Tuesday, April 17, 2012

Ek dan Mahogany di Sebuah Pagi

Ketika kehidupan diibaratkan pada sebuah gondola yang dikayuh di Venesia sana, maka saya menyebut pagi sebagai komponen utuh antara Ek dan Mahogany, sedang yang lainnya, bisa kalian sebut sebagai siang, malam, atau senja. Mereka adalah perpaduan klasik yang masih menyebabkan daya tarik yang luar biasa bagi Venesia sampai detik ini.

Kehidupan, laiknya gondola, berawal dari sesuatu yang luar biasa. Bagi sebagian besar penghuni bumi, pagi adalah pemulaiannya. Ketika udara yang menyelimuti bumi masih sangat suci untuk dikotori dan keluhan dipandang ‘pamali’ untuk diutarakan. Masih Pagi, katanya.

Sadar atau tidak, Pagi memang selalu hadir dengan sensasi luar biasa. Aroma kopi yang menenangkan, kepul-kepul asap yang mulai menari di sudut dapur, pakaian yang mulai disetrika satu persatu, atau kran-kran air yang mulai dinyalakan untuk mengisi bak mandi di toilet. Entah kenapa, saya selalu suka dengan pertunjukan itu. Apalagi di sudut ruangan yang lain, masih ada yang berjuang melawan rasa kantuk setelah semalam hanya tidur dua jam. Kali ini ada yang sengaja dilemburkan, tidak insomnia seperti beberapa malammalam sebelumnya.

Maka, sangat tak wajar ketika ada yang dengan tega ‘mengutuk’ kedatangan pagi. Bahwa pagi terkesan terlalu narsis bin terburu-buru menampakkan wujudnya. Untuk kali ini, saya setuju dengan ungkapan ‘pamali’ itu.

Satu hal yang pasti bahwa, pagi dengan segala warna yang terlukis padanya, akan selalu menjadi awal tumbuhnya tunas-tunas harapan di bumi manusia. Bagi mereka yang menimba ilmu, mereka yang ‘tertuntut’ mencari rupiah, dan mereka yang selalu langgeng dengan kebiasaan mencintai pagi itu sendiri.

Seperti saya.

Kamu?

Ah, by the way.. Kapan ya saya bisa naik gondola di Venesia sana?

Mungkin pagi ini bisa menjawabnya.

Monday, April 9, 2012

Beda Tipis

Cinta itu rabun. Benci itu buta.

(Goenawan Muhammad)

*Yaa, beda tipislah.

Tuesday, April 3, 2012

Serupa Bulan Perbani

Perahu keimanan terus berlayar menembus kegelapan laut jahiliyah. Ombak-ombak saling berdeburan, aliran airnya sangat mendebarkan, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memegang kemudinya dengan penuh kebijaksanaan, kesabaran, dan tawakkal kepada Allah.

Manakala beliau merasakan keletihan pada kedua tangannya atau menghadapi terjangan angin yang menghadang tiba-tiba, beliau lantas melihat ke langit, lalu kembali mengarahkan pandangannya kepada teman hidup dan pendamping setianya, Khadijah radhiyallahu ‘anha sehingga beliau dapat melihat senyum yang penuh kasih dan mendengar perkataan yang memantapkan hatinya. Dengan demikian, semangat beliau kembali meningkat untuk melaksanakan perintahNya kembali.

Khadijah, adalah serupa bulan perbani. Pendar cahayanya senantiasa menerangi perahu yang dikemudikan Rasulullah dari kegelapan laut jahiliyah.

Semakin lama, cahaya itu semakin penuh. Terangnya semakin terpancar. Menerangi tanpa letih, untuk sang terkasih. Hingga ruhnya kembali kepada Ilahi.