Ternyata, sudah cukup lama kita tak berbincang dan
bercakap ringan tentang masa depan. Aku bahkan hampir tak pernah menggerakkan
jemariku untuk mencari namamu dalam buku kontak teleponku. Mengirimkan beberapa
bait ucapan terima kasih, ungkapan sayang, atau menanyakan perihal kabarmu. Aku
juga lupa kapan persisnya aku memelukmu, menatap wajahmu, dan mencium tanganmu.
Mungkin saja beberapa bulan yang lalu, setelah keberangkatan terakhirku ke tanah
para penuntut ilmu.
Sekarang Ayah, di atas tanah para penuntut ilmu
ini, aku tak pernah bosan mengirimkan do’a untukmu. Setiap kali ilmu agama itu kucicipi,
setiap kali itu pula aku mendo’akan kebaikan atasmu. Kau tahu, Ayah? yang
paling membuatku iri kepada teman-temanku bukanlah persoalan mereka memiliki kecerdasan
dan nilai akademik yang tinggi. Bukan pula pada banyaknya harta dan fasilitas
duniawi yang mereka miliki. Ada sesuatu yang lebih menggetarkan hatiku setiap
kali mendengarkan mereka menceritakan sosok ayah-ayah mereka. Dan getaran itu
selalu hadir setiap kali mereka menceritakan tentang melimpahruahnya ilmu agama
yang mereka dapat dari ayahnya. Sedang aku, tidak demikian adanya. Ketika
teman-temanku sudah memiliki perbekalan ilmu agama yang banyak, aku bahkan
harus meniti jalan sendiri. Memulai semuanya untuk menjadi lebih baik.
Aku pernah mendengar bahwa ketika seorang anak
melakukan kebaikan, maka berkah yang meliputinya akan sampai kepada kedua orang
tuanya. Berkah itu bisa saja berupa perlindungan, kesehatan, dan kebaikan untuk
kedua orang tuanya. Sungguh inilah salah satu tujuanku untuk tetap kuat dalam
jalan para penuntut ilmu ini. Sebab aku sadar, Ayah. Bahwa mulut yang aku
miliki tak pernah mampu untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin saja bisa
menyakitimu. Aku lebih baik diam saja sembari terus mendo’akanmu. Dan inilah
kelemahanku. Sungguh inilah kelemahanku yang belum bisa aku perbaiki.
Seringkali aku tertawa melihat tingkahku yang
perlahan kusadari aku dapatkan darimu, Ayah. Kau ingat ketika aku masih kecil
dulu, aku hampir tak pernah alpa mengaduk secangkir kopi untukmu di pagi hari.
Jika ayah-ayah yang lain dibuatkan kopi oleh istrinya, maka kau lebih memilih
dibuatkan kopi oleh anak perempuanmu. Secangkir kopi yang berisi harapan agar
ada senyuman di wajahmu setelah kau menyeruputnya dan beberapa saat kemudian
ada dua jempol untukku pertanda kopi itu amat terasa nikmat bagimu. Lalu, kau
berangkat kerja dan pulang tatkala sore tiba. Sampai sekarang teman-temanku
sering meledekku sambil bercanda, “perempuan
kok suka sekali minum kopi?”. Aku hanya tersenyum. Sebab, setiap kali
pertanyaan itu muncul, aku selalu teringat dirimu, Ayah. Pikirku, mungkin ini
semacam simpul tak kasat mata yang menghubungkan kita. Cinta kita, lebih
tepatnya.
Seiring berjalannya waktu, seiring pertambahan
umurku dan tentu saja umurmu, aku semakin menyadari bahwa kebaikanmu,
perjuanganmu, dan cintamu serupa fenomena gunung es. Hanya puncaknya saja yang
terlihat. Sungguh ada yang jauh lebih besar di sebaliknya. Mungkin, didikan
tentang ilmu agama memang sangat minim aku dapatkan darimu. Tapi tentang
kekuatan, ketegaran, juga tentang kebesaran empati, merekalah hadiah terbesar
yang aku dapatkan darimu. Merekalah penyanggaku hingga detik ini. Hingga mereka
pulalah yang membuatku untuk terus mendo’akan kebaikan atasmu. Sebab aku yakin
bahwa hanya Allah lah yang Maha membolak-balikkan hati. Ayah, sungguh aku
sangat mencintaimu, menyayangimu dengan segala ketidaksempurnaanmu.
Ayah, kau tahu? Tak lama lagi kita akan kedatangan seseorang, hadiah terindah dari Yang Maha Indah. Cucu perempuanmu. Insya Allah
:’)