Manusia
hilir mudik sana-sini. Wajah-wajah mereka tegang. Tak ada senyum sesentipun yang
mempermanis wajah. Mereka menepuk-nepuk meja, membaca bertumpuk-tumpuk laporan,
berbicara beratus-ratus kata, lalu sampai pada kondisi memegang dua sisi
dahinya. Menghempas nafas yang kencang hingga berakhir pada posisi tertidur di
atas meja.
Mereka,
mungkin juga kita, menghabiskan separuh waktunya untuk belajar, bekerja, berpusing-pusing,
berteriak-teriak. Memekikkan lalu menjenuhkan. Demi apa? Demi sebuah eja
pengharum nama. Demi sebuah gelar pemanis kata. Obsesi.
Namun pernahkah
kita duduk sejenak. Mengingat kembali apa dan kemana obsesi itu bermuara?
Apakah betul hanya untuk harta, tahta, dan popularitas semata? Atau ada sekelebat
pemikiran jauh yang mengisi obsesi itu? Pemikiran yang berisi bayang-bayang tentang
kampung akhirat kelak tempat kita mengekal. Pemikiran yang senantiasa menunjukkan
kita kepada kelurusan dan kemurnian jiwa, pada apapun yang kita kerjakan. Di kalangan
para sahabat Rasulullah, sungguh terdapat satu persamaan di antara
perbedaan-perbedaan karakter mereka, persamaan itu adalah bayang-bayang mereka
terhadap akhirat jauh lebih nyata. Sehingga hal inilah yang selalu mengisi dan
menuntun obsesi hidup mereka. Imam An-Nawawi pernah berkata bahwa
kekayaan terpuji bukan karena harta dan popularitas, tapi ia adalah qana’ah
(merasa cukup) yang selalu ada di dalam hati. Jika obsesi kita hanya bertumpu
pada dunia semata, kita akan selalu merasa kurang. Jika demikian, lalu
bagaimana bisa kita akan merasakan kecukupan itu?
Janji Allah,
ketika obsesi itu kita peruntukkan untuk kehidupan kekal di akhirat, maka
yakinlah bahwa hadiah duniawi akan mengikut. Tanpa kita sadari, hadiah-hadiah
itu terpampang menemani perjalanan hidup kita. Baik itu kelancaran urusan,
perbaikan ide-ide, kerukunan keluarga, pasangan, anak-anak, lalu akan banyak
cinta dari siapapun mereka yang dekat dengan kita. Subhanallah.
Saudaraku,
di sisa umur yang masih ada, mari manfaatkan peluang dariNya untuk menelurkan
obsesi-obsesi akhirat dalam tindak tanduk kita. Hingga pada suatu waktu, hanya bayang-bayang
indah akhiratlah yang membuat kita rindu untuk pulang. Pulang kepada tangan Yang
Mencipta. Bukan karena apa, selain rindu akan rumah abadi yang paling indah
yang telah diperuntukkan bagi mereka yang qana’ah dalam dunianya.
Saya ingin
kita selalu berdoa. Sepenuh hati. Mendoakan sang baling-baling obsesi agar
bergerak karena angin akhirat. Bukan karena angin harta, bukan pula tahta, yang
sementara, yang semata-mata indah di kampung dunia saja.
Barokallah
:)
Suatu hari Socrates didatangi seorang muridnya. Dia bertanya, “Guru, apa yang dimaksud dengan obsesi?” Socrates tidak menjawab, dia hanya mengajak sang murid ke sebuah bak yang berisi air.
ReplyDeleteSetibanya di sana, Socrates segera memegang kepala sang murid lalu membenamkannya ke dalam bak tersebut. Sontak saja dia meronta ronta ingin melepaskan diri. Setelah berusaha matian-matian, dia pun berhasil melepaskan kepalanya dari cengkeraman Socrates sehingga bisa keluar dari bak dengan kepala basah kuyup.
Sambil tersengal-sengal dia bertanya, “Guru, kenapa engkau memasukkan kepala saya ke dalam bak air?”
“Itulah yang disebut obsesi. Keinginan memuncak untuk mendapatkan sesuatu, seperti halnya keinginanmu untuk keluar dari bak air,” jawab Socrates.