Tuesday, April 23, 2013

Bunda Affan



Beberapa hari yang lalu, saya ditugaskan untuk mencari salah satu buku karya Munif Chatib oleh seseorang yang tidak ingin disebut namanya. Kata beliau, buku yang berjudul “Orang Tuanya Manusia”  ini akan diberikan kepada salah seorang teman saya yang akan pindah ke Balikpapan. Sejujurnya, saya kurang semangat mendengarnya. Bagaimana tidak, dalam beberapa hari ke depan, saya akan menghadapi lagi sebuah hari perpisahan dengan salah satu “teman pekanan” yang selalu berhasil memberi inspirasi untuk saya. Sedikit tentangnya, teman saya ini adalah orang Sunda dengan satu orang anak. Menanggalkan statusnya sebagai karyawan di perusahaan swasta karena ingin fokus mengasuh anaknya terutama pada masa golden-age nya. Setiap kali bertemu, kelembutannya dalam bertutur membuat saya geleng-geleng kepala tanda kagum. 

Ketika tiba di hari perpisahan, saya dan beberapa yang lain melakukan agenda tukar kado pribadi yang sebelumnya telah disepakati bersama. Kado ini di luar pemberian buku karya Munif Chatib tadi. Intinya, tak ada yang tahu siapa yang akan menerima kado saya. Saya pun tak tahu akan menerima kado siapa. Sistemnya seperti kocok arisan. Sebelumnya, masing-masing kado telah diberi nomor. Lalu kami mengambil gulungan kertas yang telah diberi nomor pula. Kado mana yang akan kami dapatkan bergantung pada nomor gulungan kertas. Dalam hati, saya selalu berdoa agar bingkisan kado dari saya didapatkan oleh teman saya itu. Allah Maha Baik, doa saya terkabulkan. Dia mendapatkan kado dari saya. Lucunya lagi, saya pun mendapatkan kado dari dia. Berkah yang berlipat ganda. Semoga ini pertanda bahwa kami akan selalu saling mengingat, kelak di manapun kami berada.

Di akhir pertemuan, seseorang yang tidak ingin disebut namanya tadi meminta kami untuk menuliskan harapan jangka pendek dan jangka panjang. Salah satu kegiatan yang bisa membuat saya berpikir keras mengingat kembali daftar harapan yang selalu digaungkan ke langit. Ketika selesai, semua kertas yang berisikan harapan-harapan tersebut tepat mendarat di telapak tangan saya. Hanya sebagian yang tertangkap dan terbaca dengan jelas oleh mata saya. Ada yang ingin mendirikan PAUD, ada yang ingin menunaikan ibadah haji, ada yang ingin lulus kuliah dan bekerja, ada yang ingin mendirikan pesantren, ada yang ingin menambah binaan, ada pula yang menuliskan “ingin mentarbiyahkan suami”. Yang terakhir membuat saya sesak menahan air mata. Kalian tentu tahu siapa yang menulisnya.

Lalu, kami pun menutup pertemuan hari ini dengan segala perasaan yang campur aduk. Di sisi lain, kami sedih takkan bertemu dengan salah satu teman baik untuk jangka waktu yang tidak kami ketahui. Di sisi lain, kami bahagia bahwa dia akan kembali ke kota yang membuatnya bahagia. Semoga. Setidaknya besar harapan saya bahwa kami akan bertemu kembali, Entah kapan, entah dimana.

Saya yakin, bahwa ketika kita berani dan ikhlas menghadapi perpisahan, hidup akan memberi kita penghargaan berupa perjumpaan yang baru. Insya Allah perjumpaan dalam kondisi yang lebih baik. 

