Sunday, September 8, 2013

Baling-Baling Obsesi



Manusia hilir mudik sana-sini. Wajah-wajah mereka tegang. Tak ada senyum sesentipun yang mempermanis wajah. Mereka menepuk-nepuk meja, membaca bertumpuk-tumpuk laporan, berbicara beratus-ratus kata, lalu sampai pada kondisi memegang dua sisi dahinya. Menghempas nafas yang kencang hingga berakhir pada posisi tertidur di atas meja.

Mereka, mungkin juga kita, menghabiskan separuh waktunya untuk belajar, bekerja, berpusing-pusing, berteriak-teriak. Memekikkan lalu menjenuhkan. Demi apa? Demi sebuah eja pengharum nama. Demi sebuah gelar pemanis kata. Obsesi.

Namun pernahkah kita duduk sejenak. Mengingat kembali apa dan kemana obsesi itu bermuara? Apakah betul hanya untuk harta, tahta, dan popularitas semata? Atau ada sekelebat pemikiran jauh yang mengisi obsesi itu? Pemikiran yang berisi bayang-bayang tentang kampung akhirat kelak tempat kita mengekal. Pemikiran yang senantiasa menunjukkan kita kepada kelurusan dan kemurnian jiwa, pada apapun yang kita kerjakan. Di kalangan para sahabat Rasulullah, sungguh terdapat satu persamaan di antara perbedaan-perbedaan karakter mereka, persamaan itu adalah bayang-bayang mereka terhadap akhirat jauh lebih nyata. Sehingga hal inilah yang selalu mengisi dan menuntun obsesi hidup mereka. Imam An-Nawawi pernah berkata bahwa kekayaan terpuji bukan karena harta dan popularitas, tapi ia adalah qana’ah (merasa cukup) yang selalu ada di dalam hati. Jika obsesi kita hanya bertumpu pada dunia semata, kita akan selalu merasa kurang. Jika demikian, lalu bagaimana bisa kita akan merasakan kecukupan itu? 

Janji Allah, ketika obsesi itu kita peruntukkan untuk kehidupan kekal di akhirat, maka yakinlah bahwa hadiah duniawi akan mengikut. Tanpa kita sadari, hadiah-hadiah itu terpampang menemani perjalanan hidup kita. Baik itu kelancaran urusan, perbaikan ide-ide, kerukunan keluarga, pasangan, anak-anak, lalu akan banyak cinta dari siapapun mereka yang dekat dengan kita. Subhanallah.

Saudaraku, di sisa umur yang masih ada, mari manfaatkan peluang dariNya untuk menelurkan obsesi-obsesi akhirat dalam tindak tanduk kita. Hingga pada suatu waktu, hanya bayang-bayang indah akhiratlah yang membuat kita rindu untuk pulang. Pulang kepada tangan Yang Mencipta. Bukan karena apa, selain rindu akan rumah abadi yang paling indah yang telah diperuntukkan bagi mereka yang qana’ah dalam dunianya.
Saya ingin kita selalu berdoa. Sepenuh hati. Mendoakan sang baling-baling obsesi agar bergerak karena angin akhirat. Bukan karena angin harta, bukan pula tahta, yang sementara, yang semata-mata indah di kampung dunia saja. 

Barokallah :)

1 comment:

  1. Suatu hari Socrates didatangi seorang muridnya. Dia bertanya, “Guru, apa yang dimaksud dengan obsesi?” Socrates tidak menjawab, dia hanya mengajak sang murid ke sebuah bak yang berisi air.
    Setibanya di sana, Socrates segera memegang kepala sang murid lalu membenamkannya ke dalam bak tersebut. Sontak saja dia meronta ronta ingin melepaskan diri. Setelah berusaha matian-matian, dia pun berhasil melepaskan kepalanya dari cengkeraman Socrates sehingga bisa keluar dari bak dengan kepala basah kuyup.
    Sambil tersengal-sengal dia bertanya, “Guru, kenapa engkau memasukkan kepala saya ke dalam bak air?”
    “Itulah yang disebut obsesi. Keinginan memuncak untuk mendapatkan sesuatu, seperti halnya keinginanmu untuk keluar dari bak air,” jawab Socrates.

    ReplyDelete

Menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka :')