Saturday, December 21, 2013

Kaus Kaki dari Masa Lalu



Dulu, ketika hujan turun, ibu selalu mengingatkan agar sepatu saya tidak sampai mengotori lantai belakang rumah ketika pulang sekolah. Selalu begitu. Kebiasaan main ciprat-cipratan saat hujan turun membuat ibu selalu bersiap siaga di teras belakang sebelum saya pulang. Tapi ya dasar anak bandel, berapa kali pun dinasehati, selalu saja mengulang hal yang sama. 

Satu hal yang membuat saya bingung, ibu tidak pernah sekali pun menyuruh saya membersihkan lantai rumah bila saya mengotorinya. Setelah menasehati dan saya melanggar, ia hanya geleng-geleng kepala lalu mengambil kain pel sendiri dan membersihkannya. Padahal waktu itu, untuk menggerak-gerakkan, memutar-mutar kain pel saja, pasti saya sudah bisa. Beda dengan adik saya, ia tipikal orang yang tidak terlalu banyak tingkah di masa kanak-kanaknya. Selain tak begitu suka bermain dengan hujan, ternyata ia juga tak begitu bersahabat dengan panas.  Ia lebih banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah. Hingga sempat timbul asumsi bahwa sepertinya terjadi ketidakseimbangan antara diri kami. Oh iya, ia juga tak begitu fasih menerbangkan layangan, ia lebih suka menggantung layangannya di tiang rumah, lalu memelototi layangan itu digoyang-goyangkan angin. Jika demikian, ia sudah bisa tertidur dengan pulasnya. Saya selalu tertawa melihatnya. 

Ketika dibelikan pakaian, seringkali pakaian kami kembar. Satu stel baju lengkap dengan celana pendeknya. Cuma beda ukuran dan warna . Jadi dulu, jika diingat-ingat lagi, koleksi celana saya memang lebih banyak daripada koleksi gaun anak-anak. Peralatan sekolah pun demikian, mulai dari sepatu, buku tulis, pensil dan kotaknya, tas sekolah, sampai kaus kaki kami selalu kembaran. Yang membedakannya adalah ukuran dan warnanya. 

Saya ingat sepatu dan kaus kaki kami. Sepatu ATT yang bisa menyala dan kaus kaki bergambar power ranger. Waktu itu, kaus kaki saya berwarna abu-abu, sedangkan kaus kaki adik saya berwarna hitam. Kami sangat menyukai kaus kaki itu. Sebabnya, kami bisa memakainya seminggu penuh. Di sekolah kami dulu, tidak ada kewajiban warna tertentu pada kaus kaki dan sepatu yang mesti kami pakai. Jadi warnanya bebas.

Kaus kaki abu-abu yang selalu saja kotor di kala hujan turun, kaus kaki abu-abu yang selalu dibersihkan oleh ibu, dan akhirnya saya pakai lagi meski seminggu penuh tak diganti-ganti. Lalu saya tersadar bahwa ia adalah kombinasi dua warna yang sangat berbeda, membentuk warna yang baru. Seperti nasehat ibu dan tingkah bandel anak sulungnya, seperti perbedaan karakter adik-kakak yang membentuk sebuah ingatan. 

Tiba-tiba, abu-abu juga seperti menjelma menjadi warna draf proposal sebuah tugas akhir. Mereka berkombinasi membentuk rindu abu-abu. Rindu pada rumah, ibu, adik, juga rindu dengan teman minum kopi ketika pulang. Ayah, yang selalu membuat saya takut ketika bermain terlalu jauh dari rumah. Semoga mereka sehat-sehat saja. Sebab saat ini, suara mereka adalah suara yang paling ingin saya dengar. 
Berbicara apa saja. Tentang apa saja.

No comments:

Post a Comment

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')