Monday, December 26, 2011

Capung

Namanya Capung. Dua malam yang lalu, dia terbang-terbang di plafon kamar saya yang putih. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin dia masih anak-anak. Sayapnya juga masih bening. Terlihat sangat rapuh. Waktu itu, saya sedang sesegukan. Si Capung terus mengganggu saya dengan tarian-tariannya yang aneh. Ah, tapi kupikir dia hanya sedang bermain-main.

Lama-lama, dia menghilang. Kucari di semua sisi kamar,tapi tak ada. Otak kananku bilang, dia itu capung jelmaan. Dia mengejekmu yang saban begini masih suka menangis.

Kemarin malam, hampir di jam yang sama, dia muncul lagi. Masih dengan tarian-tariannya yang aneh. Saya mulai senang dengan kehadirannya.. Kali ini gerakannya cantik. Seperti anak-anak yang sedang main perosotan di udara. Waktu itu, saya sedang semangat-semangatnya mengetik beberapa naskah buku yang rencananya akan saya kirim ke salah satu penerbit indie. Otak kananku bilang, dia itu capung jelmaan. Dia senang melihatmu bekerja keras.

Lalu hari ini, tepatnya sore tadi, di tengah hujan, ketika saya pulang dengan kondisi basah kuyup, setelah sepatu baruku tenggelam di lumpur, setelah si pooh yang putih itu berubah jadi coklat, pelan-pelan saya masuk rumah. Berjinjit seperti penari balet, membuka pintu kamar & melempar tas. Tahukah kalian apa yang terjadi? Tiba-tiba saya menemukan sebuah bangkai kecil tepat di atas sajadahku yang terlipat. Dia si Capung. Dia mati. Mengapa bisa? Tidak mungkin dia kehabisan oksigen. Jendela kamarku masih terbuka. Ah, sedih. Sedih sekali. Sangat sedih. Dan otak kananku tiba-tiba jadi bisu. Pelan-pelan pergi tanpa meninggalkan penjelasan apa-apa atas kejadian ini.

Thursday, December 22, 2011

Sang Penemu

Banyak hal yang membawa kita kembali lagi mengingat masa lalu. Menggali kembali yang sudah lama terkubur sambil berharap-harap menemukan satu dua titik cahaya yang ikut terkubur di sana. Yang mungkin dengan atau tanpa kita sadari telah memberikan efek positif terhadap sekarang-nya kita. Lama menggali, akhirnya saya tiba pada setitik cahaya pada masa lalu. Di dalamnya, saya melihat sesosok anak gadis enam belas tahun, tidak terlalu jelek, menangis tidak jelas menuju rumahnya. Penampilan sangat biasa, rambut dikuncir, poni ke samping, memakai kaos oblong, jeans belel, dan tas kulit yang tidak terlalu mahal. Hari itu, semenjak dua kali ia mengikuti suatu kajian pekanan di masjid sekolahnya, ia mulai merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Ia merasa lain dari orang-orang yang hadir di sana, sangat lain. Ia menyadari ada sesuatu yang salah dan mesti diubah dari dirinya. Penampilannya.

Untuk seumurannya, ia mengakui bahwa ia sangat sangat terlambat dalam hal menutup aurat. Ketika gadis-gadis lain sudah menutup auratnya sebelum atau di awal masa baligh, bahkan ia harus menunggu sampai beberapa tahun untuk itu. Ketika gadis-gadis lain sudah sering menghadiri kajian islam di awal masa balighnya, ia bahkan harus menunggu kata ‘ya’ sampai umurnya enam belas tahun. Tidak pernah ada pelarangan, tidak pernah ada ancaman. Hanya saja, ia baru merasakan sensasi perubahan yang entah berasal darimana pada sore itu.

Kalian tahu hidayah kan? ia datang pada orang dan waktu yang Ia kehendaki. Caranya pun berbeda-beda. Sangat variatif. Maha Besar Ia yang merancangnya. Seseorang yang berlumur dosa bisa saja berubah sangat signifikan menjadi sangat baik dalam sekejap. Lagi-lagi itu karena hidayah dan anak gadis ini merasakannya. Sore itu, ia mengadu ke ibunya dan bertekad untuk mengenakan jilbab dan tidak akan menanggalkannya kepada mereka yang bukan mahramnya. Jujur, ia sering merasa tidak mengerti ketika sebagian gadis seumurannya yang berjilbab, namun di waktu yang lain malah menanggalkan jilbab itu di depan mereka yang bukan mahramnya. Lucu saja menurutnya.

