata seseorang yang tidak pernah saya temui sebelumnya berhasil membuat saya seperti pengintai yang ulung, beberapa tahun silam.
 
Orang itu baik hatinya? Batin saya mengiyakan. Sejak hari itu sampai kepada detik yang menyusun hari ini.

Tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja, mendadak ingatan saya tiba-tiba tertuju pada orang itu. Ingatan yang tiba-tiba tidak bisa saya kendalikan setelah sebelumnya lama menghilang ditumpuki orang-orang baru dan kewajiban-kewajiban baru. 

Ingatan yang tidak bisa saya kendalikan. Kepada seseorang yang baik hatinya, yang mungkin saja  telah saya kecewakan dengan indeks kekecewaan yang parah.
Semoga Allah berkenan mengampuni saya. Berkenan meliputi kebaikan dan kebahagiaan yang besar dalam seluruh periode kehidupan orang baik itu.
Aamiin.

Saran saya, berhati-hatilah membuka file-file lama yang merekam wajah-wajah mereka yang pernah menyumbang hikmah dalam hidupmu. Terkadang ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul lagi dan membuat dosa-dosa lama kembali teraktivasi. Meski jauh sebelumnya, penerimaan maaf telah kau dapatkan dari orang baik yang mungkin telah dikecewakan.

Friday, February 8, 2013

Tahun ke 4 yang Luar Biasa (anehnya) !



Kalau dipikir-pikir, saya tak punya alasan yang “syar’i” mengapa saya sampai bisa memasuki kancah per-blog-an yang luar biasa ini . Saya cuma ingin tahu rasanya punya blog. Itu saja. Sebelumnya, saya telah mencampakkan dua blog sebelum mantap dengan blog ini #eaeaea #apasih #gakpenting. Maka, sebelum saya berpanjang lebar, izinkan saya memohon maaf pada blog-blog yang dulu saya campakkan (?).

Anggap saja rasa keingintahuan saya terkalahkan dengan rasa sok tahu ketika iseng membaca buku-buku tentang blog di sebuah toko buku ternama di Makassar dimana saya sendiri telah lupa membacanya di mall mana. Saat itu, istilah galau belum setenar sekarang (?). Akibatnya, saya sendiri tak ingat perasaan apa yang kiranya telah memenuhi diri saya sehingga dengan tidak senang hati membeli buku panduan blog pada siang hari yang terik itu. 

Malam harinya, saya menenteng laptop. Bergegas ke warnet satu-satunya (waktu itu) di sekitar kost-an. Memulai ikhtiar saya untuk membuat blog ketiga ini setelah sebelumnya membaca dan mempelajari baik-baik buku panduan blog yang saya beli. Akhirnya, dalam waktu kurang dari satu jam, jadilah sebuah blog sederhana nan unyu (?) yang namanya pun tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Bermodalkan rasa kesukaan akan warna hijau dan tiba-tiba terpikir tentang cangkir (berhubung pada waktu itu penjaga warnet sepertinya sedang minum kopi), terpilihlah nama green dan cups untuk alamat blog ini. Saya sendiri memakai bahasa Inggris supaya blog ini nantinya kelihatan lebih ketje (?). Walaupun saya sepenuhnya menyadari bahwa tulisan-tulisan yang nantinya akan dipublikasikan di blog ini tidak sepenuhnya nangkring di hati para pemirsa yang budiman/budiwati (?). 

Satu hal yang sangat saya syukuri bahwa ketika dilanda perasaan galau (maklum masih muda) dan atau bosan, maka saya bisa mendapatkan “obat pereda rasa nyeri” di blog ini (?). Ada jurnal perjalanan saya ketika melaksanakan Praktik Belajar Lapangan (PBL) 1-3, Kuliah Kerja Nyata, magang, pengalaman meneliti di provinsi lain, sampai tulisan sarat makna yang bisa meneteskan air mata (?) dan mengeringkan gigi (?). Terima kasih pula untuk orang-orang (yang tidak akan saya sebut namanya) karena kiranya telah pasrah untuk menjadi inspirasi menulis saya, walau sebenarnya ketika saya membaca kembali tulisan-tulisan yang ada di blog ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa diri saya sangatlah lebay, sotoy, 4l4y, terkadang romantis, melankolis,  garing, ababil, asal tidak narsis. Mungkin juga sampai sekarang. Tapi, semoga saja ada manfaatnya ya. 

