Thursday, December 3, 2015

Surat Cinta dari Piranti Raksasa Tuhan



Saya menulis surat ini sambil menunggumu pulang. Sesekali, sebelum sempat kuketik tanda titik di akhir kalimat, tendangan-tendangan kecil dari perutku membuat saya sedikit tak bisa berkonsentrasi karena takjub. Dulu sebelum bertemu denganmu, saya amat sering mendengar celotehan orang banyak bahwa menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Tapi entahlah, semenjak menikah denganmu, saya sangat menikmati pekerjaan yang satu ini. Mendengar pagar rumah diketuk dan lampu kendaraan yang kerlap-kerlip adalah salah satu pemandangan yang membuat saya bahagia. Benarlah kata orang, bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal yang sederhana.

Tentu saja saya tak perlu menanyakan perihal kabarmu melalui surat ini. Engkau adalah orang yang paling tahu bahwa saya tak pernah bisa untuk tidak menanyakan perihal ini itu dalam sehari. Hingga hal ini juga menyebabkan engkau paling tahu kapan saat-saat saya marah karena cemburu, atau saat-saat dimana mood saya sedang dalam masa berantakannya. Tak jarang pula engkau meminta maaf. Sungguh, saya sangat berterima kasih atas permintaan maaf yang tulus itu.

Tak terasa sudah hampir setahun, sejak pertama kali saya berjalan bersebelahan sambil menggandeng lenganmu. Engkau tahu, lama saya tertegun memikirkan rasa pertama menggandeng lengan lelaki lekat-lekat. Rasanya seperti menikmati hujan pertama yang luruh perlahan-lahan setelah kemarau panjang mendera. Sejuk. Lalu, saya merasakan desiran hebat di dalam dada pada waktu yang sama. Mungkin ini yang disebut kasmaran. Namun lucu saja rasanya ketika orang lain tahu bahwa saat itu saya sedang kasmaran dengan suami. Orang yang sesungguhnya tidak pernah sekalipun terbayangkan akan menjadi pendamping saya. Jauh, jauh dari pikiran. Tapi seperti itulah Sang Maha Pencipta merancang skenarionya untuk kita perankan sebaik-baiknya. 

Sejauh ini, meski usia pernikahan kita masih terlalu muda, saya ingin engkau bahagia. Lebih bahagia dari hari-hari sebelumnya. Bahagia mendampingi serta membimbing saya dan (kelak) anak-anak kita, juga bahagia dalam perbedaan-perbedaan yang hadir sebagai degradasi warna dalam bingkai pernikahan kita. Tak ada yang sempurna di dunia ini, pun dalam berumah tangga. Perjalanan kita masih panjang. Banyak hal-hal yang mesti kita syukuri, pun tak kalah banyaknya hal-hal yang mesti kita benahi bersama-sama. 
 
Do’a saya masih sama. Agar Allah senantiasa menyukai, merahmati, memberkahi, dan ridha terhadap keluarga kecil kita. Keluarga yang insya Allah sama-sama merindukan hidup di bawah bimbingan dan aturan Allah, yang menjadikan dakwah sebagai porosnya, menjadikan ilmu sebagai bahan bakarnya, dan menjadikan rasa pengertian sebagai bentuknya. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita yang hina ini, dan semoga Allah memberikan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa mencari ridhoNya. Engkau semakin teguh menjadi imam, saya semakin taat menjadi makmum, dan mampu menjadi sepasang orang tua teladan bagi anak-anaknya, hingga tetap menjadi satu keluarga utuh di Syurga-Nya kelak.

Sebagaimana engkau, kusebut pula surat ini berasal dari piranti raksasa Tuhan, tempat yang nyata dimana semuanya telah tertulis dengan begitu apiknya. Pada sisi-Nya lah kunci semua yang ghaib. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula. Maka demikian dengan surat ini, saya tulis dengan penuh  cinta bertabur do’a untuk saya persembahkan kepada engkau yang namanya telah disandingkan dengan namaku di Lauh Mahfuz.

Tuesday, October 20, 2015

Simpul Cinta dalam Cangkir Kopi Ayah

Ternyata, sudah cukup lama kita tak berbincang dan bercakap ringan tentang masa depan. Aku bahkan hampir tak pernah menggerakkan jemariku untuk mencari namamu dalam buku kontak teleponku. Mengirimkan beberapa bait ucapan terima kasih, ungkapan sayang, atau menanyakan perihal kabarmu. Aku juga lupa kapan persisnya aku memelukmu, menatap wajahmu, dan mencium tanganmu. Mungkin saja beberapa bulan yang lalu, setelah keberangkatan terakhirku ke tanah para penuntut ilmu.

Sekarang Ayah, di atas tanah para penuntut ilmu ini, aku tak pernah bosan mengirimkan do’a untukmu. Setiap kali ilmu agama itu kucicipi, setiap kali itu pula aku mendo’akan kebaikan atasmu. Kau tahu, Ayah? yang paling membuatku iri kepada teman-temanku bukanlah persoalan mereka memiliki kecerdasan dan nilai akademik yang tinggi. Bukan pula pada banyaknya harta dan fasilitas duniawi yang mereka miliki. Ada sesuatu yang lebih menggetarkan hatiku setiap kali mendengarkan mereka menceritakan sosok ayah-ayah mereka. Dan getaran itu selalu hadir setiap kali mereka menceritakan tentang melimpahruahnya ilmu agama yang mereka dapat dari ayahnya. Sedang aku, tidak demikian adanya. Ketika teman-temanku sudah memiliki perbekalan ilmu agama yang banyak, aku bahkan harus meniti jalan sendiri. Memulai semuanya untuk menjadi lebih baik.

