Dulu,
ketika hujan turun, ibu selalu mengingatkan agar sepatu saya tidak sampai
mengotori lantai belakang rumah ketika pulang sekolah. Selalu begitu. Kebiasaan
main ciprat-cipratan saat hujan turun membuat ibu selalu bersiap siaga di teras
belakang sebelum saya pulang. Tapi ya dasar anak bandel, berapa kali pun
dinasehati, selalu saja mengulang hal yang sama.
Satu
hal yang membuat saya bingung, ibu tidak pernah sekali pun menyuruh saya
membersihkan lantai rumah bila saya mengotorinya. Setelah menasehati dan saya
melanggar, ia hanya geleng-geleng kepala lalu mengambil kain pel sendiri dan
membersihkannya. Padahal waktu itu, untuk menggerak-gerakkan, memutar-mutar
kain pel saja, pasti saya sudah bisa. Beda dengan adik saya, ia tipikal orang
yang tidak terlalu banyak tingkah di masa kanak-kanaknya. Selain tak begitu suka bermain dengan hujan, ternyata ia juga tak begitu bersahabat dengan panas. Ia lebih banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah. Hingga sempat
timbul asumsi bahwa sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara diri kami. Oh
iya, ia juga tak begitu fasih menerbangkan layangan, ia lebih suka menggantung layangannya
di tiang rumah, lalu memelototi layangan itu digoyang-goyangkan angin. Jika
demikian, ia sudah bisa tertidur dengan pulasnya. Saya selalu tertawa
melihatnya.
Ketika
dibelikan pakaian, seringkali pakaian kami kembar. Satu stel baju lengkap
dengan celana pendeknya. Cuma beda ukuran dan warna . Jadi dulu, jika
diingat-ingat lagi, koleksi celana saya memang lebih banyak daripada koleksi
gaun anak-anak. Peralatan sekolah pun demikian, mulai dari sepatu, buku tulis,
pensil dan kotaknya, tas sekolah, sampai kaus kaki kami selalu kembaran. Yang
membedakannya adalah ukuran dan warnanya.
Saya
ingat sepatu dan kaus kaki kami. Sepatu ATT yang bisa menyala dan kaus kaki
bergambar power ranger. Waktu itu, kaus kaki saya berwarna abu-abu, sedangkan kaus
kaki adik saya berwarna hitam. Kami sangat menyukai kaus kaki itu. Sebabnya,
kami bisa memakainya seminggu penuh. Di sekolah kami dulu, tidak ada kewajiban
warna tertentu pada kaus kaki dan sepatu yang mesti kami pakai. Jadi warnanya
bebas.
Kaus
kaki abu-abu yang selalu saja kotor di kala hujan turun, kaus kaki abu-abu yang selalu dibersihkan oleh
ibu, dan akhirnya saya pakai lagi meski seminggu penuh tak diganti-ganti. Lalu
saya tersadar bahwa ia adalah kombinasi dua warna yang sangat berbeda, membentuk
warna yang baru. Seperti nasehat ibu dan tingkah bandel anak sulungnya, seperti
perbedaan karakter adik-kakak yang membentuk sebuah ingatan.
Tiba-tiba,
abu-abu juga seperti menjelma menjadi warna draf proposal sebuah tugas akhir. Mereka
berkombinasi membentuk rindu abu-abu. Rindu pada rumah, ibu, adik, juga rindu
dengan teman minum kopi ketika pulang. Ayah, yang selalu membuat saya takut
ketika bermain terlalu jauh dari rumah. Semoga mereka sehat-sehat saja. Sebab saat
ini, suara mereka adalah suara yang paling ingin saya dengar.
Berbicara apa
saja. Tentang apa saja.