Saya menulis surat ini sambil menunggumu
pulang. Sesekali, sebelum sempat kuketik tanda titik di akhir kalimat,
tendangan-tendangan kecil dari perutku membuat saya sedikit tak bisa
berkonsentrasi karena takjub. Dulu sebelum bertemu denganmu, saya amat sering
mendengar celotehan orang banyak bahwa menunggu adalah pekerjaan yang
membosankan. Tapi entahlah, semenjak menikah denganmu, saya sangat menikmati
pekerjaan yang satu ini. Mendengar pagar rumah diketuk dan lampu kendaraan yang
kerlap-kerlip adalah salah satu pemandangan yang membuat saya bahagia. Benarlah
kata orang, bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal yang sederhana.
Tentu saja saya tak perlu menanyakan
perihal kabarmu melalui surat ini. Engkau adalah orang yang paling tahu bahwa
saya tak pernah bisa untuk tidak menanyakan perihal ini itu dalam sehari.
Hingga hal ini juga menyebabkan engkau paling tahu kapan saat-saat saya marah
karena cemburu, atau saat-saat dimana mood
saya sedang dalam masa berantakannya. Tak jarang pula engkau meminta maaf.
Sungguh, saya sangat berterima kasih atas permintaan maaf yang tulus itu.
Tak terasa sudah hampir setahun, sejak
pertama kali saya berjalan bersebelahan sambil menggandeng lenganmu. Engkau
tahu, lama saya tertegun memikirkan rasa pertama menggandeng lengan lelaki
lekat-lekat. Rasanya seperti menikmati hujan pertama yang luruh perlahan-lahan
setelah kemarau panjang mendera. Sejuk. Lalu, saya merasakan desiran hebat di
dalam dada pada waktu yang sama. Mungkin ini yang disebut kasmaran. Namun lucu
saja rasanya ketika orang lain tahu bahwa saat itu saya sedang kasmaran dengan
suami. Orang yang sesungguhnya tidak pernah sekalipun terbayangkan akan menjadi
pendamping saya. Jauh, jauh dari pikiran. Tapi seperti itulah Sang Maha Pencipta
merancang skenarionya untuk kita perankan sebaik-baiknya.
Sejauh ini, meski usia pernikahan kita
masih terlalu muda, saya ingin engkau bahagia. Lebih bahagia dari hari-hari
sebelumnya. Bahagia mendampingi serta membimbing saya dan (kelak) anak-anak
kita, juga bahagia dalam perbedaan-perbedaan yang hadir sebagai degradasi warna
dalam bingkai pernikahan kita. Tak ada yang sempurna di dunia ini, pun dalam
berumah tangga. Perjalanan kita masih panjang. Banyak hal-hal yang mesti kita
syukuri, pun tak kalah banyaknya hal-hal yang mesti kita benahi bersama-sama.
Do’a saya masih sama. Agar Allah senantiasa
menyukai, merahmati, memberkahi, dan ridha terhadap keluarga kecil kita.
Keluarga yang insya Allah sama-sama
merindukan hidup di bawah bimbingan dan aturan Allah, yang menjadikan dakwah
sebagai porosnya, menjadikan ilmu sebagai bahan bakarnya, dan menjadikan rasa
pengertian sebagai bentuknya. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk
kepada kita yang hina ini, dan semoga Allah memberikan yang terbaik untuk
hamba-hamba-Nya yang senantiasa mencari ridhoNya. Engkau semakin teguh menjadi
imam, saya semakin taat menjadi makmum, dan mampu menjadi sepasang orang tua
teladan bagi anak-anaknya, hingga tetap menjadi satu keluarga utuh di
Syurga-Nya kelak.
Sebagaimana engkau, kusebut pula surat
ini berasal dari piranti raksasa Tuhan, tempat yang nyata dimana semuanya telah
tertulis dengan begitu apiknya. Pada sisi-Nya lah kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai
daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula. Maka demikian
dengan surat ini, saya tulis dengan penuh
cinta bertabur do’a untuk saya persembahkan kepada engkau yang namanya
telah disandingkan dengan namaku di Lauh Mahfuz.