Thursday, September 12, 2019

Mencintai (buku) Anak-Anak

Sejak anak pertama menginjak usia 1 tahun, mata saya mulai berbinar ketika melewati rak buku yang memajang buku cerita anak-anak. Hanya saja, seingat saya, cuma 3 buku anak-anak yang berhasil terbeli di toko buku offline. Sisanya?, ternyata akun-akun yang menjual buku anak-anak secara online jauh lebih menggoda batin saya. Haha. Selain tawaran harga yang lebih ramah di kantong, variasi judul dengan ilustrasi yang menarik juga menjadi pertimbangan. Bahkan, buku anak-anak lawas yang fisiknya sudah penuh defect sana sini masih menjadi rebutan. Berbicara tentang buku anak-anak lawas, yang artinya adalah buku-buku yang sebagian pernah saya lihat ketika kecil, mengundang memori tersendiri. Betapa dulu saya suka sekali berlibur ke Makassar hanya karena sepupu saya yang seumuran mengoleksi banyak buku-buku cerita. Selain buku cerita, ia juga berlangganan majalah bobo. Fakta yang membuat saya agak malas pulang ke rumah jika liburan ke Makassar.

Jika sebelum menikah saya cukup sering membeli novel, maka setelah memiliki anak, bahkan tidak ada satupun novel yang saya beli lagi. Kecenderungan literasi perlahan bergeser. Saya begitu menikmati membaca sendiri buku anak-anak yang baru saja saya beli. Ini saya sambil skrining ya sebelum dibacakan ke anak-anak. Hehe. Membaca dan membacakan buku anak-anak menjadi salah satu aktivitas yang menyenangkan. Membaca buku anak-anak seperti sedang "membaca" anak-anak itu sendiri. Lincahnya, serunya, cintanya, dan keakuannya.

Ada banyak cara bonding time bersama anak. Tapi aktivitas read aloud book insyaAllah akan lebih membekas. Banyak value yang bisa diperoleh dan diberikan kepada anak-anak. Orang tua membaca, anak-anak memperhatikan. Kadang juga bertanya lalu mengoreksi. Dalam prosesnya, orang tua bisa memberi nasehat, hikmah, adab lewat nilai-nilai kehidupan yang ada di dalam cerita. Anak-anakpun bisa belajar kosakata, bahasa, dll. Intinya, read aloud memberi banyak manfaat bagi orang tua dan anak-anaknya. Bagi saya, yang terpenting adalah bonding time itu sendiri. Sedangkan yang banyak itu adalah bonus-bonusnya :)

Maka tak heran jika toko pakaian, aksesoris, dan skincare hanya sampai pada manfaatnya "mencuci mata" saja. Lain halnya jika toko buku itu meng-upload dagangannya. Apa daya jempol ini seringnya tak kuasa untuk menahan godaan "nge-fix". Alhamdulillah 'alaa kulli haal. Mudah-mudahan betul menjadi investasi. Bukan sekedar dibeli, disimpan, lalu menjadi timbunan yang tak berarti.

Wednesday, March 20, 2019

Kenapa ada bulan?

Suatu sore saya mengajak Ghaida berjalan kaki keluar komplek untuk membeli makanan ringan. Sesampainya di rumah, ia melepas kerudungnya dan berlari kembali ke depan pintu yang masih terbuka. "Ummi, kenapa ada bulan?" Tanyanya sambil menunjuk langit yang masih biru cerah. Saya kemudian menyusulnya ke depan pintu. Memandang langit kemudian kembali menatap Ghaida. Tentu saja yang ditunjuknya adalah bulan. Bulan separuh yang menggelantung di langit sore yang masih biru. Apa yang ia saksikan sedikit membantah informasi yang selama ini ia dapatkan bahwa bulan adanya di malam hari. Faktanya, di sore haripun, ia bisa melihat bulan :)

Saya lupa bahwa media pembelajaran terbaik bagi anak-anak adalah alam itu sendiri. Mereka melihat, mengamati, dan merekam. Kita bisa membuat miniatur alam, tapi tidak sesempurna apa yang Allah suguhkan di depan mata kita.
Kita tahu daun berwarna hijau, lantas suatu hari mengoreksi anak ketika ia mewarnai daun dengan warna coklat, merah, atau kuning. Padahal bisa saja mereka merekam warna-warna itu dari buku cerita yang setiap hari mereka baca.