Akhirnya, semakin bertambah umur saya, maka bertambah pula umur blog ini. Dimana seiring berjalannya waktu saya lebih suka memanggilnya “Ijo”. Ijo yang aduhai, rupawan, dan dermawan. Yang ke-aduhai-annya bisa tertular kepada siapa saja yang mengunjunginya. Begitupula dengan sifat dermawannya. Pokoknya yang positif tertularkan, yang negatif terendapkan lalu menghilang. Hari ini genap sudah empat tahun kebersamaan kami (halah). Sayangnya, tiap pertambahan umur si Ijo, saya selalu terkena kondisi kekerean yang kronis (?). Sehingga, saya belum pernah menghadiahkannya sesuatu atau sekedar mengajaknya ngopi-ngopi.  

“Jo, jo, jooo, maaf ya Jo. Saya nyayi aja ya?. Itu tuh, lagu kesukaan kamu. Apa? Tidak mau? Trus maunya apa? APPPAAAH? Reza Rahadian? Ciyus nih? Enelan? Oke kalau begitu. Demi kamu, Jo. Demi kamu saya mendadak alay nih !!! Pokoknya tanggung ya kalau ada yang marah sama saya (baca: j-e-a-l-o-u-s)”.
“Gimana , Jo? Sudah puas kan? Kalau begitu, izinkan saya untuk pingsan”.

Wednesday, February 6, 2013

A Little Piece of Ground



“Sesungguhnya tiada terlepas seseorang itu dari percakapan manusia. Maka orang yang berakal tiadalah dia mengambil pertimbangan melainkan kepada Allah Subhanahu wata’ala semata. Barang siapa mengenal kebenaran, itulah yang menjadi satu-satunya pertimbangannya.”

>> Inspirasi Kisah Luqman, anaknya, dan Seekor Keledai. Pernah pula diceritakan ulang oleh seorang dosen yang (sepertinya) sangat terobsesi dengan sinetron Tukang Bubur Naik Haji :)

Monday, February 4, 2013

Balada Anak Perempuan


Bahwa dalam satu periode kehidupan, entah sedang dimana engkau berada, seseorang atau dua orang tiba-tiba muncul dan mencuri ruang pikirmu sejenak, lalu membuatmu diserang perasaan khawatir yang berlebihan.

Ia, seorang anak perempuan berumur duapuluh tahunan mengadukan perasaannya pada Sang Pemilik malam yang dingin. Selimut dengan aroma kenangan mengebiri seperti sedang mendendangkan kidung kesunyian. Desiran lembut angin dan lolongan anjing pelan-pelan memainkan perannya dalam parade tiga puluh menit itu.
Ia, seorang anak perempuan  berumur duapuluh tahunan dengan dua peran penting dalam hidupnya. Sebagai anak dan sebagai kakak. Kadang berpikir bahwa, kedua peran itu sudah jauh lebih dari cukup. Mengapa pula mesti ditambah? Kewajiban sebagai anak perempuan, bagaimanapun usahamu untuk memperindahnya, takkan pernah bisa membalas pengorbanan kedua orang tuamu barang setitik tinta yang kau  tekan di atas kertas. Takkan pernah menemui kesudahannya.

Mengapa hidup seorang anak perempuan tidak diperuntukkan hanya untuk kedua orang tuanya saja? Berbakti seumur hidup. Agenda bakti fisik. Melihat kedua orang tuanya melewati usia senja sampai pada akhirnya mesti menghadap Sang Pencipta. Mengapa tak demikian saja? Biarlah para anak lelaki saja yang menjalani kehidupan di luar sana. Toh mereka, bagaimanapun kondisinya, akan mampu menjamin dirinya dari fitnah dunia selama bukan mereka yang memulainya. Tapi perempuan? Sungguh tidak demikian adanya. Suka atau tidak suka, sengaja atau tidak sengaja, tahu atau tidak tahu, seorang perempuan adalah objek paling rentan.

Lalu mengapa kewajiban itu mesti dibatasi lagi dengan munculnya peran baru seorang perempuan? Misal sebagai istri? Bukankah peran baru itu akan mengurangi sedikit demi sedikit kuantitas bakti fisik kepada kedua orang tua? Ditambah lagi ketika nantinya seorang anak perempuan mesti tinggal jauh dari kedua orang tuanya. Entah untuk alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll. Semuanya menari-nari menyuguhkan kekhawatiran berlebihan. Dan tentunya beralasan.

