Saturday, December 28, 2013

Seperti Confetti

Jika engkau merasakan sakit, lelah, atau mengalami penderitaan karena berjuang di jalan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka pun yang berjuang di jalan kebathilan sedang merasakan hal yang sama.

Yang berbeda adalah, engkau mempunyai harapan kepada Allah, sedang mereka tidak memiliki harapan apapun kepada Allah.
Allaahu Akbar, sungguh hidup ini begitu singkat.

(Murabbi, sesi tebar semangat)
 

Saturday, December 21, 2013

Kaus Kaki dari Masa Lalu



Dulu, ketika hujan turun, ibu selalu mengingatkan agar sepatu saya tidak sampai mengotori lantai belakang rumah ketika pulang sekolah. Selalu begitu. Kebiasaan main ciprat-cipratan saat hujan turun membuat ibu selalu bersiap siaga di teras belakang sebelum saya pulang. Tapi ya dasar anak bandel, berapa kali pun dinasehati, selalu saja mengulang hal yang sama. 

Satu hal yang membuat saya bingung, ibu tidak pernah sekali pun menyuruh saya membersihkan lantai rumah bila saya mengotorinya. Setelah menasehati dan saya melanggar, ia hanya geleng-geleng kepala lalu mengambil kain pel sendiri dan membersihkannya. Padahal waktu itu, untuk menggerak-gerakkan, memutar-mutar kain pel saja, pasti saya sudah bisa. Beda dengan adik saya, ia tipikal orang yang tidak terlalu banyak tingkah di masa kanak-kanaknya. Selain tak begitu suka bermain dengan hujan, ternyata ia juga tak begitu bersahabat dengan panas.  Ia lebih banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah. Hingga sempat timbul asumsi bahwa sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara diri kami. Oh iya, ia juga tak begitu fasih menerbangkan layangan, ia lebih suka menggantung layangannya di tiang rumah, lalu memelototi layangan itu digoyang-goyangkan angin. Jika demikian, ia sudah bisa tertidur dengan pulasnya. Saya selalu tertawa melihatnya. 

Ketika dibelikan pakaian, seringkali pakaian kami kembar. Satu stel baju lengkap dengan celana pendeknya. Cuma beda ukuran dan warna . Jadi dulu, jika diingat-ingat lagi, koleksi celana saya memang lebih banyak daripada koleksi gaun anak-anak. Peralatan sekolah pun demikian, mulai dari sepatu, buku tulis, pensil dan kotaknya, tas sekolah, sampai kaus kaki kami selalu kembaran. Yang membedakannya adalah ukuran dan warnanya. 

Saya ingat sepatu dan kaus kaki kami. Sepatu ATT yang bisa menyala dan kaus kaki bergambar power ranger. Waktu itu, kaus kaki saya berwarna abu-abu, sedangkan kaus kaki adik saya berwarna hitam. Kami sangat menyukai kaus kaki itu. Sebabnya, kami bisa memakainya seminggu penuh. Di sekolah kami dulu, tidak ada kewajiban warna tertentu pada kaus kaki dan sepatu yang mesti kami pakai. Jadi warnanya bebas.

Kaus kaki abu-abu yang selalu saja kotor di kala hujan turun, kaus kaki abu-abu yang selalu dibersihkan oleh ibu, dan akhirnya saya pakai lagi meski seminggu penuh tak diganti-ganti. Lalu saya tersadar bahwa ia adalah kombinasi dua warna yang sangat berbeda, membentuk warna yang baru. Seperti nasehat ibu dan tingkah bandel anak sulungnya, seperti perbedaan karakter adik-kakak yang membentuk sebuah ingatan. 

Tiba-tiba, abu-abu juga seperti menjelma menjadi warna draf proposal sebuah tugas akhir. Mereka berkombinasi membentuk rindu abu-abu. Rindu pada rumah, ibu, adik, juga rindu dengan teman minum kopi ketika pulang. Ayah, yang selalu membuat saya takut ketika bermain terlalu jauh dari rumah. Semoga mereka sehat-sehat saja. Sebab saat ini, suara mereka adalah suara yang paling ingin saya dengar. 
Berbicara apa saja. Tentang apa saja.

