“Hidup
itu banyak cerita. Akan terlalu mainstream jika hanya diisi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka”
Teman saya
mengirimkan emoticon “tertawa terbahak-bahak”
ketika membalas sebuah kiriman pesan singkat yang saya kirimkan. Ia bahkan
mengatakan mengapa bisa saya berkata seperti itu. Padahal, saya pikir perkataan
saya itu lumrah-lumrah saja. Kurang lebih saya hanya mengatakan “Selamat
datang. Selamat memasuki usia galau nikah”. Hanya itu. Tapi teman saya
sepertinya sangat mendalami perkataan saya sehingga dia nyaris mencubit pipi
tirus saya lewat udara.
Tentang
topik yang satu itu, bisa dibilang adalah topik yang sudah sangat sering
mendapat porsi dengar dari kedua telinga saya. Sengaja ataupun tidak. Di rumah
sementara tempat saya tidur, makan, dan belajar, hampir semua orang
membicarakannya. Di majelis ilmu, jangan dibilang, topik-topik yang dibahas
kebanyakan bermuara pada topik yang satu itu. Telepon rutin yang saya terima hampir
di setiap pagi tidak kalah retorikanya. Dan saya, cuma bisa senyum-senyum saja.
Orang-orang
yang sudah sering mendapatkan pertanyaan tentang topik itu, maka sadarlah bahwa
pertanyaan demikian adalah semacam pertanyaan jebakan umur. Artinya, mereka
melihatmu sebagai seseorang yang sudah pantas mengeksekusi topik itu. Dan kamu,
suka atau tidak, harus memberikan jawaban yang baik untuk mereka. Sebab,
jawaban kita akan mendapat balasan do’a dari mereka. Biasanya begitu. Jawaban yang
baik akan mendapatkan do’a yang baik pula. Sehingga jangan sampai kita
melakukan sebaliknya. Jika pun tak terpikir jawaban yang baik, maka diam adalah
solusi terjitu.
Beberapa
bulan ini, selain beasiswa yang hadir setiap bulannya, undangan pernikahan pun
tak mau kalah. Selalu saja ada. Sekarang saja, teman saya yang lain baru saja
meminta agar saya membuat daftar orang-orang yang akan diundang di pernikahannya.
Dilematis meringis rasanya. Bukan karena iri, tapi saya hanya khawatir apakah
mereka “masih ada” ketika nanti (entah kapan) saya juga membutuhkan pertolongan
mereka. Saya hanya takut merasa kehilangan. Itu saja. Teman, apalagi yang
pernah menyumbang cerita skala besar dalam hidup, tentu saja sewaktu-waktu akan
“keluar” dari garis cerita itu. Mereka pergi, lalu membuat kembali cerita baru
dengan pemeran yang baru pula. Dan itu, jika tidak disiasati jauh-jauh hari,
akan membuat kita yang ditinggalkan merasa sedih. Merasa kehilangan. Wajar. Dan
sadar, saya mengalaminya.
Perlahan,
pernikahan-pernikahan itu menjadi sebuah hujan di pelupuk mata. Maka hujan,
biarkan saja ia turun di kedua pelupuk matamu. Biarkan. Tapi jangan luapkan
harapanmu pada sesiapa yang akan menikmatinya denganmu. Sebab, bisa saja engkau
ditakdirkan sebagai seorang jua yang bisa menikmatinya, dalam jangka waktu yang
lama atau sebentar.
Lalu,
jika mereka kembali mengulang pertanyaannya, maka ambil napas dalam-dalam. Lalu
berdiri dengan badan tegap kemudian katakan dengan lantang atau dengan cara
deklamasi,” tunggu tanggal eksekusinya” sambil tersenyum kepada para penanya
yang budiman. Setelah itu, kembalilah, berjalanlah, berbahagialah, dan
bergegaslah untuk membuat cerita yang banyak.
Itu!
Tenang sayang saat kau membutuhkanku saat itu aku akan datang InsyAllah, ingat perjanjian saat dirimu ke Sinjai dulu. *_*
ReplyDeletebahwa kita sama-sama akan saling menemani sebelum waktu membagi kesempatannya pada "orang baru" itu.
ReplyDelete:') #syahdulalala
T_T
ReplyDelete