Orang-orang
bisa saja membuat aturan, tata tertib, undang-undang, tapi kepercayaanlah yang
membuktikannya. Aturan-aturan itu hanya merapikan, membuat urutan-urutan, pun
mengikat. Tapi yang membuatnya berjalan, sekali lagi adalah kepercayaan.
Alhamdulillah sudah hampir sebulan menjalani peran spektakuler sebagai istri. Kenapa
spektakuler? Karena sebulan inilah ajang pembuktian dari sebuah mitsaaqan ghaliizha yang terikrar saat
menjelang siang hampir sebulan yang lalu. Sebuah ikrar tentang janji kami
kepada Allah. Dan semuanya, dibingkai dengan satu kata magis bernama “kepercayaan”.
Abu Ubaidah
Ibnul Jarrah, semenjak mengulurkan tangannya, berbaiat, dan bersumpah setia
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia sadar bahwa hidupnya akan
dibaktikan sepenuhnya di jalan Allah. Ia mengikrarkan sebuah janji, lalu ia
membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya. Ia tulus bekerja, tulus melayani.
Maka semua
menjelma menjadi kesetiaan abadi kala ia menjadi tameng Rasulullah di Uhud yang
mengerikan. Ia cabut mata rantai yang menempel di pipi Rasulullah hingga ia
ompong. Di saat itu pula ia mendahului Abu Bakar perihal berlomba bersegera
dalam kebaikan.
Pada mulanya
memang ikrar janji, lalu kepercayaan. Setelah itu, lahirlah kesetiaan. Maka janji
bagi orang mukmin adalah kontrak spiritual dengan Tuhannya, meski dalam
pengaplikasiannya bisa saja berbeda di setiap dimensi waktunya.
Semoga
kepercayaan ini bisa menjelma menjadi bekal. Bekal yang memberi ketentraman,
kesejukan, dan pelipur lara. Kami senantiasa belajar. Menyiapkan sebaik-baik bekal itu. Maka, mulailah
berjanji dengan benar, janji yang sarat dengan ruh kepercayaan. Lalu hidup lama
dengan kesetiaan. Sebagai istri, sebagai suami, sebagai orang yang beriman.
:)
*ditulis ketika rindu.