Tanpa sempat pamit pada malam, kuputuskan saja untuk masuk ke ruang mediasiku lalu mengaduk secangkir kopi yang sedari tadi menungguku. Tiba-tiba air mataku tumpah setelah kuseruput sedikit kopi itu. Ternyata, aku merindukan saat-saat dimana setiap pagi harus mengaduk secangkir kopi untukmu. Secangkir kopi yang berisi harapan agar ada senyuman di wajahmu setelah kau menyeruputnya dan beberapa saat kemudian ada dua jempol untukku pertanda kopi itu amat terasa nikmat untukmu. Lalu kau berangkat kerja dan pulang tatkala sore tiba. Berharap ketika pulang, kau membawa bungkusan untukku dan untuk adikku. Walaupun faktanya kau lebih sering tidak membawa apa-apa selain rasa capek dan lelah fisikmu bekerja seharian.
Ah, tiba-tiba semuanya berubah jadi rindu. Seperti rindu yang kau sampaikan pada langit malam.
Akhirnya, aku mengerti mengapa aku tak mendapat jawaban tentang seberapa besar rindumu padaku. Karena ia memang tak terhitung jumlahnya. Jumlahnya yang terlampau banyak bahkan membuatnya dapat ditemukan dalam secangkir kopi sekalipun.
Terima kasih yaa Allah, kudapatkan lagi manisnya cinta dari seorang hambaMu.
Terima kasih Ayah, sungguh aku sangat mencintaimu, menyayangimu dengan segala ketidaksempurnaanmu.
Aku akan pulang. Mengaduk secangkir kopi untukmu, melihatmu memakai kopiah karanjang, dan bercerita tentang konsep masa depan yang baru saja kurancang. Insya Allah !
jangan pulang dulu sebelum kamu mengajarkanku bagaimana melampiaskan rindu ke dalam blog
ReplyDeletejadi irih dng orng2 yang masih bisa bertemu dan berbakti kepada orang tuanya....
ReplyDelete