Dia gemintang, yang hampir tak pernah
menjangkau tendensi berlebihan pada diri Gingga. Dia purnama, yang hampir tak
pernah mengalahkan rasa kagum seorang Gingga pada bentangan seluas bumantara. Yang
semakin Gingga mengaguminya, semakin tinggi pula rasa ketidaklayakannya pada
secuil pun angkuh.
Lalu pada malam ini, Gingga menyeringai
ketika bulan menyapanya dalam setengah purnama yang berangsur hilang. Sedang gemintang,
mengedipkan isyarat agar mata tidak dulu terpejam.
Bulan, gemintang, dan malam. Semakin larut,
semakin mereka mengantarmu pada random ingatan yang membuatmu kembali rindu. Bahkan
pada sesuatu yang sama sekali belum engkau mulai, walaupun telah engkau temui.
Kembali hadir, seperti bulan dan gemintang
pada malam. Pada orang-orang yang menyaksikannya di bawah langit. Pada mata
yang sama, meski tempat yang berbeda.
Lalu Gingga mulai tak mengerti mengapa
ada rindu yang berkali-kali pada sesuatu yang hampir setiap hari ia temui. Adakah bulan
dan gemintang demikian adanya pada malam?
Gingga meraih bentangan yang lain. Sejenak
memilih lupa, lalu berusaha berdamai dengan malam,
berharap pagi datang lebih cepat. Membawa
simpul senyum jingga yang hangat.
Menangkapnya satu persatu, lalu membagikannya
pada orang-orang yang kembali merindu.
Agar jeda tak lagi sekedar ada.
No comments:
Post a Comment
Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')