Ia, anak perempuan tadi, masih memandangi langit dari balik celah ventilasi kamarnya. Sedang lolongan anjing di ujung jalan yang sedari tadi masih belum berhasil memecah kesunyian, perlahan hilang seiring dengan berlalunya angin malam yang dingin.
***

Anak perempuan, pada kenyataannya memikul amanah lebih besar. Ia, bisa menjadi aroma syurgawi atau menjadi corong neraka bagi orang tuanya. Ketika ia mampu menjalankan peran-perannya dan menjaga amanah orang tuanya dengan baik, maka tak ada persembahan lebih baik daripada persembahan syurgawi untuk kedua orang tuanya. Bagaimanapun kondisi kedua orang tuanya.

Kekhawatiran berlebihan adalah hal yang lumrah-lumrah saja. Bukankah perempuan memang menaruh intuisi yang justru bisa membuatnya berhati-hati? sehingga kekhawatiran yang menari-nari itu akan menemui satu-persatu jawabannya. Peran sebagai seorang anak dan seorang kakak adalah contoh kecil yang bisa memberikan kita pelajaran, sekali lagi. Ketika peran itu mesti “dibatasi” dengan adanya anjuran menikah bagi seorang perempuan, maka sadarlah bahwa bukan peran itu yang dibatasi. Justru dengan itulah, jalan berbakti itu akan semakin luas. Ada anggota keluarga baru yang menuntut baktimu (ngomong apa saya??). Tentu saja dengan menempatkan aspek kualitas sebagai tolak ukurnya.

Kemudian ketika kekhawatiran itu berlanjut pada skala “mesti tinggal jauh dari orang tua” karena alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll, maka minimalkanlah berkeluh kesah (nunjuk diri sendiri). Orang tua khawatir, itu pasti. Kangen, apalagi. Maka dengan segala nasehat dan pengalaman yang saya dapatkan dari berbagai disiplin llmu, mulai dari ilmu agama, filsafat, geografi, antropologi, psikologi, sampai saya tertarik dengan ilmu semiotika, maka kunci terbesar dari kekhawatiran itu adalah DOA. Tak ada yang meragukan kekuatan doa. Apalagi doa anak-anak yang saleh. Suatu ketika di dalam sebuah kajian, dan saya akan selalu mengingat perkataan itu. Bahwa, selama kita (anak perempuan) mampu menjaga “rambu-rambu” agama yang juga merupakan amanah orang tua, selalu mendoakan mereka, maka dengan tidak sengaja kita telah menanamkan investasi kebaikan untuk diri kita sendiri dan untuk kedua orang tua kita.

Investasi ini bisa kita tuai di dunia dan atau di akhirat. Di dunia, bentuk penuaian investasi ini bisa berbentuk kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah, kesehatan, kelancaran rezeki, keistiqamahan, perlindungan,dll. Maka sangat penting ketika kita melakukan suatu kebaikan, maka sudah seharusnya kita memohonkan keberkahan meliputi seluruh keluarga, terutama orang tua kita. Bukankah doa adalah senjata kaum mukmin? Dan dengan doa pula lah jarak yang membentang bisa runtuh berganti dengan hati yang saling berpaut. Sungguh tak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Semua yang terjadi pada diri kita (masalah, nikmat, ujian) telah dirancang dengan sebaik-baik rancanganNya.

Masa depan tak akan pernah berhenti sebagai misteri, manakala kita tak berusaha melakukan perbaikan di masa kini. Orang tua, harta, pangkat, jabatan, tahta, adalah “kekayaan” yang mesti kita jaga. Menjaganya agar kesemuanya itu tidak mengantarkan kita pada murkaNya. Senantiasa menjadikan Allah sebagai poros dari semua yang kita kerjakan. Bukankah Allah adalah sebaik-baik penolong dan pelindung? Sehingga sudah selayaknya bila kekhawatiran yang tiba-tiba muncul tidak menghalangi kita dari beribadah kepadaNya.

“Dan benarlah, bahwa menulis adalah bagian dari menasehati diri sendiri”.

“alangkah indahnya sebuah gagasan. Dan alangkah bermaknanya jika ada sekelompok manusia yang berjanji setia mewujudkannya”. (Hasan Al Banna)

Berbagi Resah dalam "Indonesia Incorporated"


Zaynur Ridwan melakukan riset selama kurang lebih dua tahun lamanya untuk menuntaskan novel ini. Kenapa novel? Jujur, saya minim pengetahuan tentang dunia kepenulisan. Namun, menurut saya, genre novel ini lebih disebabkan karena nama orang dan korporasi yang ada di dalamnya disamarkan oleh penulis.

