Sunday, March 21, 2010

Ruang Kosong di Rumah Kecilku


Sudah 2 tahun aku menghuni rumah ini. Rumah yang tak besar, tak juga mewah, tapi megah di mata sebagian orang. Rumah yang didesain oleh orang-orang cerdas, dibangun oleh orang-orang hebat, dan dihuni oleh orang-orang pilihan. Di pekarangan depan rumah berjejer aneka tanaman yang khusus didatangkan dari berbagai daerah. Kelak tanaman-tanaman itu yang akan memperindah rumah kecilku. 

Oh iya, ada satu yang membuatnya berbeda dengan rumah lain. Rumahku ini tak punya pintu pagar. Kata orang-orang hebat,”Ia sengaja tak dibuatkan pintu agar siapapun yang lewat di depannya bisa dengan leluasa “masuk” atau bahkan tinggal di rumah ini”. Di rumah kecil ini aku dilahirkan. Begitupun dengan (sebagian) saudara-saudaraku. Di rumah kecil ini aku belajar duduk, merangkak, berdiri, melangkah, dan berlari. 

Ketika ada orang yang berkunjung, maka aku dan saudara-saudaraku akan menyambutnya dengan ramah. Berharap agar mereka betah dan mau tinggal di rumah kecil ini bersama kami. Membersihkan halaman bersama, menyirami tanaman bersama dan setelah itu kami akan beristirahat sejenak di ayunan besi samping rumah. Di ayunan ini, kami akan mengutarakan semua keluh kesah, suka duka selama membersihkan halaman dan menyirami tanaman. Di ayunan ini, tak jarang orang-orang yang lewat akan melihat tawa, haru, tangis dari balik pagar. Di ayunan ini, aku belajar memahami keprbadian saudara-saudaraku. Mereka yang phlegmatis, mereka yang koleris, mereka yang sanguinis, atau bahkan mereka yang melankolis. 

Ada rasa syukur. Syukur yang teramat dalam memiliki saudara seperti mereka. Tanpa mereka, orang-orang akan menemukan rumah kecil ini kacau karena tak ada lagi si phlegmatis yang damai dan menyenangkan. Tanpa mereka, orang-orang akan mendapati rumah kecil ini statis karena tak ada lagi si koleris yang aktif dan dinamis. Tanpa mereka, rumah ini akan terasa hampa karena kehilangan sosok sanguinis yang ceria dan ekspresif. Atau mungkin rumah ini tak lagi indah karena sudah tak ada yang menghargai keindahan seperti yang dilakukan si melankolis. 

Aku memiliki banyak saudara. Tapi mereka tak dilahirkan di rumah kecil. Mereka lahir dan dibesarkan di rumah kami yang lain. Rumah yang lebih besar dan mungkin lebih mewah. Ketika akhir pekan tiba, mereka akan berkunjung ke rumah kecil dan kami akan bertukar cerita mengenai perkembangan rumah kecil dan rumah besar. Tentang berapa banyak orang yang berkunjung, tentang pekarangannya, tanaman-tanamannya atau bahkan ukhuwah para penghuninya. Dan sama seperti pekan-pekan kemarin, rumah kecil masih saja kalah… 

Rumah kecil, masih memiliki ruang kosong yang “menuntut” untuk diisi. Pekarangan dan tanaman yang berjejer di depan rumah masih membutuhkan “orang-orang yang lewat” dan bersedia menjadi orang-orang pilihan. Sementara ayunan di samping rumah masih bisa menampung orang-orang phlegmatis, koleris, sanguinis, dan melankolis yang ingin beristirahat... 

Rumah kecil…bagaimanapun kondisimu, engkau masih saja tetap indah di mataku. Kesederhanaanmu telah menorehkan banyak kisah. Suatu saat nanti entah kapan, orang-orang cerdas, orang-orang hebat, dan orang-orang pilihan akan tersenyum melihatmu. Kecil tapi sangat kokoh. Tak mewah tapi sangat artistik. Hingga nanti orang-orang pilihan akan berat meninggalkanmu… Mungkin juga aku…  

***
Kemarin, aku menemukan pesan singkat yang tertinggal di ayunan besi samping rumah. Ternyata pesan itu dari penghuni rumah besar u/ saudaranya di rumah kecil.. 

  “Jika cemburu itu layak diungkapkan, maka kepadamulah saudaraku cemburu itu akan selalu ada. Engkau kuat, engkau selalu mencemaskan cintamu pada amanahmu, kecemasan yg tak kunjung aku rasakan. Aku cemburu pada cintamu dan cinta orang-orang di sekelilingmu…” 

Tuesday, March 9, 2010

A Little Piece of Ground

Di balik kesederhanaan itu, aku temukan ketulusan

Di balik kesederhanaan itu, aku temukan keindahan

Di balik kesederhanaan itu, aku melihat senyuman…

Sederhana itu seperti Rasulullah.. Meskipun diampunkan dosanya yang telah lewat dan yang akan datang, namun beliau tetap memilih hidup melarat, tetapi tetap bersemangat dalam beribadah.

Sederhana itu seperti Umar.. Meski dia seorang kepala negara atau amirul mukminin, dia tak tergiur oleh gemerlapnya harta benda. Jangankan untuk korupsi, mengambil yang menjadi haknya sendiri saja ia enggan melakukannya.

Sederhana itu seperti Mas Gagah yang moderat tapi tak pernah meninggalkan shalat.

Sederhana itu seperti Karang yang membuat Melati menemukan panca indera di telapak tangannya.

Sederhana itu…………

Maha suci Allah yang sudah memberikan banyak hikmah di balik sebuah “kesederhanaan”

Aku akan memilih sederhana saja dalam hidup yang tak sederhana ini……

Karena seseorang takkan hina karena kesederhanaannya……..