Tuesday, December 17, 2013

Kubikel.



"...Tidak pernah ada yang tahu isi hati. Dan aku bersyukur untuk semua itu".
(Kurniawan Gunadi)

Ketika manusia dibekali kemampuan untuk membaca isi hati, maka tidak ada lagi kebiasaan menebak-nebak isi hati. Padahal, tidak sedikit orang yang menikmatinya.
Tak ada lagi setumpuk kata yang menari-nari di simpul saraf otak yang membuatmu bertanya-tanya tentang kepastian ini, kepastian itu.

Tak ada lagi rahasia yang bisa disimpan di ruang hati yang terdalam, karena begitu bertemu, sontak saja isi hati itu sudah bisa terbaca. Cintamu, perhatianmu, bencimu, sukamu, kagummu, amarahmu. Maka ruang hati yang terdalam tak lain hanya menjadi sebuah ruang hampa yang tak lagi berguna.

Tak ada lagi kepura-puraan dalam perpisahan. Pun kepura-puraan dalam pertemuan. Sedihmu terbaca saat berpisah. Senangmu terbaca saat bertemu. Tak ada lagi kejutan dengan letupan kecil di dadamu. Karena, semua hati yang kau temui bisa kau baca dengan mudah.

Lalu, kemampuan membaca isi hati akan menggiringmu pada berkurangnya pula satu kesempatan untuk berbuat baik. Mengapa? Karena ketidakmampuan membaca isi hati, akan mendorongmu untuk senantiasa berprasangka baik. Mau atau tidak, siap atau tidak, berprasangka baik adalah manifestasi dari ketidakmampuanmu membaca isi hati. Lalu prasangka itu pula yang akan mengantarkanmu kepada kasih sayangNya. 
Jika manusia dimampukan untuk membaca isi hati, maka prasangka akan bergantung pada apa yang ia baca, bukan?

Selalu, tersembunyi banyak hikmah dari “keterbatasan” yang Ia ciptakan. Adakah kita mengambil pelajaran?

Monday, December 16, 2013

Bucket List Menor



“duduk manis di puncak Al Hambra”

Jika akhir semester dan akhir tahun bertemu dalam satu waktu, maka biasanya bucket list yang terpajang cantik di kamar akan sangat menor oleh blush on warna-warni di kanan kiri sudutnya. Deretan target, tugas, dan rencana-rencana lain berjejer di etalasenya masing-masing. Bukan hanya itu, tanda seru tiga kali, tanda tanya, emoticon senyum, dan gambar bunga yang nyaris layu menghias beberapa kolom di sudut yang lain. Pemandangan yang kacau menurut saya. Hehe

Seorang kakak senior pernah beberapa kali beristirahat di kamar dan mendapati bucket list saya dalam kondisi memprihatinkan seperti itu. Dia menasehati agar target ataupun tugas yang sudah selesai dihapus saja agar bucket list itu sedikit lebih bersih. Namun, saya menjawabnya dengan beberapa kalimat yang sedikit defensif. Kakak senior cuma geleng-geleng kepala.

Sebenarnya, saya menyukai bucket list yang penuh dengan coretan di sana-sini. Sebab coretannya bisa berarti sebuah koreksi atau berarti sebuah pencapaian. Saya menyukai koreksi dan pencapaian. Saya menyukai menyimpan mereka lama-lama dan memandanginya. Sebab mereka adalah semacam pengingat untuk senantiasa bersyukur atas semua kerja panca indera yang telah dilakukan.

Untungnya, kakak senior saya tidak melihat bucket list yang lain. Padahal di sana, suasananya sudah mirip hutan belantara. Sudah banyak pohon harapan yang tumbuh, lalu dipangkas, lalu tumbuh lagi tunas dan ranting yang baru. Biarkan saja, sebab tidak akan ada yang sulit bagi hati yang mau terus berusaha, kan?. Mari mencoret lagi !