Thursday, July 5, 2012

Nadjabagza


Semoga mata kalian tidak bosan melihat dan membaca. Bahwa lagi dan lagi saya belajar, saya menasehati diri sendiri melalui apa yang saya tuliskan. Adapun ketika pesan itu sampai dan bisa dicerna oleh kalian, sungguh itu adalah bonus yang bernilai luar biasa bagi saya. Karena dari awal, walaupun sangat tidak begitu fasih, saya menulis dengan harapan bahwa ada barang sepucuk hikmah yang bisa saya dan kalian petik dari apa yang saya tuliskan. 

Belajar tentang syukur, lagi-lagi saya mencoba menerjemahkan bahwa syukur adalah manifestasi dari apa yang kita lihat dan kita pikirkan. Bahwa tanpa syukur, selebih apapun kamu, kamu akan selalu merasa kurang. Meningkatkan pembilang dan mengurangi penyebut agar hasilnya semakin besar, kembali mengulangnya, lagi dan lagi, sampai hasilnya mentok pada hasil tak terhingga.

Sedangkan, pada saat yang sama, kondisi akan berbeda seratus delapan puluh derajat ketika  melihat mereka yang menyebut syukur sebagai dua kertas seribuan, sepiring nasi, seliter terigu, sebotol susu, sepasang sepatu sekolah, buku gambar, obat pereda rasa nyeri, bangku sekolah, sandal jepit, baju koko, securah minyak goreng, dan sepenggal senyum yang membuat mereka tidak pernah berpikir untuk merasa iri pada sekerat roti dan sepotong daging.

Bahwa saya belajar memosisikan diri untuk membuat syukur itu menjadi niscaya. Dan ketika saya bertanya pada diri saya sendiri, lebih dekat, maka syukur itu seperti matahari pada pukul setengah enam pagi. Ketika cahayanya tepat menembus lingkaran-lingkaran kecil pada dinding rumah. Kemudian memandang ibu mulai menyalakan kompor, dan saya yang mulai menyapu ruang tamu sampai sudut dapur, membuka jendela, membuatkan kopi untuk bapak, nonton ceramah, melihat bapak memanaskan mesin sepeda motornya, lalu duduk-duduk di tangga teras depan sambil menghitung bocah-bocah SD yang tak pernah saya lihat sebelumnya, berjalan beriringan menuju sekolah, sesekali berlari-lari kecil saling kejar. Mengingat-ingat lagi bahwa dulu, dulu sekali ketika saya seumuran mereka, saya belum bisa mengepang rambut sendiri, dipaksa sarapan dengan iming-iming uang jajan, makan permen karet bekas adik, main lompat tali, berkelahi, sampai pada adegan pura-pura tidur siang agar tidak mengaji. 

Besok, belum tentu saya bisa mendapatkan momen seperti ini. Karena sekali lagi, kita tak pernah tahu kemana takdir  Tuhan membawa kita. Satu hal yang penting, bahwa saya harus tetap bisa memosisikan diri saya agar syukur itu tetap menjadi niscaya tanpa mengubah nilai pembilang dan atau penyebut yang sebenarnya. 

Dan apa yang saya tuliskan, apa yang saya lakukan, tidak akan pernah bisa menyamai nikmat yang telah saya dapatkan selama dua puluh dua tahun ini. Bahkan, jauh sebelum orang tua saya dijodohkan dan akhirnya menikah.

3 comments:

  1. Syukur itu sederhana... Cukup memelihara apa yang kita miliki saat ini dan jangan mengkhwatirkan apa yang kita inginkan tp belum kita miliki, hehe itu menurut saya :)

    ReplyDelete
  2. knp ndk aktif no.hp ta' ukhti..??

    ReplyDelete

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')