Anak-anak bergerak memenuhi fitrah mereka, "menemui" penciptanya. Setiap hari. Ada atau tanpa intervensi kita. Kita bisa merancang metode belajar terbaik, tapi metode Allah sungguh sebaik-baik rancangan. Sebab metode-Nya meluruskan lagi menyempurnakan.
.
.
Saya memandang Ghaida kala itu, tersenyum dan berlalu tanpa memberi jawaban. Ada rasa haru juga rasa bersalah. Betapa kami masih harus banyak belajar dan menahan ego untuk anak yang telah Allah titipkan ini.

Friday, March 8, 2019

Konjungsi

Semalam Saturnus berkonjungsi. Salah satu fenomena astronomi yang seharusnya bisa dilihat tanpa bantuan alat. Tapi sayang sekali, hanya gelap yang memantul dari dinding langit. Serdadu hujan berlatih baris berbaris awet sekali. Membuat kami seharian hanya di rumah. Menemani anak-anak menikmati hujan dan hari libur. Nonton, makan, main bola, baca buku dengan si kakak, dan videocall-an dengan mama mertua. Alhamdulillah, tahun ini kami memasuki tahun kelima pernikahan. Rasanya baru saja saya menerima email yang berisi biodata lengkap dengan visi misi pernikahannya. Sekarang, orangnya bisa membuat saya jengkel, tertawa, marah dan sayang dalam satu waktu.

Tak ingin muluk-muluk. Hanya ingin menjadi istri dan ibu yang bahagia, kuat, dan selalu bersyukur. Yang dengan segala kebaikan dan kepatuhannya, membuat Allah ridha kepadanya.
Kami, meski bukan pasangan yang mahir bersikap romantis, semoga senantiasa bisa merawat cinta dan sayang di antara kami.

Tempat tinggal kami, dengan bau seduh kopi setiap hari. Semoga menjadi penghilang penat dan dahaga di setiap kepulangan.
Tempat tinggal kami, yang selalu berantakan dengan buku, mainan, dan remah makanan. Semoga selalu ramai dengan tawa ceria dan do'a anak-anak.
.
.

Semalam Saturnus berkonjungsi. Dan konjungsi mengajarkan kita bahwa di dunia ini, tidak ada yang benar-benar (mampu) sendiri untuk menjadi BERARTI.

Friday, February 8, 2019

Satu Dekade

Tepat sepuluh tahun yang lalu, saya begitu terobsesi membuat sebuah blog sederhana. Mengenai kontennya, saya tidak begitu memikirkan. Paling tidak jika ingin mengeluarkan uneg-uneg, ada tempat yang pas dan tentu saja tanpa melihat reaksi orang yang membacanya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas 3, saya pernah merasakan betapa malu bercampur marahnya ketika seorang teman menemukan dan membaca buku diari yang rutin saya isi waktu itu. Meski isinya bukan hanya perihal rasa suka, rindu, cita-cita, tapi ya namanya privasi jika diganggu, maka siapapun akan merasa tidak nyaman. Hingga akhirnya lanjut ke sekolah menengah atas lalu kuliah, saya tidak pernah lagi menulis diari. Kapok! Lagipula waktu itu sosial media seperti friendster dan facebook sudah mulai menarik perhatian anak muda yang rela nongkrong berjam-jam di sebuah tempat bernama telematika.

Sementara beberapa teman nongkrong di telematika, saya memilih melintasi beberapa fakultas untuk mencapai perpustakaan umum di pusat kampus. Di sana ada ruangan dengan fasilitas wireless yang paling sering menjadi tempat menjelajahi blog pribadi dan blog orang lain yang saya kagumi. Sayangnya, setelah mereka menikah dan/ melahirkan, saya tidak lagi menemukan tulisan-tulisan baru yang selalu saya tunggu dari blog mereka. Sampai saya berpikir, sesibuk itukah orang yang berstatus married (with children) sampai-sampai blognya dibiarkan tak terisi? Sungguh. Pertanyaan yang baru terjawab setelah saya mengalaminya sendiri. Haha

Sepuluh tahun. Dan blog ini terasa seperti teman lama yang tahu paling tidak setengah dari perjalanan rasa selama sepuluh tahun. Yang mengerti bahwa kata-kata yang terangkai berbanding lurus dengan besarnya kepedulian. Tanpa perlu berpikir apa perlu ketemu di kafe ataukah di playground terdekat. Saya rindu teman lama saya ini. Mengisi dan menatanya kembali, kemudian bercerita tentang dunia yang sudah terlampau berubah.