Jo.. Jo..!
Aku menuju tua
Anakku sudah tiga
Tak ada yang paling berharga
selain bersetia pada mereka.
Awal tahun, sepulang Pak Agus dinas dari Kota Barito, kami berdua berdiskusi dan akhirnya siap memasuki kembali fase menjadi bumil dan pakmil yang sesungguhnya tidak pernah mudah. Tapi menunda lama pun, saya pikir juga bukan jalan keluar terbaik saat ini. Dua tahun lalu, alasan pandemi menjadi sangat masuk akal untuk menunda menambah momongan, juga ditambah dengan aktivitas Pak Agus sebagai mahasiswa PPDS yang masih sangat tinggi di rumah sakit kala itu.
Alhamdulillah, kondisi semakin membaik. Pak Agus juga sudah memasuki semester-semester akhir sebagai mahasiswa PPDS. Kami banyak-banyak berdoa dan berusaha memantapkan hati. Saya kembali membayangkan pengalaman hidup di awal-awal masa kehamilan sebelumnya. Tak mudah tapi bisa kok dilalui. Insyaallah kali ini pun, dengan pertolongan Allah, hal serupa juga bisa terlalui dengan baik. Meski ternyata, tantangannya jauh lebih besar dibanding dua kehamilan sebelumnya. Ada si kakak yang sudah bersekolah, dan si anak kedua yang semakin aktif dan penasaran pada banyak hal :’)
Kuasa Allah, tak butuh waktu lama untuk melihat kembali garis dua di alat tes kehamilan. Melihat refleksi wujudnya saat melakukan USG, mendengar detak jantungnya, mengetahui jenis kelaminnya, duh! masih saja takjub, masyaallah.
Kini, saya tengah menjalani trimester kedua yang membahagiakan setelah trimester pertama yang sungguh amat menantang. Mahasiswa PPDS juga memperlihatkan kemajuan pesat di kampusnya. Ia semakin bureng agar lekas menjadi spesialis yang saleh dan penuh kebermanfaatan. Saat masih mual muntah kemarin, ia mengabarkan berita baik bahwa ia lolos ke sebuah konferensi internasional di negeri para oppa. Tentu sebagai istri, saya amat senang lagi bersyukur atas kabar itu. Beberapa hari setelahnya, saya kembali terkejut dibuatnya karena ia mengajak si bumil ini untuk menemaninya selama di sana. Sekalian babymoon katanya. Hahahha.
Oke, kita tancap gas mempersiapkan semua sambil berdoa agar si bumil ini tetap fit lagi lincah.
Setidaknya ungkapan inilah yang menjadikan saya untuk terus mencoba menebar hikmah lewat tulisan-tulisan yang terangkai dari jari-jari ringkih saya. Sudah sekian lama saya cinta menulis. Di buku diari, di blog pribadi, juga di kertas-kertas untuk saya selipkan di kantong baju suami. Kecintaan saya bertambah ketika menyadari bahwa tidak semua hal yang menari di kepala, mampu saya ungkapkan dengan berbicara. Bahkan, seringnya saya hanya terbata-bata. Keikutsertaan saya dalam beberapa proyek antologi di awal tahun 2021, adalah bentuk keharuan yang luar biasa. Sebab ternyata, tulisan-tulisan yang diterbitkan bisa membawa perubahan positif pada jiwa dan hati saya. Saya tak mengerti. Tapi bisa jadi, perubahan itu lahir karena doa-doa pembaca yang menjelma menjadi obat pereda rasa nyeri. Manifestasi yang indah, bukan?
Hingga akhirnya, penghujung tahun 2021 hadir membawa seperangkat harapan. Menulis buku “Pada Mata yang Jelaga” ini, memancing saya untuk banyak belajar, membaca ragam literatur, dan berpikir tentang ragam manusia, tempat, waktu, kejadian, serta ingatan-ingatan yang menaunginya. Ada banyak kisah tentang pertemuan, perpisahan, kehilangan, harapan, dan penyesalan. Ragam manusia yang mengukir jejak kakinya di sana, ingin berbagi rasa. Tentang hangatnya pertemuan, tentang pahitnya perpisahan, pun mungkin tentang beratnya kehilangan. Tapi hidup, sungguh harus berlanjut menjadi lebih baik setelah melewati tempaan-tempaan itu. Sebab, ada kekuatan dan harapan yang pelan-pelan mekar kembali dengan berani.
