Saturday, November 13, 2021

Saya yang Tidak Romantis

Sebenarnya, saya pun masih bingung perihal suka atau tidaknya saya dengan keromantisan. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya tidak begitu suka dengan pelukan, buket bunga, coklat, sanjungan, kejutan, dan ingatan akan hari-hari spesial. Tapi di sisi lain, mereka memang cenderung lebih bisa membuat saya geli. Mungkin yang berani saya katakan adalah penilaian seseorang terhadap keromantisan itu yang berbeda-beda. Cukup mendapati seseorang menggantung handuk dengan benar atau menanggapi permintaan anak-anak, lalu membiarkan saya mengajar dan menghabiskan kopi dengan damai, maka segalanya bisa membuat saya kelepek-kelepek kembali.

Hingga saya mengerti bahwa klimaks haru yang berkorelasi dengan anggapan keromantisan seseorang memang bersandar pada hal-hal yang paling krusial saat itu. Apa yang paling kamu butuhkan, lalu terpenuhi, maka itulah keromantisan.

Saya tidak begitu suka dengan pelukan. Akhirnya, kenyataan itu membawa saya pada aktivitas memeluk yang jarang. Saya pun pernah mengambil kesimpulan bahwa saya adalah orang yang tidak romantis yang dibesarkan di lingkungan yang tidak romantis dan lalu hidup dengan orang yang tidak romantis. Lalu apakah hal itu menjadi masalah? Sejauh ini belum. Tapi seiring bertambahnya usia sebagai penghuni mahligai rumah tangga, nyatanya ada saja hal yang tiba-tiba berubah. 

Pelukan, menjadi bahasa sayang yang paling dalam.

Anak-anak saling rebut. Terkadang saling pukul. Saya mulai bingung.

Setiap malam sebelum tidur, beberapa waktu ini, meski memang terlambat menyadari, tapi tak mengapa, saya merasa bahasa sayang itu menjelma menjadi kebutuhan primer. Dampaknya, saya rasa jauh lebih baik dalam meningkatkan daya tahan tubuh dan jiwa. Bukan cuma saya yang merasa lebih tenang. Tapi kondisi anak-anak yang sudah berjuang sejauh ini melawan rasa bosan di rumah terus, menjadi lebih lunak. Kakak sayang dan mengayomi. Adik hampir bisa dipastikan tidak lagi suka mengganggu. Mereka mencipta hubungan yang lebih hangat.

Saya jadi sering berdoa agar saya tidak jadi ibu yang kaku-kaku amat. Sebab setiap malam, entah mengapa, mereka selalu ingat menagih pelukan itu sebelum tidur, walau terkadang mesti pakai bahasa kode-kodean yang bikin geli. Ah! mengapa pelukan selalu seperti itu? :D

Saturday, February 13, 2021

"Allah tinggalnya di blok berapa, ya?"

Kelahiran Azuma, lima tahun yang lalu menjadi momentum rekonstruksi pikiran dan jiwa saya. Saya yang pada saat itu melahirkan seorang anak, juga sekaligus terlahir sebagai seorang Ibu. Lebih tepatnya, Ibu yang belajar. Setiap hari adalah proses bersabar. Bukan!, saya tidak sedang berbicara tentang bersabar dalam menghadapi dan menemaninya. Namun, saya sedang berbicara perihal bersabar menghadapi diri saya sendiri atas cacat dan khilaf yang terus menghiasi perjalanan saya menjalankan amanah Sang Pencipta. Amanah mulia yang surat tugasnya diberikan langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Menjadi seorang Ibu, berarti kita harus siap dengan aktivitas yang sama dan berulang-ulang. Termasuk dalam proses mendidik sang buah hati mengenal Tuhannya. Bagi kami, ini hal utama dalam visi dan misi keluarga yang telah kami susun. Perjalanan mengenal Tuhan akan memberikan kebaikan-kebaikan di pengalaman hidup selanjutnya. Tak mudah memang. Bahkan acap kali hasilnya belum lagi sama dengan harapan. Namun, bukankah manusia memang hanya bisa mengusahakan sebab-sebab? Sementara hati dan gejolaknya, adalah hak prerogatif Allah semata. 

Proses mengenalkan keesaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah proses yang paling menantang dalam seri membersamai anak-anak di rumah. Prosesnya berbeda dengan tema aktivitas yang lain. Namun anehnya, tema ini mampu menyelami seluruh aktivitas yang mengiringi anak-anak. Masyaallah. Sumbernya harus jelas. Tidak boleh asal petik apalagi mengonsumsinya mentah-mentah. Orang tua juga harus berhati-hati dalam proses penyampaiannya. Sebab, manfaat dan risikonya berbanding lurus. Jika proses penyampaiannya benar, maka orang tua akan takjub pada hasilnya, Insyaallah, dengan izin Allah. Namun, ketika proses pengenalan tersebut hanya asal saja, maka kemungkinan hasilnya pun tidak akan efektif. Maka, tugas kami sebagai orang tua adalah belajar dan terus menuntut ilmu untuk perbekalan keluarga. Keluarga mengusahakannya di dunia, lalu menjadi investasi hidup di akhirat nanti. Semoga Allah damping kami selalu dalam proses panjang ini.