Kisah dimulai dengan meninggalnya Eli Van Barend, seorang taipan pertambangan kelas atas, pemilik perusahaan raksasa Empire Mining yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri di tengah tekanan politik pihak asing. Ia melompat terjun bebas dari helikopter pribadinya di pedalaman hutan Kalimantan Timur dengan disaksikan oleh dokter dan asisten pribadinya. Empat orang pewaris tahta (putra “sah” Eli Van Barend) yang dipimpin oleh Jansen Dompis (asisten pribadi Eli), terjerat dalam agenda pihak asing untuk merampok sumber daya alam Indonesia.

Seorang lelaki kemudian menghalangi rencana para pewaris tahta Eli Van Barend. Adalah Romeo (sebelumnya bernama Joseph), putra “tidak sah” Eli Van Barend, yang berhasil mengembangkan perusahaan pertambangannya sendiri bernama Gold Resources. Dengan bantuan seorang Goldfinger, Romeo berhasil menyusupkan intelijen perusahaannya ke perusahaan Empire Mining serta ‘membeli’ orang-orang terbaik dari perusahaan Van Barend tersebut. Dari sanalah Romeo mendapat informasi dan mencium siasat para pemilik saham Empire Mining dengan beberapa penguasa negara. Bahkan sampai pada perjanjian dana kampanye yang berimplikasi besar pada pembuatan kebijakan pada saat mereka terpilih.

Novel ini menceritakan secara gamblang betapa besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia. Nangroe Aceh Darussalam adalah satu di antara wilayah dengan kandungan mineral terbesar di dunia, Riau merupakan satu diantara provinsi terkaya di Indonesia dan Asia Tenggara dengan timah,bauksit, batubara, pasir kuarsa dan  andesit. Bali merupakan satu di antara pulau yang paling terkenal di dunia, pintu gerbang wisatawan. Pulau kahyangan yang memelihara adat dan tradisi selama ratusan tahun dengan eksotika panorama purana-purana ranah bali. Kalimantan Timur memelihara deposit hutan hujan sebagai paru-paru dunia. Kalimantan Timur juga menyimpan minyak, gas alam, batubara, dan potensi kebun sawit. Empat Provinsi di Kalimantan diprediksikan mampu menjadi penghasil CPO terbesar di dunia. Lalu Sulawesi Tenggara, tepatnya Wakatobi, yang di dalam novel ini disebut sebagai fokus Blok Celebes, merupakan “next target” incaran para drakula asing. Papua memiliki potensi pertambangan yang tidak hanya mampu menghidupi rakyat Papua, juga pertumbuhan ekonomi seluruh rakyat Indonesia, tapi kenyataannya?. Tak hanya itu, Papua memiliki sekitar 2,5 milyar ton biji emas dan tembaga, 6,3 juta ton batu bara, ditambah marmer, pasir kuarsa, granit, nikel, dan krom. Jika dipikir, kurang kaya apa lagi negeri kita?

Dalam kisah ini, agenda konspirasi kelompok asing menyusup masuk ke Indonesia. Isu Pemanasan Global (Global Warming) adalah sebuah isu yang didesain dengan rapi dan sangat terencana sebagai salah satu pintu gerbang masuknya tatanan dunia baru yang telah digagas oleh Zionis Internasional. Sebuah rencana yang begitu apik dan indah, namun menyimpan rahasia gelap yang siap menghabisi bangsa kita ini.

Pada dasarnya, poin penting yang ingin disampaikan penulis adalah bahwa Pemanasan global –terjadi atau tidak- tetap merupakan tanggung jawab manusia untuk merawat dan menjaga ekosistem dari tangan-tangan yang ingin merusaknya. Sebab persoalan sesungguhnya bukan pada apakah pemanasan global itu benar-benar terjadi, tetapi isu ini digandeng oleh kepentingan tertentu untuk memuluskan suatu agenda tersembunyi yang digunakan para elit internasional dengan menggunakan tangan-tangan lembaga-lembaga besar baik nasional maupun internasional.

Terakhir, novel ini tidak memberikan penyelesaian. Karena pada kenyataannya memang belum selesai. Sebagiannya masih dalam proses menuju satu titik, dunia baru.
***
“Akan tetapi, bagi mereka yang percaya, Allah adalah sebaik-baik penolong dan pelindung”. Tutur Zaynur Ridwan mengakhiri novelnya.