Friday, August 16, 2013

Gangga di Sebuah Hulu



Pernah suatu ketika Gangga bercengkerama sambil meledek si hulu. Bahwa di dunia ini, mestinya segala sesuatu yang diciptakan sepasang, bagaimanapun sulitnya, mereka akan mengalami suatu pertemuan pada akhirnya. Tak peduli apakah pertemuan itu melibatkan penantian atau tidak. Lalu si hulu bertanya, “lalu apa hubungannya dengan aku?”. Gangga menyeringai. Ia melemparkan pandangan pada air yang mengalir di bawah kakinya. Tak begitu deras, namun kedua kakinya terasa ditekan-tekan. 

“Kau lihat air itu, kan?”. Balas Gangga pada si hulu.
“Tentu saja, bagaimana mungkin aku tak melihatnya sedang ia mengawali alirannya karena aku”. Ujar si hulu.

“Kau tahu kemana air itu mengalir?”, tanya Gangga
“Sejujurnya, aku tak mampu mengetahui apa-apa saja yang ia lalui selama ia mengalir. Tapi aku tahu kemana ia akan bermuara”. Jawab si hulu

“Kemana? Dan bagaimana bisa kau mengetahuinya?”. Tanya Gangga lagi
“Sepengetahuanku ia akan bermuara di hilir sana. Jauh, jauh sekali. Aku tahu karena kami adalah sepasang dari milyaran pasangan yang ditakdirkan di dunia. Semua orang tahu itu”. Si Hulu mengulum senyum.

“Huh, kini kau tahu apa maksud dari perkatan awalku, hulu”. Gangga menyeringai lagi.
“Apa itu?”, tanya si hulu.

“Kau dan hilir adalah sepasang dari milyaran pasangan yang ditakdirkan di dunia ini. Sampai sekarang pun kau masih tetap meyakininya. Tapi sadarkah kau, bahwa kalian tidak pernah bertemu. Mungkin suatu ketika kau bertemu dengan hilir lain. Tapi bukan pasangan hilirmu. Lalu bagaimana mungkin kau masih yakin?”, Gangga memasang wajah seriusnya.

“Tak pernah bertemu, itu juga adalah takdir, Gangga. Dan aku tentu tak memiliki kuasa untuk mengubah ketentuan itu. Tapi tahukah kau apa yang membuat kami tetap berpaut satu sama lain?. Air itu. Yah, air yang mengalir itu, Gangga. Suatu ketika pautan itu akan longgar saat kemarau datang. Tapi lagi-lagi hujan menghapus semuanya. Ia meneteskan milyaran air sehingga kami bisa berpaut kembali. Dan semuanya berjalan dengan baik tanpa pertemuan di antara kami. Percayalah, Gangga! Akan selalu ada pertolongan bagi mereka yang pada hakikatnya ditakdirkan sebagai pasangan, pertolongan dari yang menciptakan kami sebagai pasangan. Ia akan menurunkan serdadunya ke alam. Di alam, serdadu-serdadu lantas berkolaborasi mewujudkan ketentuan-ketentuan itu. Ketentuan yang mungkin saja membuatmu terkejut lalu memunculkan rasa tidak percaya”, ujar si hulu.

“Aku bahkan tidak tahu bahwa kau sebijak ini, hulu?”, kata Gangga.
“Sejujurnya, hilir yang mengajariku. Meski ia tidak pernah mengatakan langsung, tapi ia selalu memberiku rasa penerimaan lewat dentuman air yang mengalir. Dan itu, adalah bentuk kesyukuran yang luar biasa bagiku. Lalu bagaimana denganmu, Gangga?”, kata si hulu.

