Tuesday, June 3, 2014

Payung Kami Berbeda



Sudah tujuh tahun. Di sini, kami sudah bertingkah seperti laiknya orang bersaudara. Nyaris tidak butuh waktu yang lama untuk menjadi seperti itu. Alhamdulillah, kami yang sudah lama menghuni “rumah sementara” ini selalu diberi kemudahan untuk berinteraksi dan membangun hubungan positif dengan mereka yang baru saja datang hendak menghuni. 

Hasilnya, di sini kami diberi kesempatan belajar membangun keluarga yang baru. Sebab, tentu saja keluarga utama kami berada di kampung halaman masing-masing. Ya, namanya keluarga, tentu yang kami rasakan bukan hanya yang enak-enak. Sesekali, rasa pahit datang menyambar. Menguji tali persaudaraan yang kami bangun. Ada yang nyaris putus. Tapi berkat pertolongan Allah, tali itu terajut kembali dengan ikatan yang lebih kuat. 

Sebagai orang-orang yang dipayungi oleh payung tarbiyah, lingkungan sekitar mendorong kami untuk selalu bercerita panjang lebar tentang dunia Islam dan permasalahannya. Dengan ilmu yang masih terbata-bata, kami belajar dan berdiskusi tentang politik, hukum, kesehatan, ekonomi, dan budaya dalam perspektif Islam.  Bidang keilmuan dan payung tarbiyah kami memang berbeda-beda. Tapi apalah arti perbedaan itu jika yang hendak dilewati adalah hujan dan terik yang sama? Justru lewat payung-payung yang berbeda itulah tali persaudaraan kami dikuatkan. Perbedaan itu pula yang berhasil membuat diskusi-diskusi kami menemukan solusi lewat sudut pandangnya yang berbeda-beda. 

Di penghujung tahun lalu, suatu malam setelah shalat Isya berjama’ah, kami berkumpul di depan televisi yang juga kami beli secara berjama’ah. Waktu itu, kami terjadwal mendengar sebuah kajian dari seorang ustadz yang bernama Armen Halim Naro –semoga Allah merahmatinya-. Sebuah kajian bertema pernikahan. Jangan salah, kalau sudah membahas tema yang satu ini, penghuni rumah akan memiliki daya improvisasi yang luar biasa. Entah darimana datangnya. Refleks jika satu suara menyebut kata “menikah”, maka akan banyak suara-suara sumbang yang entah berasal dari ruangan mana.  Ya, namanya juga perempuan.

Menurut saya, kajian yang dibawakan oleh ustadz Armen Halim Naro terbilang langka. Temanya memang sudah sangat umum dibicarakan. Namun, beliau mampu membawakan kajian pernikahan itu dari sudut pandang yang berbeda. Maka, beberapa hari yang lalu, saya mendengar kembali kajian itu. Hendak merangkum isinya dalam bentuk tulisan yang singkat, padat, dan jelas. Saya tuangkan rangkuman isinya dalam beberapa paragraf saja. Saya ketik dengan hati-hati untuk saya berikan kepada perempuan yang saya cintai dan sayangi karena Allah. 
Akhirnya, di subuh buta selanjutnya, tulisan singkat itu berhasil menginjak seberang propinsi bersamaan dengan kedua kaki saya. Lebih cepat beberapa jam dari ikrar mitsaaqon gholiiza yang hendak diucapkan oleh seorang lelaki kepada perempuan yang saya cintai dan sayangi karena Allah. 

Beberapa jam kemudian, saya pulang dengan bahagia meski lelah. Bersemangat menyelesaikan penelitian sambil menghadiri undangan-undangan pernikahan selanjutnya. Ya, yang terakhir itu, tiba-tiba menjadi “hobby baru” saya di akhir pekan hampir dua bulan ini. Sampai-sampai saya mesti kelimpungan mau menghadiri yang mana (halah). 
Hujan dan terik saling berganti dari balik jendela. Sejauh mata memandang, terlihat payung-payung berpapasan begitu saja. Sebagiannya lagi saling mencari, menemukan, dan ditemukan di tempat berteduh. Kemarin, seseorang dengan payungnya mampir berteduh di rumah sementara kami dan akhirnya menemukan pasangan payungnya. Mereka hendak melewati hujan dan terik bersama-sama. Hobby baru di akhir pekan, sepertinya masih akan berlangsung sampai bulan Ramadhan tiba.


3 comments:

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')