Memang ya, mengerjakan
tugas itu sangat amat membutuhkan seni. Seni menjaga pola makan, seni mencari
bahan laporan, seni mencuri-curi waktu, sampai seni beladiri. Membagi waktu antara
mengerjakan tugas kuliah, melaksanakan amanah lingkaran, dan mengurus tugas
rumah tangga (halah sok) membuat saya harus memiliki tenaga ekstra. Banyak hal
yang sudah berubah. Dulu, kepuasan saya hanya terbentur pada selesainya tugas. Hanya
sampai di situ. Sekarang, semakin ingin mencapai akhir, saya semakin bertingkah
sebagai komentator untuk tugas saya sendiri. Jadilah saya sebagai orang yang
harus perfeksionis dalam hal ini. Mana lagi kerja tim yang sangat dituntut.
Suatu
hari, saya pernah menanyakan suatu hal kepada tim/kelompok di kelas saya yang
sedang mempresentasikan laporannya. Lalu tak disangka, pertanyaan ini dijawab
langsung oleh professor epidemiologi yang mengajar pada saat itu. Bahwa keterampilan
di masa depan yang paling dituntut dari seorang epidemiolog adalah penguasaan seluruh
perangkat lunak analisis statistik, keterampilan komunikasi visual, dan kerja
tim. Tiga pilar ini merangkum seluruh kebutuhan masa depan terhadap dunia
epidemiologi. Saya? Hadeuh, masih jauh dari standar yang diinginkan. Masih harus
banyak belajar dari orang-orang yang sudah ahli. Dan menurut saya nih ya, bukan
semata-mata mampunya kita untuk memiliki keterampilan tersebut, tapi semangat
belajar itu yang penting. Jangan mudah puas terhadap apa yang telah kita
mampuni saat ini. Jangan congkak, apalagi suka memanfaatkan kesempatan untuk “membodohi”
satu sama lain.
Teringat
sosok sahabat Rasulullah, Abdullah Bin Ummi Maktum. Sepupu dari Siti Khadijah
Radiyallahu ‘anha. Seorang buta yang sama sekali tidak surut semangatnya dalam
mempelajari Islam. Beliau adalah musabab turunnya surah ‘Abasa, yang merupakan
teguran untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pada saat itu
bermuka masam ketika Abdullah Bin Ummi Maktub hendak belajar Islam padanya.
Mungkin
saja kita tidak tahu, bahwa Abdullah Bin Ummi Maktum adalah muadzin di zaman
Rasulullah selain Bilal Bin Rabah. Mungkin juga kita tidak tahu, bahwa Abdullah
Bin Ummi Maktum pernah beberapa kali menggantikan posisi Rasulullah sebagai
walikota Madinah. Atau, ketika turun ayat tentang pengecualian untuk tidak ikut
berperang bagi mereka yang memiliki udzur (tidak mampu), Abdullah Bin Ummi
Maktum tetap ikut dan menjadi salah satu pemegang bendera Islam yang syahid
pada perang Qadisiah melawan tentara Persia penyembah berhala. Pada saat itu, kemenangan
gemilang atas Islam. Maka, hikmah apalagi yang kiranya tidak membuat kita
tercengang dari kisah Abdullah Bin Ummi Maktum?
Pada Abdullah
Bin Ummi Maktum yang buta mata fisiknya, Allah memberinya mata hati yang
cemerlang untuk mempelajari Islam. Semoga saya dan kita semua yang sempurna
fisiknya, yang masih bisa melihat, mendengar, berfikir, dan berucap mampu
mengambil hikmah yang terserak dari kisah beliau. Menjadi cermin ketika kita
sedang fakir semangat dan menjadi pengingat ketika kita sedang terlampau
lapang. Agar tak ada lalai dalam mempelajari ilmu.
Selamat
belajar! Semoga kita senantiasa bersemangat dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu
kebaikan, apapun itu. Lillah,fillah
:)
No comments:
Post a Comment
Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')