Tuesday, October 20, 2015

Simpul Cinta dalam Cangkir Kopi Ayah

Ternyata, sudah cukup lama kita tak berbincang dan bercakap ringan tentang masa depan. Aku bahkan hampir tak pernah menggerakkan jemariku untuk mencari namamu dalam buku kontak teleponku. Mengirimkan beberapa bait ucapan terima kasih, ungkapan sayang, atau menanyakan perihal kabarmu. Aku juga lupa kapan persisnya aku memelukmu, menatap wajahmu, dan mencium tanganmu. Mungkin saja beberapa bulan yang lalu, setelah keberangkatan terakhirku ke tanah para penuntut ilmu.

Sekarang Ayah, di atas tanah para penuntut ilmu ini, aku tak pernah bosan mengirimkan do’a untukmu. Setiap kali ilmu agama itu kucicipi, setiap kali itu pula aku mendo’akan kebaikan atasmu. Kau tahu, Ayah? yang paling membuatku iri kepada teman-temanku bukanlah persoalan mereka memiliki kecerdasan dan nilai akademik yang tinggi. Bukan pula pada banyaknya harta dan fasilitas duniawi yang mereka miliki. Ada sesuatu yang lebih menggetarkan hatiku setiap kali mendengarkan mereka menceritakan sosok ayah-ayah mereka. Dan getaran itu selalu hadir setiap kali mereka menceritakan tentang melimpahruahnya ilmu agama yang mereka dapat dari ayahnya. Sedang aku, tidak demikian adanya. Ketika teman-temanku sudah memiliki perbekalan ilmu agama yang banyak, aku bahkan harus meniti jalan sendiri. Memulai semuanya untuk menjadi lebih baik.

Aku pernah mendengar bahwa ketika seorang anak melakukan kebaikan, maka berkah yang meliputinya akan sampai kepada kedua orang tuanya. Berkah itu bisa saja berupa perlindungan, kesehatan, dan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Sungguh inilah salah satu tujuanku untuk tetap kuat dalam jalan para penuntut ilmu ini. Sebab aku sadar, Ayah. Bahwa mulut yang aku miliki tak pernah mampu untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin saja bisa menyakitimu. Aku lebih baik diam saja sembari terus mendo’akanmu. Dan inilah kelemahanku. Sungguh inilah kelemahanku yang belum bisa aku perbaiki.

Seringkali aku tertawa melihat tingkahku yang perlahan kusadari aku dapatkan darimu, Ayah. Kau ingat ketika aku masih kecil dulu, aku hampir tak pernah alpa mengaduk secangkir kopi untukmu di pagi hari. Jika ayah-ayah yang lain dibuatkan kopi oleh istrinya, maka kau lebih memilih dibuatkan kopi oleh anak perempuanmu. Secangkir kopi yang berisi harapan agar ada senyuman di wajahmu setelah kau menyeruputnya dan beberapa saat kemudian ada dua jempol untukku pertanda kopi itu amat terasa nikmat bagimu. Lalu, kau berangkat kerja dan pulang tatkala sore tiba. Sampai sekarang teman-temanku sering meledekku sambil bercanda, “perempuan kok suka sekali minum kopi?”. Aku hanya tersenyum. Sebab, setiap kali pertanyaan itu muncul, aku selalu teringat dirimu, Ayah. Pikirku, mungkin ini semacam simpul tak kasat mata yang menghubungkan kita. Cinta kita, lebih tepatnya.

Seiring berjalannya waktu, seiring pertambahan umurku dan tentu saja umurmu, aku semakin menyadari bahwa kebaikanmu, perjuanganmu, dan cintamu serupa fenomena gunung es. Hanya puncaknya saja yang terlihat. Sungguh ada yang jauh lebih besar di sebaliknya. Mungkin, didikan tentang ilmu agama memang sangat minim aku dapatkan darimu. Tapi tentang kekuatan, ketegaran, juga tentang kebesaran empati, merekalah hadiah terbesar yang aku dapatkan darimu. Merekalah penyanggaku hingga detik ini. Hingga mereka pulalah yang membuatku untuk terus mendo’akan kebaikan atasmu. Sebab aku yakin bahwa hanya Allah lah yang Maha membolak-balikkan hati. Ayah, sungguh aku sangat mencintaimu, menyayangimu dengan segala ketidaksempurnaanmu.

Ayah, kau tahu? Tak lama lagi kita akan kedatangan seseorang, hadiah terindah dari Yang Maha Indah. Cucu perempuanmu. Insya Allah :’)