“Rasanya sama saja. Cuma agak licin”.
Ibu
saya terbahak-bahak mendengar cerita saya di telepon. Semoga saja dia bangga,
anaknya yang satu ini sudah berhasil meminum dan menghabiskan teh dari
penampungan air hujan dengan kondisi sehat walafiat.
Di dua
desa yang kami validasi, lebih 90% penduduk memiliki sumber air minum dari air
hujan yang ditampung. Selebihnya, untuk aktivitas mencuci, mandi, buang air,
mereka menggunakan air sungai yang selalu tersedia di sekeliling rumah mereka.
Awalnya, mungkin terlihat ganjil. Tapi lama kelamaan, pemandangan ini sudah
lumrah kami dapatkan di sepanjang pemukiman Sungai Kapuas.
Hari itu,
hari kedua proses validasi di Desa Batuah. Seorang responden yang baik hati
(semua penduduk yang kami temui baik hatinya. Sopan dan santun bicaranya)
mungkin mampu membaca wajah kami yang sedang kehausan. Namanya Bu Masita, suaminya sudah lama meninggal. Beliau sudah tua, tapi
masih lincah ke mana-mana. Ia menyuguhkan kami minum. Sembari diwawancarai oleh
teman saya, saya sempat merekam aksinya yang lincah. Sebelumnya, kami telah
memperkenalkan diri dan memberitahu perihal kurang mengertinya kami dengan
bahasa Banjar. Namun, karena lincahnya, Bu Masita tetap menjawab pertanyaan
dalam bahasa Banjar, bahkan curhat sama teman saya. Teman saya yang
mewawancarai ngangguk-ngangguk saja, padahal dia nya tidak mengerti. Hehehe
Sebelum
wawancaranya selesai, anak Bu Masita keluar membawa nampan. “asyik, kita minum”,
teriak saya dalam hati. Wajah kedua teman saya sumringah. Mungkin mereka sudah
sangat haus. Bu Masita mempersilakan kami minum sembari wawancaranya terus
berlangsung. “maaf ya nak, air teh yang ada cuma dari air hujan”, katanya dalam
bahasa Indonesia.
Mata teman
saya tertohok. Menahan nafas. Hmm, saya juga. Dilema. Takut membuat ibu yang
baik ini tersinggung. Akhirnya, saya memikirkan dengan cepat bagaimana cara
agar teh ini bisa habis dengan cepat pula. Sepertinya teman saya berpikir
demikian juga. Kalau teman saya memilih meminumnya sedikit-sedikit, maka saya
memilih untuk meminumnya satu kali teguk tanpa nafas. Mata teman saya memerah,
dan saya? Alhamdulillah tidak merasakan apa-apa selain dahaga yang hilang. Tehnya
habis. Haha. Lalayeye. Percaya deh, rasanya sama saja dengan air teh yang biasa
kita minum. Cuma memang sih, tekstur airnya agak licin :D
Alhamdulillah
kedua teman saya juga bisa menghabiskan teh itu dengan sempurna. Ah, ternyata
kami memang kehausan. Terima kasih Bu Masita, semoga sehat selalu. Terima kasih
juga telah meminjamkan sepedanya untuk saya :’)
No comments:
Post a Comment
Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')