Tak ada yang mudah jika tidak dimulai dan ditekuni. Menulis buku Pada Mata yang Jelaga, sesungguhnya bukanlah tanpa hambatan. Sebab ternyata, menghimpun lintasan-lintasan pikiran menjadi sedulang hikmah, cukuplah berat lagi menguras tenaga. Hingga, tidaklah berlebihan bila bentuk kesyukuran saya yang paling awal adalah ketika melihatnya rampung. Selanjutnya, sungguh besar harapan saya agar kesyukuran-kesyukuran itu terus beranak pinak, mengakar hingga di hati para pembacanya kelak. Buku yang terbilang masih sederhana ini, semoga mampu memberi hikmah dan manfaat sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang merajut antara hikmah dan amal perbuatan.
Sekali lagi, menulislah dan jangan seperti buih. Sebab buih, akan hilang
sebagai sesuatu yang tiada harganya. Sedangkan yang memberi manfaat kepada
manusia, akan tetap tinggal di bumi. Ucapan menguap, tulisan akan abadi, meski
raga tak ada lagi.
Sebenarnya, saya pun masih bingung perihal suka atau tidaknya saya dengan keromantisan. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya tidak begitu suka dengan pelukan, buket bunga, coklat, sanjungan, kejutan, dan ingatan akan hari-hari spesial. Tapi di sisi lain, mereka memang cenderung lebih bisa membuat saya geli. Mungkin yang berani saya katakan adalah penilaian seseorang terhadap keromantisan itu yang berbeda-beda. Cukup mendapati seseorang menggantung handuk dengan benar atau menanggapi permintaan anak-anak, lalu membiarkan saya mengajar dan menghabiskan kopi dengan damai, maka segalanya bisa membuat saya kelepek-kelepek kembali.
Hingga saya mengerti bahwa klimaks haru yang berkorelasi dengan anggapan keromantisan seseorang memang bersandar pada hal-hal yang paling krusial saat itu. Apa yang paling kamu butuhkan, lalu terpenuhi, maka itulah keromantisan.
Saya tidak begitu suka dengan pelukan. Akhirnya, kenyataan itu membawa saya pada aktivitas memeluk yang jarang. Saya pun pernah mengambil kesimpulan bahwa saya adalah orang yang tidak romantis yang dibesarkan di lingkungan yang tidak romantis dan lalu hidup dengan orang yang tidak romantis. Lalu apakah hal itu menjadi masalah? Sejauh ini belum. Tapi seiring bertambahnya usia sebagai penghuni mahligai rumah tangga, nyatanya ada saja hal yang tiba-tiba berubah.
Pelukan, menjadi bahasa sayang yang paling dalam.
Anak-anak saling rebut. Terkadang saling pukul. Saya mulai bingung.
Setiap malam sebelum tidur, beberapa waktu ini, meski memang terlambat menyadari, tapi tak mengapa, saya merasa bahasa sayang itu menjelma menjadi kebutuhan primer. Dampaknya, saya rasa jauh lebih baik dalam meningkatkan daya tahan tubuh dan jiwa. Bukan cuma saya yang merasa lebih tenang. Tapi kondisi anak-anak yang sudah berjuang sejauh ini melawan rasa bosan di rumah terus, menjadi lebih lunak. Kakak sayang dan mengayomi. Adik hampir bisa dipastikan tidak lagi suka mengganggu. Mereka mencipta hubungan yang lebih hangat.
Saya jadi sering berdoa agar saya tidak jadi ibu yang kaku-kaku amat. Sebab setiap malam, entah mengapa, mereka selalu ingat menagih pelukan itu sebelum tidur, walau terkadang mesti pakai bahasa kode-kodean yang bikin geli. Ah! mengapa pelukan selalu seperti itu? :D