Thursday, April 24, 2014

Inspirasi Muezza



Dalam hidupnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki seekor kucing bernama Muezza. Beliau amat menyayangi kucing tersebut. Pernah dalam satu potongan hidupnya, beliau memotong lengan jubahnya sebab si kucing Muezza sedang terlelap di atas jubah tersebut. Hal itu dilakukannya agar Muezza tidak terbangun. Rasulullah juga amat menekankan di beberapa haditsnya, bahwa kucing itu tidaklah najis bahkan diperbolehkan untuk berwudhu dengan menggunakan air bekas minum kucing. 

Diriwayatkan dari Ali bin Al-Hasan dan Anas Radhiyallahu ‘Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pergi ke Bathhan, suatu daerah di Madinah. Lalu berkatalah beliau kepada Anas Radhiyallahu ‘Anhu, “Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke dalam bejana...”. Lalu Anas menuangkan air ke dalam bejana sesuai perintah Rasulullah. Setelah selesai menuangkan air, Rasulullah menuju bejana, namun seekor kucing datang dan menjilati air yang berada di dalam bejana tersebut. Melihat hal itu, Rasulullah berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum air dari bejana, lalu Rasulullah berwudhu dengan air dalam bejana yang baru saja di minum oleh kucing itu.

Beberapa kali Rasulullah memperlihatkan kasih sayangnya terhadap binatang kepada para sahabatnya. Pada kucing, beliau selalu memperlakukannya dengan baik. Setiap menerima tamu di rumah, Rasulullah selalu menggendong dan memangku Muezza. Rasulullah pun selalu berpesan agar menyayangi kucing peliharaan layaknya menyayangi keluarga sendiri. 

Jauh sebelum saya mengetahui sejarah tersebut, kehidupan saya tidak bisa jauh dari pergaulan bersama kucing-kucing (?). Sejak menginjak bangku sekolah dasar, ibu menghadiahi saya seekor kucing sebagai teman bermain di rumah. Mungkin saja ibu melihat saya yang hanya memiliki seorang saudara ini sebagai anak kecil yang kesepian (?). Setidaknya, semenjak kucing pertama menginjakkan kaki di rumah lalu berakhir hidupnya, sudah ada tiga atau empat kucing setelahnya yang telah menghiasi rumah sederhana kami. Meninggalnya kucing pertama kala itu membuat saya batal puasa ramadhan, haha. Betapa tidak, saya menyaksikan sendiri Amme (nama kucing saya) dihabisi oleh anjing tetangga yang tidak berperikehewanan. Sungguh terlalu. Bahkan, saya yang masih kecil kala itu mengubur sendiri jenazah kucing dengan berlinang air mata. 

Tidak tahan melihat saya depresi, ibu cepat-cepat menggantikan Amme dengan Amme yang baru dengan rupa yang sama. Amme yang kedua ini yang paling tak terlupakan. Belum cukup sebulan, ia kabur meninggalkan rumah hanya karena tergoda dengan kucing perempuan, eh betina. Entah dia kabur kemana. Setidaknya tidak kembalinya ia ke rumah mengindikasikan bahwa ia jauh lebih berbahagia dengan kucing betina itu. Tidak berputus asa, ibu dan saya cepat-cepat “move on”. Mencari Amme yang baru lagi. Dan seperti itulah yang kami lakukan jika ‘kehilangan’ kucing. Cepat-cepat menggantinya dengan yang baru. Untungnya, ibu selalu punya kenalan yang memiliki stok kucing yang melimpah, hehe. Jadinya, rumah kami, sejak saya bersekolah sampai sekarang, belum pernah betul-betul kehilangan sosok seekor kucing. Kriteria inklusi yang telah kami sepakati adalah kucing tersebut harus berjenis kelamin jantan agar kami dapat menghindari tindakan kriminal membuang anak-anak kucing yang tak berdaya.

Nah, sejak kuliah di Makassar, ibu sendirian mengurus kucing di rumah. Terakhir saat saya pulang, Amme sedang dalam masa penyembuhan. Ibu yang selalu merawatnya. Saya melihat bahwa chemistry antara mereka berdua sudah terjalin begitu dekat. Luka-luka di tubuh Amme akibat memperjuangkan kucing betina tak dapat dianggap enteng. Ia rela melawan kucing yang lebih kuat, padahal dia tidak kuat-kuat amat. Beberapa kali saya mendapati kucing betina itu menjenguknya di rumah. Ya ampun, betul-betul mirip film drama. Saya sebagai walinya (?) hanya bisa senyum-senyum melihat keduanya. Sungguh momen yang absurd. Mungkin sama ketika Rasulullah menyaksikan Muezzanya selalu mengeong setiap kali adzan berkumandang. Pun ketika Abu Hurairah digelari “bapaknya kucing” sebab cintanya kepada hewan yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat. Sampai-sampai kucing itu selalu menyertainya seolah-olah bayang-bayangnya.
Kata orang -bukan kata saya-, “bukan cinta namanya kalau tidak absurd”, mungkin memang benar adanya.

2 comments:

  1. Hahaha *maaf, saya tidak bisa menahan tawa ketika membaca tulisan diatas.. Baru sadar atau selama ini tidak memperhatikan,, dehh.. ternyata Salki berbakat juga menjadi 'comic' (?)
    Amme ya,, namanya sama persis dengan anak tetangga saya..., semoga dia tumbuh menjadi seperti Amme yang disana, yang rela memperjuangkan kucing betina dengan melawan kucing yang lebih kuat, meskipun dia tidak kuat-kuat amat (?) *lol
    Ditunggu postingan berikutnya.
    Best regards,,


    Wiro Sableng

    ReplyDelete
  2. haha.. Bisa saja kamu, Amira :D

    Ternyata dunia a.m telah berganti identitas toh? Selamat dtg kembali di "dunia persilatan".. Plus selamat atas kelulusannya.

    ReplyDelete

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')