Semoga
mata kalian tidak bosan melihat dan membaca. Bahwa lagi dan lagi saya belajar,
saya menasehati diri sendiri melalui apa yang saya tuliskan. Adapun ketika
pesan itu sampai dan bisa dicerna oleh kalian, sungguh itu adalah bonus yang bernilai
luar biasa bagi saya. Karena dari awal, walaupun sangat tidak begitu fasih,
saya menulis dengan harapan bahwa ada barang sepucuk hikmah yang bisa saya dan
kalian petik dari apa yang saya tuliskan.
Belajar
tentang syukur, lagi-lagi saya mencoba menerjemahkan bahwa syukur adalah
manifestasi dari apa yang kita lihat dan kita pikirkan. Bahwa tanpa syukur,
selebih apapun kamu, kamu akan selalu merasa kurang. Meningkatkan pembilang dan
mengurangi penyebut agar hasilnya semakin besar, kembali mengulangnya, lagi dan
lagi, sampai hasilnya mentok pada hasil tak terhingga.
Sedangkan,
pada saat yang sama, kondisi akan berbeda seratus delapan puluh derajat ketika melihat mereka yang menyebut syukur sebagai
dua kertas seribuan, sepiring nasi, seliter terigu, sebotol susu, sepasang
sepatu sekolah, buku gambar, obat pereda rasa nyeri, bangku sekolah, sandal jepit, baju koko, securah
minyak goreng, dan sepenggal senyum yang membuat mereka tidak pernah berpikir
untuk merasa iri pada sekerat roti dan sepotong daging.
Bahwa
saya belajar memosisikan diri untuk membuat syukur itu menjadi niscaya. Dan
ketika saya bertanya pada diri saya sendiri, lebih dekat, maka syukur itu seperti
matahari pada pukul setengah enam pagi. Ketika cahayanya tepat menembus
lingkaran-lingkaran kecil pada dinding rumah. Kemudian memandang ibu mulai
menyalakan kompor, dan saya yang mulai menyapu ruang tamu sampai sudut dapur, membuka
jendela, membuatkan kopi untuk bapak, nonton ceramah, melihat bapak memanaskan
mesin sepeda motornya, lalu duduk-duduk di tangga teras depan sambil menghitung
bocah-bocah SD yang tak pernah saya lihat sebelumnya, berjalan beriringan
menuju sekolah, sesekali berlari-lari kecil saling kejar. Mengingat-ingat lagi
bahwa dulu, dulu sekali ketika saya seumuran mereka, saya belum bisa mengepang
rambut sendiri, dipaksa sarapan dengan iming-iming uang jajan, makan permen
karet bekas adik, main lompat tali, berkelahi, sampai pada adegan pura-pura
tidur siang agar tidak mengaji.
Besok,
belum tentu saya bisa mendapatkan momen seperti ini. Karena sekali lagi, kita
tak pernah tahu kemana takdir Tuhan
membawa kita. Satu hal yang penting, bahwa saya harus tetap bisa memosisikan
diri saya agar syukur itu tetap menjadi niscaya tanpa mengubah nilai pembilang
dan atau penyebut yang sebenarnya.
Dan apa
yang saya tuliskan, apa yang saya lakukan, tidak akan pernah bisa menyamai
nikmat yang telah saya dapatkan selama dua puluh dua tahun ini. Bahkan, jauh sebelum
orang tua saya dijodohkan dan akhirnya menikah.
apa itu nadjabadza?
ReplyDeleteSyukur itu sederhana... Cukup memelihara apa yang kita miliki saat ini dan jangan mengkhwatirkan apa yang kita inginkan tp belum kita miliki, hehe itu menurut saya :)
ReplyDeleteknp ndk aktif no.hp ta' ukhti..??
ReplyDelete