Thursday, July 4, 2013

Teh Rasa Air Hujan



“Rasanya sama saja. Cuma agak licin”.
Ibu saya terbahak-bahak mendengar cerita saya di telepon. Semoga saja dia bangga, anaknya yang satu ini sudah berhasil meminum dan menghabiskan teh dari penampungan air hujan dengan kondisi sehat walafiat. 

Di dua desa yang kami validasi, lebih 90% penduduk memiliki sumber air minum dari air hujan yang ditampung. Selebihnya, untuk aktivitas mencuci, mandi, buang air, mereka menggunakan air sungai yang selalu tersedia di sekeliling rumah mereka. Awalnya, mungkin terlihat ganjil. Tapi lama kelamaan, pemandangan ini sudah lumrah kami dapatkan di sepanjang pemukiman Sungai Kapuas. 



Hari itu, hari kedua proses validasi di Desa Batuah. Seorang responden yang baik hati (semua penduduk yang kami temui baik hatinya. Sopan dan santun bicaranya) mungkin mampu membaca wajah kami yang sedang kehausan. Namanya Bu Masita, suaminya sudah lama meninggal. Beliau sudah tua, tapi masih lincah ke mana-mana. Ia menyuguhkan kami minum. Sembari diwawancarai oleh teman saya, saya sempat merekam aksinya yang lincah. Sebelumnya, kami telah memperkenalkan diri dan memberitahu perihal kurang mengertinya kami dengan bahasa Banjar. Namun, karena lincahnya, Bu Masita tetap menjawab pertanyaan dalam bahasa Banjar, bahkan curhat sama teman saya. Teman saya yang mewawancarai ngangguk-ngangguk saja, padahal dia nya tidak mengerti. Hehehe

Sebelum wawancaranya selesai, anak Bu Masita keluar membawa nampan. “asyik, kita minum”, teriak saya dalam hati. Wajah kedua teman saya sumringah. Mungkin mereka sudah sangat haus. Bu Masita mempersilakan kami minum sembari wawancaranya terus berlangsung. “maaf ya nak, air teh yang ada cuma dari air hujan”, katanya dalam bahasa Indonesia. 

Mata teman saya tertohok. Menahan nafas. Hmm, saya juga. Dilema. Takut membuat ibu yang baik ini tersinggung. Akhirnya, saya memikirkan dengan cepat bagaimana cara agar teh ini bisa habis dengan cepat pula. Sepertinya teman saya berpikir demikian juga. Kalau teman saya memilih meminumnya sedikit-sedikit, maka saya memilih untuk meminumnya satu kali teguk tanpa nafas. Mata teman saya memerah, dan saya? Alhamdulillah tidak merasakan apa-apa selain dahaga yang hilang. Tehnya habis. Haha. Lalayeye. Percaya deh, rasanya sama saja dengan air teh yang biasa kita minum. Cuma memang sih, tekstur airnya agak licin :D
Alhamdulillah kedua teman saya juga bisa menghabiskan teh itu dengan sempurna. Ah, ternyata kami memang kehausan. Terima kasih Bu Masita, semoga sehat selalu. Terima kasih juga telah meminjamkan sepedanya untuk saya :’)

No comments:

Post a Comment

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')