Dalam beberapa episode dialog iman dengan buah hati kami, tak jarang suasananya mencipta haru biru atas respon yang kami dapatkan. Kami percaya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan anak-anak kita bersama dengan fitrah keimanan yang ada dalam diri mereka. Untuk mencapai kegemilangannya, maka orang tua sebagai madrasah pertama memiliki kewajiban untuk membuat arah jalannya dan metode pencapaiannya. Maka kami jadikan setiap waktu kebersamaan kami adalah wujud pengenalan keesaan dan keagungan Allah Subhanu wa Ta’ala kepada sang buah hati. Saat lapang maupun saat sempit. Saat sehat maupun sedang sakit. Saat menikmati es krim kesukaan, saat minum susu, saat minum obat yang pahit, saat terjatuh, saat belajar, dan saat bermain. Seluruh proses pengenalan tentang keesaan dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala kami jadikan muara pada betapa Allah Maha Penyayang. Ia sangat menyayangi kami sekeluarga. Hal ini menjadi pertimbangan kami sebab usia anak-anak kami masih tergolong pada fase pra latih. Di mana cara terbaik mengenalkan hal baru kepada mereka adalah membangkitkan gairah mereka terhadap hal tersebut agar kemudian menjadi kebiasaan dan sifat alami yang melekat pada diri mereka.

Anak pertama kami, Azuma, baru saja menginjak usia lima tahun. Ia adalah anak perempuan yang sangat aktif dan lincah. Di usianya yang bukan lagi seorang balita, ia sangat menyenangi bermain bersama teman-teman di kompleks perumahan kami. Jika telah bermain dengan teman-temannya, sering kali rasa khawatir hinggap menghampiri. Meski kompleks perumahan kami terbilang kecil, namun melihat keaktifan anak kami ini termasuk tinggi, maka kami sering menyampaikan dan mengulang-ulang alamat blok rumah kami agar ia tidak tersesat ketika pulang. Karena sering diulang, maka anak kamipun sudah sangat hafal. Lalu sampai ketika anak kami mempertanyakan perihal “apakah kita bisa melihat Allah?” di suatu malam sebelum ia terlelap. 
“Ummi, apakah kita bisa melihat Allah?” tanyanya penasaran.
“Bisa dong, Kak!. Tapi bukan di dunia ini.” jawabku sedikit gemetar atas pertanyaannya.
“Terus di mana, Ummi?”
“Insyaallah di surga, Nak,” imbuhku
“Wah! jadi semua orang yang masuk surga, bisa melihat Allah ya, Ummi?” tanyanya semakin penasaran
“Yang bisa melihat wajah Allah secara langsung, adalah orang yang bisa masuk di surga yang paaaaling tinggi.”
“Memangnya surga ada berapa tingkat, Ummi?”
“Ada tujuh tingkat, Kak. Orang-orang yang bisa melihat wajah Allah adanya di surga tertinggi, yaitu Surga Firdaus. Insyaallah Kakak, Adik, Ummi, Abi, Nenek, dan Kakek bisa masuk ke surga tersebut. Hmm … bagaimana caranya ya? 
“Ya, Ummi! Bagaimana caranya? Saya juga mau masuk Surga Firdaus!” ucapnya semangat.
“Kalau kita mau masuk Surga Firdaus, kita harus semangat salat, berkata yang baik, rajin menolong, dan selalu belajar memakai jilbab,” lirihku. Anak kami semakin semangat mendengar apa yang saya katakan. Hingga keluarlah pertanyaan yang membuat saya menahan tawa di suasana yang sudah hening itu.
“Ummi, Ummi! Kita kan tinggal di Blok C8. Kalau Allah tinggalnya di blok berapa, ya?”
Masyaallah, anak-anak dengan imajinasinya memang luar biasa. Bahkan kita terlampau sering terpukau atas apa yang mereka utarakan. Jika bukanlah karena Allah yang menggerakkan bibir ini untuk menyampaikan kebenaran, niscaya kita akan gelagapan sendiri dan akhirnya akan menggerus fitrah keimanan yang ada dalam diri mereka. Naudzubillahi min dzalik.

Anak-anak kami, kian hari memberi pelajaran berharga bagi kami. Namun, belumlah cukup apalagi sempurna bekal untuk membimbing dan membesarkan mereka. Kami yang penuh cacat lagi khilaf, sudah pasti tak akan bisa mengandalkan amal saleh sebagai pemantik terkabulnya doa-doa. Sungguh! Kami berusaha mempersembahkan pengorbanan terbaik untuk anak-anak kami. Di saat yang bersamaan, mereka mempersembahkan cintanya menerima segala cacat pilu dari orang tuanya. Jika bukan karena rahmat dan rida Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu tak ada lagi harapan yang pantas tersemat dalam bait-bait doa. 

Semoga … semoga yang terkenang oleh mereka, hanyalah kebaikan-kebaikan kita saja.