Monday, October 27, 2014

Dream Catcher



Sering sekali dalam hidup, kita dihadapkan dengan cerita-cerita yang belum atau tak sempat selesai. Untungnya jika film, maka saya akan memikirkan sendiri akhir cerita tersebut dengan asumsi yang saya bangun sendiri - sebuah akhir cerita yang bahagia-. Dimana sebuah keluarga yang terpisah akan bersatu kembali, hantu yang telah dimusnahkan tidak lagi ada di muka bumi untuk mengganggu sekelompok mahasiswa baik hati, atau sekedar memikirkan bahwa Miko akan menemukan wanita yang betul-betul mencintainya apa adanya. Seperti itu. Maka cerita-cerita yang belum atau tak sempat selesai setidaknya memberikan sedikit banyak harapan kepada kita, saya sih, tentang adanya akhir cerita yang bahagia.
Bulan ini menghadirkan banyak letupan kembang api di depan mata saya. Sebagian telah menemukan akhir yang baik, sebagiannya lagi belum selesai. Sebagian memilih saya jadi saksi, sebagiannya lagi menakdirkan saya sebagai pelaku. Jika dalam sebuah pertandingan sepak bola, seorang pemain membutuhkan dukungan atau pembelaan dari banyak orang, maka agak miriplah saya dengan mereka. Maka jauh-jauh hari, saya mencoba menelisik orang-orang yang kiranya bisa mendukung saya dalam hal ini. Saya memulainya dengan orang-orang yang paling dekat, dekat, lumayan dekat, sampai orang-orang yang belum pernah saya temui sekalipun. Dukungan yang paling berharga, do’a tulus.

Jika orang-orang pribumi Amerika sana menggantungkan sebuah dream catcher sebagai jaring-jaring simbolis di atas tubuh seseorang yang tidur untuk melindunginya dari hambatan pencapaian visi, gagasan, dan cita-citanya, maka saya merasa memiliki dream catcher yang jauh lebih berharga dari sebuah benda mati yang dimiliki orang-orang pribumi Amerika itu. Ada orang tua, teman, sahabat, guru-guru, serta orang-orang yang dengan tulus mencintai serta mendukung saya lewat do’a-do’anya. Dan inilah mereka yang seharusnya paling membuat kita bahagia, apapun dan bagaimanapun akhir cerita yang sedang kita lakoni.