Beberapa hari yang lalu, saya ditugaskan untuk
mencari salah satu buku karya Munif Chatib oleh seseorang yang tidak ingin disebut
namanya. Kata beliau, buku yang berjudul “Orang Tuanya Manusia” ini akan diberikan kepada salah seorang teman saya
yang akan pindah ke Balikpapan. Sejujurnya, saya kurang semangat mendengarnya. Bagaimana
tidak, dalam beberapa hari ke depan, saya akan menghadapi lagi sebuah hari
perpisahan dengan salah satu “teman pekanan” yang selalu berhasil memberi
inspirasi untuk saya. Sedikit tentangnya, teman saya ini adalah orang Sunda
dengan satu orang anak. Menanggalkan statusnya sebagai karyawan di perusahaan
swasta karena ingin fokus mengasuh anaknya terutama pada masa golden-age nya. Setiap kali bertemu,
kelembutannya dalam bertutur membuat saya geleng-geleng kepala tanda kagum.
Ketika tiba di hari perpisahan, saya
dan beberapa yang lain melakukan agenda tukar kado pribadi yang sebelumnya telah
disepakati bersama. Kado ini di luar pemberian buku karya Munif Chatib tadi. Intinya, tak ada yang tahu siapa yang akan menerima kado saya. Saya pun
tak tahu akan menerima kado siapa. Sistemnya seperti kocok arisan. Sebelumnya,
masing-masing kado telah diberi nomor. Lalu kami mengambil gulungan kertas yang
telah diberi nomor pula. Kado mana yang akan kami dapatkan bergantung pada
nomor gulungan kertas. Dalam hati, saya selalu berdoa agar bingkisan kado dari saya
didapatkan oleh teman saya itu. Allah Maha Baik, doa saya terkabulkan. Dia mendapatkan
kado dari saya. Lucunya lagi, saya pun mendapatkan kado dari dia. Berkah yang
berlipat ganda. Semoga ini pertanda bahwa kami akan selalu saling mengingat,
kelak di manapun kami berada.
Di akhir pertemuan, seseorang yang
tidak ingin disebut namanya tadi meminta kami untuk menuliskan harapan jangka
pendek dan jangka panjang. Salah satu kegiatan yang bisa membuat saya berpikir
keras mengingat kembali daftar harapan yang selalu digaungkan ke langit. Ketika
selesai, semua kertas yang berisikan harapan-harapan tersebut tepat mendarat di
telapak tangan saya. Hanya sebagian yang tertangkap dan terbaca dengan jelas
oleh mata saya. Ada yang ingin mendirikan PAUD, ada yang ingin menunaikan
ibadah haji, ada yang ingin lulus kuliah dan bekerja, ada yang ingin mendirikan
pesantren, ada yang ingin menambah binaan, ada pula yang menuliskan “ingin
mentarbiyahkan suami”. Yang terakhir membuat saya sesak menahan air mata.
Kalian tentu tahu siapa yang menulisnya.
Lalu, kami pun menutup pertemuan hari
ini dengan segala perasaan yang campur aduk. Di sisi lain, kami sedih takkan
bertemu dengan salah satu teman baik untuk jangka waktu yang tidak kami ketahui.
Di sisi lain, kami bahagia bahwa dia akan kembali ke kota yang membuatnya
bahagia. Semoga. Setidaknya besar harapan saya bahwa kami akan bertemu kembali, Entah kapan, entah dimana.
Saya yakin, bahwa ketika kita berani dan
ikhlas menghadapi perpisahan, hidup akan memberi kita penghargaan berupa perjumpaan
yang baru. Insya Allah perjumpaan dalam kondisi yang lebih baik.