Saturday, December 1, 2012

Tembang untuk Langit

Dulu ketika anak-anak ingusan itu ditanya soal sahabat sejati, maka akan kau temukan mereka menunjuk pada sehelai kertas minyak yang telah dirangka bambu pada sisi-sisinya. Di setiap sore yang acak, di atas tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu selalu bersua dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Maaf saja, tidak ada lelah dalam kamus kehidupan mereka, yang ada hanya kekuatan untuk terus bermain di bawah sinar matahari yang hangat. Ah, betapa sederhananya kebahagiaan mereka. Sesederhana ketika mereka diberi uang jajan untuk membeli sekeping balon aa atau es kue warna-warni.

Suatu ketika, angin datang dengan gagahnya. Debu-debu beterbangan, memadati daki-daki di serat-serat kaos oblong yang semakin kusam. Lalu anak-anak kecil itu menemui akhir kebahagiaannya bersama sahabat sejati. Terbang, jauh, jauh dari uluran dan tarikan tangan-tangan kecil yang terkalahkan angin.

Lalu sahabat sejati mendapati dirinya pada ranting pohon kering yang tak terjangkau tangan-tangan kecil. Di sisi lain, ada pula yang beruntung ditemukan tangan-tangan kecil yang baru saja berlelah-lelah mengejar dirinya. Lalu ditambalnya luka-luka dengan sejumput kebahagiaan yang baru saja diciptakan. Hingga terbang kembali dan menikmati parade alam semesta adalah harapan yang nyata. 

Pada akhirnya, masalah bukan pada kerelaan melepas kebahagiaan yang telah ada digenggaman tangan, namun lebih dari itu. Anak-anak kecil ingusan belajar membagi kebahagiaannya dengan alam semesta. Pada ranting pohon kering yang mungkin saja kesepian, pada angin yang tidak ingin disebut tidak gagah, atau pada tangan-tangan kecil yang lain. Tangan-tangan yang mengandalkan kekuatan untuk berlari mengejar, bukan pada rengekan palsu agar ada yang mengasihani. 

Lalu, di tempat yang sama, di sore yang acak, di atas tanah yang berdebu, pada pijakan kaki yang coklat, anak-anak itu kembali bersua dalam teriakan-teriakan aneh yang memunculkan sejumput kebahagiaan. Siapa bilang kebahagiaan mereka hilang, melepas dan membagi kebahagiaan kepada alam semesta akan memunculkan kebahagiaan baru. Semacam imbalan yang telah dipersiapkan dari hasil kolaborasi alam yang tak kalah aneh. Hingga tiba pada suatu kesimpulan, bahwa segala sesuatu di bawah langit, termasuk kebahagiaan hanya berpindah posisi mengikuti suatu siklus yang niscaya. Tidak hilang, tidak pula lenyap. Mereka tetap ada walau mata tak lagi melihatnya. Mereka bersuara, walau telinga tak lagi mendengarnya. Di suatu waktu dan tempat yang entah, mereka akan muncul dalam hati yang senantiasa dibaluti dengan prasangka baik kepada Sang Pencipta.

Masalahnya sekarang adalah saya hampir tak mengetahui lagi siapa sahabat sejati anak-anak kecil yang hidup di zaman tua yang tak dewasa ini hingga kebahagiaan masih betah bersembunyi pada siklus keniscayaan itu.

No comments:

Post a Comment

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')