Sudah
tujuh tahun. Di sini, kami sudah bertingkah seperti laiknya orang bersaudara. Nyaris
tidak butuh waktu yang lama untuk menjadi seperti itu. Alhamdulillah, kami yang
sudah lama menghuni “rumah sementara” ini selalu diberi kemudahan untuk
berinteraksi dan membangun hubungan positif dengan mereka yang baru saja datang
hendak menghuni.
Hasilnya, di sini kami diberi kesempatan belajar membangun
keluarga yang baru. Sebab, tentu saja keluarga utama kami berada di kampung halaman
masing-masing. Ya, namanya keluarga, tentu yang kami rasakan bukan hanya yang
enak-enak. Sesekali, rasa pahit datang menyambar. Menguji tali persaudaraan
yang kami bangun. Ada yang nyaris putus. Tapi berkat pertolongan Allah, tali
itu terajut kembali dengan ikatan yang lebih kuat.
Sebagai
orang-orang yang dipayungi oleh payung tarbiyah, lingkungan sekitar mendorong
kami untuk selalu bercerita panjang lebar tentang dunia Islam dan permasalahannya. Dengan
ilmu yang masih terbata-bata, kami belajar dan berdiskusi tentang politik, hukum,
kesehatan, ekonomi, dan budaya dalam perspektif Islam. Bidang keilmuan dan payung tarbiyah kami
memang berbeda-beda. Tapi apalah arti perbedaan itu jika yang hendak dilewati
adalah hujan dan terik yang sama? Justru lewat payung-payung yang berbeda
itulah tali persaudaraan kami dikuatkan. Perbedaan itu pula yang berhasil
membuat diskusi-diskusi kami menemukan solusi lewat sudut pandangnya yang
berbeda-beda.
Di penghujung tahun
lalu, suatu malam setelah shalat Isya berjama’ah, kami berkumpul di depan televisi
yang juga kami beli secara berjama’ah. Waktu itu, kami terjadwal mendengar
sebuah kajian dari seorang ustadz yang bernama Armen Halim Naro –semoga Allah
merahmatinya-. Sebuah kajian bertema pernikahan. Jangan salah, kalau sudah
membahas tema yang satu ini, penghuni rumah akan memiliki daya improvisasi yang
luar biasa. Entah darimana datangnya. Refleks jika satu suara menyebut kata “menikah”,
maka akan banyak suara-suara sumbang yang entah berasal dari ruangan mana. Ya, namanya juga perempuan.
Menurut
saya, kajian yang dibawakan oleh ustadz Armen Halim Naro terbilang langka. Temanya
memang sudah sangat umum dibicarakan. Namun, beliau mampu membawakan kajian
pernikahan itu dari sudut pandang yang berbeda. Maka, beberapa hari yang lalu, saya
mendengar kembali kajian itu. Hendak merangkum isinya dalam bentuk tulisan yang
singkat, padat, dan jelas. Saya tuangkan rangkuman isinya dalam beberapa paragraf
saja. Saya ketik dengan hati-hati untuk saya berikan kepada perempuan yang saya
cintai dan sayangi karena Allah.
Akhirnya, di subuh buta
selanjutnya, tulisan singkat itu berhasil menginjak seberang propinsi bersamaan
dengan kedua kaki saya. Lebih cepat beberapa jam dari ikrar mitsaaqon gholiiza yang hendak diucapkan
oleh seorang lelaki kepada perempuan yang saya cintai dan sayangi
karena Allah.
Beberapa jam kemudian, saya
pulang dengan bahagia meski lelah. Bersemangat menyelesaikan penelitian sambil menghadiri
undangan-undangan pernikahan selanjutnya. Ya, yang terakhir itu, tiba-tiba menjadi
“hobby baru” saya di akhir pekan hampir dua bulan ini. Sampai-sampai saya mesti
kelimpungan mau menghadiri yang mana (halah).
Hujan dan
terik saling berganti dari balik jendela. Sejauh mata memandang, terlihat payung-payung berpapasan
begitu saja. Sebagiannya lagi saling mencari, menemukan, dan ditemukan di tempat berteduh. Kemarin, seseorang dengan payungnya mampir berteduh di rumah
sementara kami dan akhirnya menemukan pasangan payungnya. Mereka hendak melewati hujan
dan terik bersama-sama. Hobby baru di akhir pekan, sepertinya masih akan
berlangsung sampai bulan Ramadhan tiba.
mau bagaimana pun warna payungnya
ReplyDeletehujannya akan tetap sama
:)
That's the point :))
ReplyDeleteahh.. jadi kangen suasana pondokan >.<
ReplyDelete