Ia menatapku dan menggerakkan telunjuknya ke arah langit. Seolah memberi isyarat bahwa aku harus mengikuti arah telunjuknya. Akhirnya keheningan mendung yang sedari tadi menyelimuti sore itu pecah menjadi riuh bulir-bulir air kiriman Tuhan. Hujan.
“Coba lihat langit itu!”. Katanya.
Sekarang, ia mengajakku melihat lebih saksama benda-benda yang turun dari langit bersama air hujan. Tak jelas di penglihatanku wujud sebenarnya dari benda itu. Air hujan yang turun amat deras, memukul-mukul bola mataku hingga tak mampu berakomodasi dengan jelas. Semacam angka-angka. Tapi sekali lagi tak jelas.
“Itu memang angka, dan angkamu adalah angka yang ujung itu, angka yang hampir menginjak bumi”. Katanya sekali lagi
Sekarang aku bisa melihat dengan jelas angka-angka itu. Angka 8. Benar itu angka 8, angka yang ia tunjukkan sebagai angkaku.
Dia : “Bukan, itu bukan angka 8. Coba lihat dengan lebih saksama. Kali ini jangan libatkan perasaanmu. Acuhkan sejenak. Dan lihat baik-baik angka itu”.
Aku : “Bagaimana mungkin itu bukan angka 8, jelas-jelas ada dua bulatan yang menempel vertikal“.
Dia : “Coba perbaiki penglihatanmu. Itu angka 0, bukan angka 8. Yang kau lihat di bawahnya adalah bayangan angka itu sendiri. Ia hanya pendar karena air hujan”.
Aku : “Tidak, itu angka 8, dan aku lebih menyukai angka 8. Angka 8 dekat dengan 9 dan 10. Dan itu artinya akan semakin dekat dengan akhir”.
Tiba-tiba aku menangis, dan ini kali pertamanya aku menangis di hadapannya. Mulai sadar bahwa itu benar angka 0 bukan angka 8. Dan itu berarti segala sesuatunya baru akan dimulai (lagi).
Dia : “ Jangan menangis. Ini baru permulaan. Tenanglah, aku takkan meninggalkanmu. Kita akan memulainya dari awal bersama-sama. Menjalani semua sketsa Tuhan bersama-sama. Sampai akhirnya kita mencapai angka 10. Itupun akan bersama-sama. Tenang dan bersabarlah…”.
Dan, sekarang aku mengerti mengapa sore itu ia tak senyum kepadaku seperti biasanya. Ternyata ia telah mempersiapkan dirinya untuk menangis. Bersamaku.