Sering
sekali dalam hidup, kita dihadapkan dengan cerita-cerita yang belum atau tak
sempat selesai. Untungnya jika film, maka saya akan memikirkan sendiri akhir
cerita tersebut dengan asumsi yang saya bangun sendiri - sebuah akhir cerita
yang bahagia-. Dimana sebuah keluarga yang terpisah akan bersatu kembali, hantu
yang telah dimusnahkan tidak lagi ada di muka bumi untuk mengganggu sekelompok
mahasiswa baik hati, atau sekedar memikirkan bahwa Miko akan menemukan wanita yang
betul-betul mencintainya apa adanya. Seperti itu. Maka cerita-cerita yang belum
atau tak sempat selesai setidaknya memberikan sedikit banyak harapan kepada
kita, saya sih, tentang adanya akhir cerita yang bahagia.
Bulan
ini menghadirkan banyak letupan kembang api di depan mata saya. Sebagian telah
menemukan akhir yang baik, sebagiannya lagi belum selesai. Sebagian memilih
saya jadi saksi, sebagiannya lagi menakdirkan saya sebagai pelaku. Jika dalam sebuah
pertandingan sepak bola, seorang pemain membutuhkan dukungan atau pembelaan
dari banyak orang, maka agak miriplah saya dengan mereka. Maka jauh-jauh hari,
saya mencoba menelisik orang-orang yang kiranya bisa mendukung saya dalam hal ini.
Saya memulainya dengan orang-orang yang paling dekat, dekat, lumayan dekat,
sampai orang-orang yang belum pernah saya temui sekalipun. Dukungan yang paling
berharga, do’a tulus.
Jika
orang-orang pribumi Amerika sana menggantungkan sebuah dream catcher sebagai jaring-jaring simbolis di atas tubuh
seseorang yang tidur untuk melindunginya dari hambatan pencapaian visi,
gagasan, dan cita-citanya, maka saya merasa memiliki dream catcher yang jauh lebih berharga dari sebuah benda mati yang
dimiliki orang-orang pribumi Amerika itu. Ada orang tua, teman, sahabat,
guru-guru, serta orang-orang yang dengan tulus mencintai serta mendukung saya
lewat do’a-do’anya. Dan inilah mereka yang seharusnya paling membuat kita
bahagia, apapun dan bagaimanapun akhir cerita yang sedang kita lakoni.