"...Tidak pernah ada yang tahu isi hati. Dan
aku bersyukur untuk semua itu".
(Kurniawan Gunadi)
Ketika
manusia dibekali kemampuan untuk membaca isi hati, maka tidak ada lagi
kebiasaan menebak-nebak isi hati. Padahal, tidak sedikit orang yang
menikmatinya.
Tak ada
lagi setumpuk kata yang menari-nari di simpul saraf otak yang membuatmu
bertanya-tanya tentang kepastian ini, kepastian itu.
Tak ada lagi rahasia yang bisa disimpan di
ruang hati yang terdalam, karena begitu bertemu, sontak saja isi hati itu sudah
bisa terbaca. Cintamu, perhatianmu, bencimu, sukamu, kagummu, amarahmu. Maka ruang hati yang
terdalam tak lain hanya menjadi sebuah ruang hampa yang tak lagi berguna.
Tak ada
lagi kepura-puraan dalam perpisahan. Pun kepura-puraan dalam pertemuan. Sedihmu
terbaca saat berpisah. Senangmu terbaca saat bertemu. Tak ada lagi kejutan
dengan letupan kecil di dadamu. Karena, semua hati yang kau temui bisa kau baca
dengan mudah.
Lalu, kemampuan membaca isi hati akan
menggiringmu pada berkurangnya pula satu kesempatan untuk berbuat baik.
Mengapa? Karena ketidakmampuan membaca isi hati, akan mendorongmu untuk
senantiasa berprasangka baik. Mau atau tidak, siap atau tidak, berprasangka
baik adalah manifestasi dari ketidakmampuanmu membaca isi hati. Lalu prasangka
itu pula yang akan mengantarkanmu kepada kasih sayangNya.
Jika
manusia dimampukan untuk membaca isi hati, maka prasangka akan bergantung pada
apa yang ia baca, bukan?
Selalu,
tersembunyi banyak hikmah dari “keterbatasan” yang Ia ciptakan. Adakah kita
mengambil pelajaran?
No comments:
Post a Comment
Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')