Kurang lebih
dua pekan yang lalu, kami masih menghadiri acara pernikahan sama-sama. Saya,
dia, dan belasan teman-teman sepergaulan semasa SMA dulu. Tadi subuh, beberapa
menit ketika shalat baru saja tertunaikan, dia menelepon. Saya agak kaget, sebab dia adalah salah satu teman
lama yang jarang menghubungi saya. Terakhir dia menghubungi saya dua bulan yang
lalu sewaktu dia hendak melaksanakan ujian tutup di fakultasnya. Minta do’a dan
akhirnya melucu seperti biasanya. Memang sepulang dari acara pernikahan itu,
teman-teman yang lain banyak yang bilang bahwa dia akan berangkat.
Alhamdulillah, walaupun butuh tujuh tahun untuk menyelesaikan studi
kesarjanaannya, dia begitu cepat mendapatkan pekerjaan, hanya terbilang sebulan
semenjak kelulusannya sebagai sarjana teknik. Jadilah hari itu teman-teman
banyak yang memberikan nasehat ala kadarnya tersebab lebih banyak teman-teman
yang tidak percaya kalau dia akan berangkat secepat itu.
Sewaktu
menerima teleponnya, dia banyak bercerita tentang dirinya setelah seminggu di
tanah rantau. Bagaimana pekerjaannya, bagaimana kondisinya, bagaimana enaknya
ikan nila di lokasi kerjanya, dan blablabla. Kami terpaut perbedaan waktu satu
jam. Saat dia menelepon, di sana adzan subuh belum berkumandang, dia juga belum
pernah tidur. Masih berjaga-jaga kalau saja ada kapal yang merapat. Ah, saya
tidak begitu mengerti apa yang dia kerjakan dengan kapal-kapal itu. Saya lebih
banyak mendengar ceritanya yang lebih sering mengeluhkan dirinya yang tak
mengenal siapa-siapa dibanding mengeluhkan mahalnya biaya hidup di sana.
Sesekali saya bertanya tentang masyarakat di lokasi kerjanya. Tentang
kebudayaannya, juga tentang pola hidup masyarakat di sana. Sebab saya memandang
bahwa masyarakat memberi pengaruh yang besar terhadap kenyamanan kita di suatu
tempat. Suka atau tidak suka, betah atau tidak betahnya kita di suatu tempat
amat tergantung dengan bagaimana masyarakatnya. Bagi saya pribadi, saya lebih
bisa bertahan dengan kondisi teknologi yang buruk di suatu tempat dibanding
bertahan dengan kondisi masyarakat yang amburadul.
Setelah
hampir sejam dia bercerita, mungkin juga karena sudah bosan, tanpa aba-aba dia
menanyakan tugas akhir saya yang sedang mengalami masa vakum. Ah, padahal saya
sedang tidak ingin membicarakan hal itu. Mau tidak mau saya menceritakan bahwa
saya masih belum juga melakukan penelitian tersebab suatu hal yang belum juga
rampung. Padahal kalau ditanya, saya sudah sangat ingin meneliti. Hehe.
Abaikan.
Akhirnya,
percakapan kami selesai setelah tak ada lagi topik yang penting untuk
dibicarakan. Dia menutup teleponnya, mengucap salam, dan berhasil membuat saya
kepikiran sesuatu setelahnya. Pertanyaannya tentang tugas akhir membuat pikiran
saya terbang jauh tentang “akan kemana kaki” saya setelah tugas akhir ini
rampung dan saya diwisuda?. Dua tahun yang lalu, saya begitu siap dengan
keputusan “bersedia ditempatkan di mana saja”. Sekarang pun sebenarnya saya
masih siap. Hanya saja, saya kemudian berpikir bahwa, apa yang terjadi jika di
sana nanti saya mengalami apa yang teman saya ceritakan. Sendiri di tengah
orang-orang yang belum kita kenal dengan baik sepertinya mampu membuat saya
mengkhawatirkan diri saya. Lebih kepada iman saya yang memang pada dasarnya
berfluktuasi. Sebab, sekali lagi orang-orang di sekitar kita memang memberi
pengaruh yang signifikan jika kita berbicara soal keimanan. Sekarang saya masih
bisa tertawa lepas, masih merasa baik-baik saja sebab saya hidup di tengah
orang-orang dan lingkungan yang kondusif. Mendengar cerita orang-orang
yang mengalami “perubahan” tersebab lingkungannya yang tidak kondusif sudah cukup menjadi bahan renungan tentang tidak mudahnya seseorang bertahan dalam kebaikan.
Tiba-tiba
saja, saya ingin agar bulan-bulan yang tersisa di tahun ini berjalan lebih pelan. Agar waktu
bersama dengan orang-orang di sekitar terasa lebih lama. Pun
dengan bekal menuju hari itu, agar cukup untuk membuat saya bertahan.
Tidak hanya bertahan pada hidup, tapi ada yang lebih penting dari itu. Bertahan
dalam kondisi keislaman yang baik. Semoga Allah senantiasa mencurahkan
rezekiNya. Bukan sekedar rezeki dalam bentuk materi. Tapi lebih dari itu. Ada rezeki
berupa orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebenaran dan
kesabaran di manapun kelak kaki saya berpijak menjalani ketetapanNya.
No comments:
Post a Comment
Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')