“Sungguh kau amat tahu perihalku, hulu. Tentang takdir kesepasangan itu, belum juga aku mengalaminya, sepertinya serdadu-serdadu langit masih ingin bermain-main denganku”, canda Gangga.
“Ah, kau saja yang tak becus membaca pertanda, Gangga. Kulihat kemarin serdadu-serdadu langit memberi banyak pertanda di alam. Berdoalah, semoga di hari-hari selanjutnya, pertanda itu menunjukkan kesepasangan atasmu. Dan tentu saja, bisa kau baca dengan baik”, si hulu menambahkan.
“Semoga, hulu. Doakan pula aku kawan, agar ketika serdadu-serdadu langit menjalankan perannya, aku tak salah membaca pertanda yang diberikannya”, harap Gangga.
“Tentu saja, adalah doa sebagai senjata. Maka, keluarkanlah senjata terampuhmu, kawan. Aku pun akan demikian untukmu”, kata si hulu lagi.

Matahari menyilau. Pelan-pelan merendah pada alam. Gangga beranjak mengangkat kakinya yang mulai putih pucat dan pamit pada si hulu. Gemericik air menyaksikan perpisahannya keduanya. Di suatu hari yang entah, Gangga berjanji akan menemui kembali si hulu. Ia berharap akan bercerita lebih banyak tentang serdadu-serdadu langit, pertanda, dan tentu saja tentang kemampuannya membaca pertanda dengan baik.

“Serdadu-serdadu langit, sungguh cantik kau menjalankan peranmu. Sampai geleng-geleng aku membaca pertandanya”, ujar Gangga di suatu ketika yang lain.

Tuesday, August 13, 2013

Gingga, Sebuah Teguh yang Menjulang

Pagi-pagi, langit sudah membingkai dirinya dengan selaput merah jambu yang lembut. Gingga memandanginya dengan simpul senyum yang longgar. Tak kaku, seperti kerat roti di samping cangkir kopinya, roti yang telah dioles dengan selai bertabur doa. Bingkai langit membawa ingatannya pada sosok yang masih bertaut dalam imajinya. Sosok yang dulu ada, lalu pergi dan meninggalkan jejak rindu yang dalam. Hingga bila tatapannya bertemu, maka tak ada debar berkepanjangan selain debar di dua katub jantungnya. 

Hari ini sebuah kotak dari kayu mahogany siap diseberangkan ke sebuah negeri yang tak bertuan. Kotak mahogany  yang ia beri aroma pagi dengan sedikit ukiran dari ampas kopi. Dalam diamnya, Gingga berharap bahwa bila pun kotak mahogany tak sampai di seberang, setidaknya masih ada langit yang dapat memantulkan pesannya. Setiap hari. Meski langit terkadang balik mendiaminya dan membiarkannya menyimpul makna seorang diri.

Kalaulah memang kotak mahogany ditakdirkan tak akan pernah bertemu muara di seberang negeri sana, maka sungguh tak boleh ada harapan yang sia-sia. Ia harus tetap tumbuh meski tak selalu disirami dengan air kesejukan. Sebab, barangkali kemarau di negeri seberang lah yang akan membuatnya tegar. 

Tentang tegar, Gingga mengingat-ingat kumpulan rangkai huruf tentang karang dan ombak. Sungguh mereka adalah kawan baik yang mempunyai banyak cerita tentang tegar. Tegar yang hampir luput dalam ingatan Gingga. Kalaulah bukan karena karang dan ombak, orang-orang akan mendapati Gingga sebagai jiwa yang kerdil.
Selepas Gingga, kotak mahogany memulai ceritanya. Mencari negeri, menyusuri tempat demi tempat. Lalu pada suatu ketika, ia menemukan sepasang sepatu lusuh tepat di bawah jendela yang retak. Sepertinya ia telah menemukan sebuah jejak.

Kotak mahogany melempar pandangannya dari balik luar jendela. Di dalamnya, sosok yang bertaut dalam imaji sedang mengepak sebuah benda yang ia ikat dengan tali kuat-kuat. Langit cerah. Kotak mahogany menerima pantulan itu. Perlahan ia secerah langit yang menaunginya. Tak lama lagi, ia akan mengirim kabar pada Gingga. Janjinya utuh. Kabar penemuan kembali sosok yang Gingga rindukan. Perkenalkan, ia adalah teguh yang menjulang.