Aku pernah mendengar bahwa ketika seorang anak melakukan kebaikan, maka berkah yang meliputinya akan sampai kepada kedua orang tuanya. Berkah itu bisa saja berupa perlindungan, kesehatan, dan kebaikan untuk kedua orang tuanya. Sungguh inilah salah satu tujuanku untuk tetap kuat dalam jalan para penuntut ilmu ini. Sebab aku sadar, Ayah. Bahwa mulut yang aku miliki tak pernah mampu untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin saja bisa menyakitimu. Aku lebih baik diam saja sembari terus mendo’akanmu. Dan inilah kelemahanku. Sungguh inilah kelemahanku yang belum bisa aku perbaiki.

Seringkali aku tertawa melihat tingkahku yang perlahan kusadari aku dapatkan darimu, Ayah. Kau ingat ketika aku masih kecil dulu, aku hampir tak pernah alpa mengaduk secangkir kopi untukmu di pagi hari. Jika ayah-ayah yang lain dibuatkan kopi oleh istrinya, maka kau lebih memilih dibuatkan kopi oleh anak perempuanmu. Secangkir kopi yang berisi harapan agar ada senyuman di wajahmu setelah kau menyeruputnya dan beberapa saat kemudian ada dua jempol untukku pertanda kopi itu amat terasa nikmat bagimu. Lalu, kau berangkat kerja dan pulang tatkala sore tiba. Sampai sekarang teman-temanku sering meledekku sambil bercanda, “perempuan kok suka sekali minum kopi?”. Aku hanya tersenyum. Sebab, setiap kali pertanyaan itu muncul, aku selalu teringat dirimu, Ayah. Pikirku, mungkin ini semacam simpul tak kasat mata yang menghubungkan kita. Cinta kita, lebih tepatnya.

Seiring berjalannya waktu, seiring pertambahan umurku dan tentu saja umurmu, aku semakin menyadari bahwa kebaikanmu, perjuanganmu, dan cintamu serupa fenomena gunung es. Hanya puncaknya saja yang terlihat. Sungguh ada yang jauh lebih besar di sebaliknya. Mungkin, didikan tentang ilmu agama memang sangat minim aku dapatkan darimu. Tapi tentang kekuatan, ketegaran, juga tentang kebesaran empati, merekalah hadiah terbesar yang aku dapatkan darimu. Merekalah penyanggaku hingga detik ini. Hingga mereka pulalah yang membuatku untuk terus mendo’akan kebaikan atasmu. Sebab aku yakin bahwa hanya Allah lah yang Maha membolak-balikkan hati. Ayah, sungguh aku sangat mencintaimu, menyayangimu dengan segala ketidaksempurnaanmu.

Ayah, kau tahu? Tak lama lagi kita akan kedatangan seseorang, hadiah terindah dari Yang Maha Indah. Cucu perempuanmu. Insya Allah :’)

Tuesday, March 31, 2015

Asa di Rumah Hijau



Orang-orang bisa saja membuat aturan, tata tertib, undang-undang, tapi kepercayaanlah yang membuktikannya. Aturan-aturan itu hanya merapikan, membuat urutan-urutan, pun mengikat. Tapi yang membuatnya berjalan, sekali lagi adalah kepercayaan. Alhamdulillah sudah hampir sebulan menjalani peran spektakuler sebagai istri. Kenapa spektakuler? Karena sebulan inilah ajang pembuktian dari sebuah mitsaaqan ghaliizha yang terikrar saat menjelang siang hampir sebulan yang lalu. Sebuah ikrar tentang janji kami kepada Allah. Dan semuanya, dibingkai dengan satu kata magis bernama “kepercayaan”. 

Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, semenjak mengulurkan tangannya, berbaiat, dan bersumpah setia kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia sadar bahwa hidupnya akan dibaktikan sepenuhnya di jalan Allah. Ia mengikrarkan sebuah janji, lalu ia membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya. Ia tulus bekerja, tulus melayani.

Maka semua menjelma menjadi kesetiaan abadi kala ia menjadi tameng Rasulullah di Uhud yang mengerikan. Ia cabut mata rantai yang menempel di pipi Rasulullah hingga ia ompong. Di saat itu pula ia mendahului Abu Bakar perihal berlomba bersegera dalam kebaikan. 

Pada mulanya memang ikrar janji, lalu kepercayaan. Setelah itu, lahirlah kesetiaan. Maka janji bagi orang mukmin adalah kontrak spiritual dengan Tuhannya, meski dalam pengaplikasiannya bisa saja berbeda di setiap dimensi waktunya. 


Semoga kepercayaan ini bisa menjelma menjadi bekal. Bekal yang memberi ketentraman, kesejukan, dan pelipur lara. Kami senantiasa belajar. Menyiapkan sebaik-baik bekal itu. Maka, mulailah berjanji dengan benar, janji yang sarat dengan ruh kepercayaan. Lalu hidup lama dengan kesetiaan. Sebagai istri, sebagai suami, sebagai orang yang beriman.
:)

*ditulis ketika rindu.