Namaku Nessa. Nessara Senja. Kedua
orang tuaku yang memberikan nama itu. Nessara adalah bahasa Korea klasik yang
berarti ‘terkasih’. Mungkin. Saya tak tahu pasti. Konon, ketika kedua orang
tuaku masih muda, sebagian besar penduduk di negeri mereka tinggal amat
menyukai segala sesuatu yang berbau korea. Mulai dari serial drama korea, boy
dan girlband korea, sampai style rambut dan aksesoris korea. Ketika saya
menanyakan kepada mereka berdua perihal suka tidaknya mereka dengan segala
sesuatu yang berbau Korea, maka kalian akan mendapati mereka berdua
geleng-geleng kepala. Betul, mereka berdua ternyata tidak suka. Ibuku malah
tergila-gila dengan salah satu film bollywood, kalian masih ingat film Kal Ho
Naa Ho? Ah, mungkin kalian sudah lupa bahkan mungkin tidak pernah tahu tentang
film itu. Film melted yang diproduksi sekitar tahun 2003 akhir itu dibintangi
oleh Shakrukh Khan, Saif Ali Khan, dan Preity Zinta. Film ini digarap di kota
New York. Sayangnya, saya tak tahu betul bagaimana alur ceritanya. Menurut
ibuku, film yang bisa membuatnya menangis adalah film yang bagus. Tentu saja
film itu salah satunya, dan ibuku menyukainya berkali-kali.
Ayahku? Oh iya, ayahku justru lebih menikmati film yang banyak menyentuh aspek sosial. Katanya, film dengan pendekatan sosial akan lebih mudah mencampuradukkan emosi penonton dan blablabla. Hikmahnya juga mudah dipetik. Pokoknya kalau ngomongin tentang sosial, ayahku memang paling jago tak tertandingi. Hei, kenapa kita ngomongin film? Fokus Ness, fokus!
Ayahku? Oh iya, ayahku justru lebih menikmati film yang banyak menyentuh aspek sosial. Katanya, film dengan pendekatan sosial akan lebih mudah mencampuradukkan emosi penonton dan blablabla. Hikmahnya juga mudah dipetik. Pokoknya kalau ngomongin tentang sosial, ayahku memang paling jago tak tertandingi. Hei, kenapa kita ngomongin film? Fokus Ness, fokus!
Sepertinya penting untuk kalian ketahui
bahwa saya adalah anak dengan gaya pemikiran yang divergen, suka berimajinasi,
dan mengajak pikiran kalian berjalan-jalan dahulu sebelum berangkat ke ‘tempat
tujuan’. Jadi, sebelum kalian mendapati pikiran kalian tersesat ( bukan sesat!),
maka sebaiknya kalian tidak usah mengikuti alur pikiran saya. Untuk hal ini,
ibu seringkali menasehati saya supaya bicara tuh yang gampang-gampang saja.
Cukup intinya saja. Jangan sampai karena kebiasaan saya ini, saya dicap sebagai
anak yang marginal dalam arti negatif. Ah,ibu memang paling baik sedunia.
Well, sampai dimana tadi?
Ya, masih tentang nama. Dan sebenarnya
saya memang ingin membahas ini. Nessara, seperti artinya ‘terkasih’ adalah saya
bagi kedua orang tua saya, juga saya bagi orang lain. Begitu doa orang tua
saya.
Suku kata kedua nama saya adalah senja.
Yang mengaku orang Indonesia, pasti tidak ada yang tidak tahu apa makna senja.
Jadi sepertinya saya tidak usah menjelaskannya. Saya hanya ingin menjelaskan
mengapa ada kata senja di nama saya. Kata ayah, sebenarnya ibu saya amat
mencintai pagi. Tapi kecintaan ibu terhadap pagi tidak serta merta membuatnya
menamai saya demikian. Kata ayah lagi, pagi memang identik dengan kesucian dan
ibu amat menyukai itu. Tapi pagi pula yang ‘memisahkan’ kami pada setiap lima
pertujuh pekan. Ketika pagi, saya, saudara-saudara saya, ayah dan ibu harus
‘terpisah’ selama beberapa lamanya, kendati aktivitas kami yang berbeda-beda.
Dan senja lah yang mempertemukan kami kembali.
Bagi saya, pagi dan senja adalah pintu
rumah kami. Ketika pagi adalah pintu keluar. Maka senja memosisikan dirinya
sebagai pintu masuknya kembali orang-orang pengumpul rindu untuk akhirnya
disemai masing-masing di dalam istana kami. Negeri kecil kami. Dan saya,
meyakini bahwa banyak sekali orang di luar sana yang tak lelah menunggu senja.
Karena senja, orang banyak mengucap syukur. Dan karena senja pula yang
mempertemukan kembali mereka-mereka yang dibangun atas nama cinta kasih.
Keluarga. Maka, “sangat filosofis ketika mengapa orang tua saya membubuhkan
kata senja pada nama saya”. Jawaban saya suatu ketika pada pertanyaan seorang
teman dormitory asal Indonesia.
Indonesia dan sebuah ingatan tentang
keluarga. Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku di sana. Suatu pagi yang masih
berkabut, saya ‘terpisah’ dari mereka. Dan kini, masih dengan rindu yang
menggunung, saya menunggu ‘senja’ pertemuan kembali dengan mereka. Suatu
ketika, sebelum berangkat, Ibu meminta agar saya sering-sering menulis. Walau
tak begitu fasih, tapi saya sungguh menikmatinya. Kedua orang tua saya bahkan
menjadikan blog pribadi saya sebagai wadah pelepas rindu. Ayah yang paling
sering mengkritik gaya penulisan artikel saya. Sebaliknya, Ibu yang paling
sering memuji. Ah, sosok itu. Saya betul-betul merindukan mereka.
Yang menunggu dan merindu. Nessara
Senja. Delapan belas tahun. Mahasiswi. Dan saya suka berbicara tentang masa
depan.