Selama proses ini, ia banyak dibantu oleh ibunya. Mulai dari memesankan baju seragam baru sampai membelikannya pernak-pernik jilbab seadanya. Ia sangat senang. Walaupun pada awal ia memakai jilbab ke sekolah, ia harus memakai seragam yang super kelonggaran gara-gara seragam sekolahnya yang baru belum selesai. Dan ini pun berkat ibunya yang mesti berkeliling dari rumah ke rumah mencarikannya seragam & jilbab orang lain yang tidak terpakai lagi. :D *huaa senyum-senyum sendiri. Selain itu, tidak ada yang paling menyibukkan dirinya setiap pagi selain memperbaiki jilbab yang telah ditusuk peniti di sana sini. Memastikan,bahwa peniti itu telah terpasang dengan baik dan ia masih dalam kondisi berjilbab ketika sampai di sekolah. Begitulah, sampai ia benar-benar terbiasa dengan penampilannya.

Sejujurnya, ia sangat berterima kasih kepada dua temannya yang telah mengajaknya mengikuti kajian pekanan di masjid sekolahnya itu. Terima kasih sebesar kubah masjid & setinggi menara masjid *tempat rapeling-nya dulu. Juga kepada seseorang yang pertama kali mengatakan bahwa ia cantik mengenakan jilbab. Sang penemu jilbab pertamanya. Dan kepada Allah atas hidayah-Nya. Tak berhenti sampai di situ, ia masih terus berharap keistiqomahan sampai kelak pohon semesta menggugurkannya .[]

Akhirnya, cahaya itu perlahan membawa saya kembali lagi ke detik ini. Memerintah dan menggoda saya untuk turut pula berterima kasih kepada sang penemu, yang darinya jugalah saya belajar tentang cinta tanpa batas & pengorbanan tanpa balas.

Karena yang kutahu syurga itu,

adalah ketika dia menasehati dan kami menyimaknya

adalah ketika dia marah dan kami menunduk bersalah

adalah ketika dia tertawa dan kami berbisik keriangan

adalah ketika dia menangis dan kami saling menyalahkan (diri)

Semoga saja demikian adanya. Dan selamat hari ibu, sang penemu ! Cinta kami, selalu.

Tuesday, December 20, 2011

Tidak Penting

Selalu suka dengan acting-nya.. I'll see you on the day after tomorrow ! Insya Allah.

Friday, December 9, 2011

Aster Merah Jambu

*Untuk seorang sahabat yang menyebut dirinya “silent reader”.

Kukatakan, kita memang tak bisa seperti dulu lagi. Selalu berbalas kata intensif selama tiga kali matahari berevolusi. Setiap hari bersama-sama mengumpulkan senyum pada dinding kuning gading yang menjanjikan kebaikan kemudian berburu tempat sandaran paling depan, tepat di depan mereka yang mengabdi demi sebuah perubahan.

Kukatakan, mungkin saat ini pijakan kita tak sama. Tapi yakinlah, kita masih membawa hati yang sama yang membuat kita masih saling terpaut. Meski kita saling jauh.

Kamu yang kutahu kuat, kamu yang kutahu sebagai pekerja keras, semoga mampu bertahan dalam desakan dinding kuning gading yang semakin riuh dengan nyanyian apatisnya. Jangan pernah lupa mengabariku untuk setiap momen penting yang terjadi dalam hidupmu. Pun kelak, ketika toga itu telah terpasang di atas kerudungmu.

Tenang, aku akan menunggumu. Di tempat yang lebih luas dengan kebaikan yang lebih banyak jumlahnya. Semoga dan semoga suatu saat nanti, entah kapan, kita masih sempat duduk berdampingan. Masih dengan sarapan yang sama. Morbiditas, mortalitas, frekuensi, distribusi, determinan, data, penyakit, analisis, statistik kesukaanmu yang bikin perut mules, dan mereka yang tak mampu kusebut satu per satu. Bagaimanapun, mereka yang mempertemukan kita. Mereka yang menyatukan kita, dan mereka yang membuat kita saling mengakrabi. Meski terkadang kita tak selalu menyadari.

Ingat, kita sudah terlanjur bermimpi. Maka jangan sampai kita terbenam karena telah menzhalimi mimpi-mimpi kita. Mari berpacu dengan waktu. Karena ia tak selalu bergerak linear. Terkadang acak, siklus, atau melakukan loncatan-loncatan. Dan kita pun harus seperti itu, tanpa lupa untuk selalu menempatkan doa & ikhtiar pada porosnya.

komik muslimah

Kamu, yang pasti sedang membaca tulisan ini. Aku berharap setiap hurufnya bisa mewakili terima kasihku. Untukmu, yang selalu ada. Meski aku tak selalu tahu.

Semoga tetap menjadi ‘silent reader’ untuk si hijau seperti katamu. Dan kebaikan selalu mengikutimu ketika kamu meninggalkannya.

Jika tidak berlebihan, maka anggap saja ini adalah setangkai aster merah jambu yang baru saja kupetik diam-diam di taman desember. Khusus untuk ‘dua bebek’ mu. Semoga mereka berkenan menjadi bebek-bebek yang manis di mata dunia.

Jangan lupa kembali lagi. Menjengukku. Terlebih ketika sebagian hal yang substansial kadang tak bisa lagi diajak bersepakat.