Thursday, December 6, 2012

Jeda Gingga pada Malam

Dia gemintang, yang hampir tak pernah menjangkau tendensi berlebihan pada diri Gingga. Dia purnama, yang hampir tak pernah mengalahkan rasa kagum seorang Gingga pada bentangan seluas bumantara. Yang semakin Gingga mengaguminya, semakin tinggi pula rasa ketidaklayakannya pada secuil pun angkuh. 

Lalu pada malam ini, Gingga menyeringai ketika bulan menyapanya dalam setengah purnama yang berangsur hilang. Sedang gemintang, mengedipkan isyarat agar mata tidak dulu terpejam.

Bulan, gemintang, dan malam. Semakin larut, semakin mereka mengantarmu pada random ingatan yang membuatmu kembali rindu. Bahkan pada sesuatu yang sama sekali belum engkau mulai, walaupun telah engkau temui.
Kembali hadir, seperti bulan dan gemintang pada malam. Pada orang-orang yang menyaksikannya di bawah langit. Pada mata yang sama, meski tempat yang berbeda.

Lalu Gingga mulai tak mengerti mengapa ada rindu yang berkali-kali pada sesuatu yang hampir setiap hari ia temui. Adakah bulan dan gemintang demikian adanya pada malam? 

Gingga meraih bentangan yang lain. Sejenak memilih lupa, lalu berusaha berdamai dengan malam,
berharap pagi datang lebih cepat. Membawa simpul senyum jingga yang hangat.
Menangkapnya satu persatu, lalu membagikannya pada orang-orang yang kembali merindu.

Agar jeda tak lagi sekedar ada.

No comments:

Post a Comment

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')