Monday, February 4, 2013

Balada Anak Perempuan


Bahwa dalam satu periode kehidupan, entah sedang dimana engkau berada, seseorang atau dua orang tiba-tiba muncul dan mencuri ruang pikirmu sejenak, lalu membuatmu diserang perasaan khawatir yang berlebihan.

Ia, seorang anak perempuan berumur duapuluh tahunan mengadukan perasaannya pada Sang Pemilik malam yang dingin. Selimut dengan aroma kenangan mengebiri seperti sedang mendendangkan kidung kesunyian. Desiran lembut angin dan lolongan anjing pelan-pelan memainkan perannya dalam parade tiga puluh menit itu.
Ia, seorang anak perempuan  berumur duapuluh tahunan dengan dua peran penting dalam hidupnya. Sebagai anak dan sebagai kakak. Kadang berpikir bahwa, kedua peran itu sudah jauh lebih dari cukup. Mengapa pula mesti ditambah? Kewajiban sebagai anak perempuan, bagaimanapun usahamu untuk memperindahnya, takkan pernah bisa membalas pengorbanan kedua orang tuamu barang setitik tinta yang kau  tekan di atas kertas. Takkan pernah menemui kesudahannya.

Mengapa hidup seorang anak perempuan tidak diperuntukkan hanya untuk kedua orang tuanya saja? Berbakti seumur hidup. Agenda bakti fisik. Melihat kedua orang tuanya melewati usia senja sampai pada akhirnya mesti menghadap Sang Pencipta. Mengapa tak demikian saja? Biarlah para anak lelaki saja yang menjalani kehidupan di luar sana. Toh mereka, bagaimanapun kondisinya, akan mampu menjamin dirinya dari fitnah dunia selama bukan mereka yang memulainya. Tapi perempuan? Sungguh tidak demikian adanya. Suka atau tidak suka, sengaja atau tidak sengaja, tahu atau tidak tahu, seorang perempuan adalah objek paling rentan.

Lalu mengapa kewajiban itu mesti dibatasi lagi dengan munculnya peran baru seorang perempuan? Misal sebagai istri? Bukankah peran baru itu akan mengurangi sedikit demi sedikit kuantitas bakti fisik kepada kedua orang tua? Ditambah lagi ketika nantinya seorang anak perempuan mesti tinggal jauh dari kedua orang tuanya. Entah untuk alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll. Semuanya menari-nari menyuguhkan kekhawatiran berlebihan. Dan tentunya beralasan.

Ia, anak perempuan tadi, masih memandangi langit dari balik celah ventilasi kamarnya. Sedang lolongan anjing di ujung jalan yang sedari tadi masih belum berhasil memecah kesunyian, perlahan hilang seiring dengan berlalunya angin malam yang dingin.
***

Anak perempuan, pada kenyataannya memikul amanah lebih besar. Ia, bisa menjadi aroma syurgawi atau menjadi corong neraka bagi orang tuanya. Ketika ia mampu menjalankan peran-perannya dan menjaga amanah orang tuanya dengan baik, maka tak ada persembahan lebih baik daripada persembahan syurgawi untuk kedua orang tuanya. Bagaimanapun kondisi kedua orang tuanya.

Kekhawatiran berlebihan adalah hal yang lumrah-lumrah saja. Bukankah perempuan memang menaruh intuisi yang justru bisa membuatnya berhati-hati? sehingga kekhawatiran yang menari-nari itu akan menemui satu-persatu jawabannya. Peran sebagai seorang anak dan seorang kakak adalah contoh kecil yang bisa memberikan kita pelajaran, sekali lagi. Ketika peran itu mesti “dibatasi” dengan adanya anjuran menikah bagi seorang perempuan, maka sadarlah bahwa bukan peran itu yang dibatasi. Justru dengan itulah, jalan berbakti itu akan semakin luas. Ada anggota keluarga baru yang menuntut baktimu (ngomong apa saya??). Tentu saja dengan menempatkan aspek kualitas sebagai tolak ukurnya.

Kemudian ketika kekhawatiran itu berlanjut pada skala “mesti tinggal jauh dari orang tua” karena alasan akademik, pekerjaan, keluarga, dll, maka minimalkanlah berkeluh kesah (nunjuk diri sendiri). Orang tua khawatir, itu pasti. Kangen, apalagi. Maka dengan segala nasehat dan pengalaman yang saya dapatkan dari berbagai disiplin llmu, mulai dari ilmu agama, filsafat, geografi, antropologi, psikologi, sampai saya tertarik dengan ilmu semiotika, maka kunci terbesar dari kekhawatiran itu adalah DOA. Tak ada yang meragukan kekuatan doa. Apalagi doa anak-anak yang saleh. Suatu ketika di dalam sebuah kajian, dan saya akan selalu mengingat perkataan itu. Bahwa, selama kita (anak perempuan) mampu menjaga “rambu-rambu” agama yang juga merupakan amanah orang tua, selalu mendoakan mereka, maka dengan tidak sengaja kita telah menanamkan investasi kebaikan untuk diri kita sendiri dan untuk kedua orang tua kita.

Investasi ini bisa kita tuai di dunia dan atau di akhirat. Di dunia, bentuk penuaian investasi ini bisa berbentuk kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah, kesehatan, kelancaran rezeki, keistiqamahan, perlindungan,dll. Maka sangat penting ketika kita melakukan suatu kebaikan, maka sudah seharusnya kita memohonkan keberkahan meliputi seluruh keluarga, terutama orang tua kita. Bukankah doa adalah senjata kaum mukmin? Dan dengan doa pula lah jarak yang membentang bisa runtuh berganti dengan hati yang saling berpaut. Sungguh tak ada ciptaan Allah yang sia-sia. Semua yang terjadi pada diri kita (masalah, nikmat, ujian) telah dirancang dengan sebaik-baik rancanganNya.

Masa depan tak akan pernah berhenti sebagai misteri, manakala kita tak berusaha melakukan perbaikan di masa kini. Orang tua, harta, pangkat, jabatan, tahta, adalah “kekayaan” yang mesti kita jaga. Menjaganya agar kesemuanya itu tidak mengantarkan kita pada murkaNya. Senantiasa menjadikan Allah sebagai poros dari semua yang kita kerjakan. Bukankah Allah adalah sebaik-baik penolong dan pelindung? Sehingga sudah selayaknya bila kekhawatiran yang tiba-tiba muncul tidak menghalangi kita dari beribadah kepadaNya.

“Dan benarlah, bahwa menulis adalah bagian dari menasehati diri sendiri”.

“alangkah indahnya sebuah gagasan. Dan alangkah bermaknanya jika ada sekelompok manusia yang berjanji setia mewujudkannya”. (Hasan Al Banna)

3 comments:

  1. hm..hm..jadi berapa huruf mi sekarang ? hihihi *ketawa di balik pintu kamar*

    ReplyDelete
  2. ngajak perang nih *asah silet

    Ohh. yg menyingsing2 itu ya, kamu ya... haha.
    Hentikan !!

    ReplyDelete
    Replies
    1. balada anak perempan,, semuanya kena nih.. hehehe :D

      Delete

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')