Tuesday, August 19, 2014

Bukan Kata Pengantar



Saya, mungkin juga anda, masing-masing memiliki panutan dalam dunia kepenulisan dan perfilman. Saya selalu berharap agar kelak saya mampu menulis sebuah buku seberhikmah Ustadz Salim A.Fillah. Yang kata-katanya mampu menyadarkan raga yang jumawa, yang nasehatnya mampu menghadirkan oase di tengah keringnya iman.

Di tahun 2010, saya langsung jatuh cinta pada karya-karya bang Tere Liye setelah membaca novel “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin”. Spontan saya kegirangan begitu tahu bahwa aktor idola saya, Reza Rahadian berperan sebagai abi Delisa dalam film yang diadaptasi dari novel Tere Liye yang berjudul Hafalan Shalat Delisa di akhir tahun 2011. Hal ini membuat saya sungguh kecewa tatkala mengetahui bahwa di tahun berikutnya, Reza Rahadian “batal” memerangi sosok Dalimunte di film Bidadari-Bidadari Syurga, adaptasi dari novel Tere Liye dengan judul yang sama. Tapi, rasa kecewa itu langsung terobati begitu mengetahui bahwa Reza Rahadian akan memerangi sosok BJ.Habibie di film biografi Habibie Ainun dan uda Aziz di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di tahun berikutnya lagi. Anehnya, saya tidak ngebet menonton film Reza Rahadian semisal Test Pack. Mungkin sahabat saya benar, bahwa artinya saya tidak fanatik amat dengan Reza Rahadian. Alhamdulillah, artinya saya masih berada dalam “koridor” yang benar :D

Satu hal yang agak ganjil, bahwa di dunia kepenulisan misalnya, saya tidak begitu menyukai karya-karya penulis yang sudah memiliki banyak penggemar. Tere Liye misalnya, begitu karya-karyanya melejit seperti sekarang, saya jadi malas membaca lagi novelnya. Novel terakhir yang saya baca (sebagian) adalah sekuel Negeri Para Bedebah, tahun lalu. Karya-karya selanjutnya, belum pernah lagi saya baca. Bukan karena kualitas novelnya menurun, ya. Hanya saja saya –sepertinya- berganti minat pada tema-tema buku bacaan yang beredar. Mungkin saja saya sudah berubah (?)

Tahun ini, saya sedang gemar-gemarnya membaca dan mengoleksi buku-buku tentang perjalanan. Setidaknya dari buku bertema perjalanan, saya juga bisa mendapat informasi tentang sejarah dan pergerakan di masa lampau. Meski sebenarnya saya akui, mengapa bukan dari dulu saya mempelajarinya. Hal ini mungkin juga menjadi alasan mengapa saya memilih tugas akhir yang berdesain “penelusuran di masa lampau”, atau bahasa kerennya Cohort Retrospective. Menelusuri jejak atau riwayat orang di masa lampau –paling tidak- membuat saya semakin sadar bahwa gaya hidup di masa lampau sangat mempengaruhi masa sekarang. Ini menjadi pengingat bagi saya yang belum bisa mengurangi intake caffeine ke dalam tubuh. Hehe

Tugas akhir ini juga memberikan saya harapan baru, bahwa kelak semoga saya mampu menulis sebuah buku bertajuk epidemiologi seperti kesederhanaan bapak Sopiyudin Dahlan meramu kata-kata perumpamaan dalam beberapa buku statistiknya sehingga saya yang kadang telat mikir ini mampu menyelesaikan analisis tugas akhir dengan baik (terharu…!). Semoga ke depannya saya bisa bertatapan langsung dengan beliau, setelah beberapa bulan yang lalu saya tidak sempat menghadiri pelatihannya. 

Akhirnya, bulan kemerdekaan ini turut pula memberikan kado kemerdekaan kepada saya dan teman-teman. Kado ini saya terima sembari memanjatkan do’a penuh harap agar tugas akhir saya bermanfaat sebaik-baiknya. Do’a yang sama sebagaimana Ustadz Salim A.Fillah mengakhiri karya emasnya “Lapis-Lapis Keberkahan”.

“Ya Allah, jadikan tiap huruf yang mengalir dari jemari ini butir dzarrah kemuliaan, yang berantai-rantai mengalirkan pahala kebajikan. Ya Allah, jadikan tiap kata yang berbaris mesra di kalimatku ini tali temali keberkahan, yang menghubungkanku dengan ridha-Mu di tiap helaan”.
Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin...


Bagian yang paling mengharukan dalam sebuah tugas akhir adalah penulisan kata pengantar. Sebab berkat adanya kata pengantar, kata-kata yang tak mampu terucap langsung bisa tertuang, berjejer rapi di sana.

Monday, August 18, 2014

Kepada Bayang Gingga



Adalah Veer yang  telah bersepakat dengan dirinya bahwa ia tak akan segan mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan orang lain. Suatu ketika, dalam sebuah misi penyelamatan, Veer berhasil menyelamatkan  seorang gadis asing yang membuatnya jatuh hati. Sejak itu, hidup Veer tidak pernah lagi sama. Namun, hidup belum sepenuhnya berpihak pada Veer. Sebelum ia sempat mengatakan isi hatinya, sang gadis asing harus kembali ke tempat asalnya.  Keduanya terpisah. Cukup lama. Hingga Veer tak sadar bahwa usianya telah berpacu, bertambah hendak menandingi rasa cintanya yang tersimpan dalam-dalam. Ia rahasiakan pada orang-orang yang lalu lalang. Anggap saja, ini adalah bagian dari misi penyelamatan, katanya.

Pada masa rambut nyaris memutih, Veer terbang dengan sayap-sayap besi yang kokoh. Mencari sebuah tempat yang menjadi target terakhir misi penyelamatannya. Setelah terbang, ia berlayar. Mengarungi garang bahari yang luas. Lalu, sampailah ia di suatu tempat yang jauh. Di sana, Veer menjalankan misi terakhirnya. Beratap langit asa-asa dan menikmati setiap jengkal tapaknya.
***
Kau tahu, Gingga? Kabarnya Veer menghabiskan separuh hidupnya di tempat yang jauh itu hingga akhir hayatnya. Setelah berkali-kali ia melakukan misi penyelamatan untuk orang lain, ternyata di usia senjanya ia melakukan misi penyelamatan untuk dirinya sendiri. Kau masih ingat dengan gadis asing itu? Ya, dialah visi atas misi terakhir Veer yang senja. Dia berhasil. Mengikrarkan,menemukan, mengatakan, lalu melaksanakan.

Gingga, dulu kita pernah bercerita tentang kesempatan kedua. Veer, seberapa lamapun perjuangannya, adalah orang yang beruntung atas kesempatan kedua itu. Sayangnya, kita tak dibekali pengetahuan pasti tentang kepemilikan kesempatan kedua. Dan buruknya lagi, sebagian manusia memang tidak ditakdirkan atas kesempatan kedua itu.
Maka Gingga, pandai-pandailah memanfaatkan waktu di kesempatan pertamamu. Mana tahu, yang pertama itu justru adalah yang terakhir di buku takdirmu.