Tanah Fin



Berawal dari keprihatinan saya pada adik-adik SMA yang dijadikan objek PHP oleh oknum yang kurang bertanggung jawab. Yang selalu merasa dirinya siap, padahal tidak. Yang mahir mencari-cari alasan untuk sebuah pembenaran, demi sebuah ketenaran. Juga sebab-sebab lainnya yang sudah terlalu sesak memenuhi ruang di kepala. Mungkin tidak ada salahnya jika kita duduk sebentar, melihat sambil mempelajari gambar berikut, lalu membuat perbandingan dengan kondisi kita saat ini. 
 sumber gambar: tumblr.com

Sesungguhnya, kita tak harus seperti Finland dengan sistem pendidikannya yang begitu rupawan. Kita hanya perlu belajar bagaimana memanusiakan manusia dan menjalankan dengan baik kewajiban kita sebagai khalifatul fil ardh.
Cmiiw :)


“saya orang Indonesia, yang bekerja untuk Indonesia, dengan cara Indonesia”
(Ki Hajar Dewantara)


Thursday, April 18, 2013

Di Seberang Meja



Sudah menjadi rutinitas ketika salah satu di antara kami dilanda kekerean yang kronis, maka salah satu di antaranya akan berbelas kasih mentraktir satu yang lainnya untuk makan di sebuah rumah makan. Tidak ada tempat makan khusus yang rutin kami kunjungi. Tempat makan apa yang dituju, bergantung pada keputusan sepihak yang diambil oleh pihak yang mentraktir. Lalu dari rutinitas inilah, saya mendapatkan banyak pelajaran dari tempat ramai dan ribut bernama rumah makan.
 
Pernah tidak, ketika kamu mengunjungi sebuah rumah makan, pandanganmu tertuju pada beberapa orang yang ada di seberang meja. Entah di depanmu, di sampingmu, atau di belakangmu (yang ini dilihat lewat cermin). Pemandangan yang hampir selalu mencuri perhatianmu. Mereka yang sedang duduk di seberang meja, sedang menunggu pesanan makanannya. Mereka, sebuah keluarga yang terdiri dari seorang istri, suami, serta satu atau beberapa orang anaknya. Nah, coba perhatikan tingkah si ibu terhadap suami dan anak-anaknya. Ketika pesanan makanan telah datang, maka si Ibu dengan sigapnya membagi setiap pesanan itu kepada suami dan anak-anaknya. 

Ketika si Ayah anak-anak makan dengan lahapnya, maka kini saatnya si Ibu membagi fokusnya kepada anak-anaknya. Mengambil piring anaknya yang masih kecil, kemudian ia memulai beberapa tahap kegiatan yang selalu berhasil membuat saya tertawa dan kagum. Misalnya, sebelum menyuapkan makanan, terlebih dahulu makanan itu ia tiup dulu sampai dingin, lalu dicobanya sendiri makanan itu sampai si Ibu yakin untuk menyuapkan ke mulut anaknya. Setelah itu barulah makanan berhasil mendarat di mulut si anak. Ketika pesanan makanannya berkuah, si Ibu akan meracik dahulu makanan tersebut dengan beberapa sendok kecap, saya jarang melihat seorang Ibu menyendokkan sambal ke mangkuk anaknya. Setelah itu, dicobanya kembali makanan itu sebelum memberikan kepada anaknya. Sampai tiba saatnya ketika si Ibu bisa melahap makanannya sendiri. Ini pun mesti dibarengi dengan harusnya si Ibu menarik satu per satu lembar tissue di atas meja, lalu membersihkan makanan yang  menempel di pipi anak-anaknya. Seperti itu, sampai semuanya selesai makan. 

Beberapa kali saya mendapatkan pemandangan serupa di rumah makan yang berbeda. Seorang Ibu yang tidak akan menyentuh makanannya sendiri sebelum memastikan anak-anaknya sudah makan dengan baik. Terkadang saya menyeletuk ke adik laki-laki saya, bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang ayah dengan entah berapa orang anak. Maka, ketika ia mengalami peristiwa seperti yang sedang saya saksikan, tidak ada salahnya jika ia membantu istrinya mengurus anak-anaknya pada saat makan. Pengalaman saya, ketika si Ibu sibuk mengurus anak-anaknya, sebagian besar si Ayah malah sibuk dengan makanannya sendiri. Haha #dikeroyok

Jadi kesimpulannya, saya harus segera beranjak ke kasir sebelum bapak-bapak di seberang meja menghampiri saya dan menanyakan apa motif sehingga dari tadi saya memperhatikan mereka. Ah, sungguh banyak hikmah dari orang-orang di sekitar kita. Tak perlu mengenal mereka untuk mendapatkan hikmah tersebut, bukan?. Maka, mari kita makan (lagi) !!